Keadilan dan Keadaban KEMANUSIAAN YANG AdIL dAN BERAdAB

90 9 masyarakat. Peradaban tidak mungkin tumbuh dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur sosial timpang, maka di dalam- nya akan terjadi penindasan antar sesama manusia. Dalam kondisi semacam itu, peradaban umat manusia tidak akan berkembang sehat. Sebabnya ialah bahwa dalam struktur yang menindas itu, kebebasan atau kemerdekaan berpikir tidak akan tumbuh dan karena itu, ilmu pengetahuan juga tidak akan berkembang. Akibatnya, perkembangan peradaban masyarakat atau bangsa yang bersangkutan tidak dapat tumbuh secara sehat. Oleh karena hubungan di antara kedua begitu terkait satu sama lain itulah maka sila kedua Pancasila dirumuskan oleh the founding fathers dalam satu konsepsi tentang sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak akan ada peradaban yang tidak didasarkan atas peri kehidupan yang keadilan, dan tidak akan ada keadilan jika peradaban dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tidak berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban bangsa kita yang tinggi dan bermartabat, penting sekali artinya menegakkan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah umat manusia pada masa lalu juga mengajarkan betapa banyaknya bangsa-bangsa besar yang timbul tenggelam karena terjadinya pe- rubahan dalam kualitas peradabannya, dan kualitas peradabannya itu berubah karena terjadinya perubahan dalam struktur keadilan dalam peri kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu sendiri. Begitu tinggi peradaban bangsa-bangsa besar dalam sejarah dapat berkembang dikarenakan tegaknya keadilan dalam kehidupan. Tetapi, tatkala struktur keadilan mengalami keruntuhan, itulah yang kemudian menjadi pertanda merosotnya peradaban yang bahkan pada akhirnya menghancurkan keseluruhan eksistensi bangsa itu sendiri.  nya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang seb- agai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan ada- nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa Indonesia memahami bahwa “The Universal Declaration of Human Rights ” yang dicetuskan pada tahun 948 merupakan per- nyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga me- mandang bahwa “The Universal Declaration of Human Responsibility” yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 997 juga men- gandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk meleng­ kapi “The Universal Declaration of Human Rights ” tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa-masa yang akan datang.

2. Keadilan dan Keadaban

Dalam rumusan sila kedua Pancasila, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang ‘adil’ yang langsung dirangkaikan dengan kata ‘beradab’. Jika di atas telah diuraikan bahwa sifat adil itu dekat dengan sifat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tauhid, maka secara empirik, keadilan juga sangat berdekatan dengan keadaban civility. Dengan sendirinya, sifat berkeadilan dan berkeadaban merupakan konsekuensi logis dari tingginya kualitas ketaqwaan warga suatu 92 9 beredar 128 . Jika diperhatikan, dalam ayat pertama di atas, makna kata ‘daulat’ dipakai untuk pengertian pergantian kekuasaan di bi- dang politik, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekuasaan di lapangan perekonomian 129 . Selain itu, dalam sejarah, istilah daulat kedaulatan itu juga dipergunakan untuk pengertian ‘dinasti’, ‘rezim politik’ ataupun kurun waktu kekuasaan. Frasa-frasa seperti Daulat Bani Umaiyah, Daulat Bani Abbasiyah’, ‘Daulat Bani Fattimiyah’, dan lain-lain biasa dipakai untuk maksud menunjuk kepada pengertian ‘dinasti’ atau rezim politik itu. Yang dimaksudkan dengan Daulat Bani Umaiyah 130 , misalnya, adalah dinasti yang berpusat di Syria yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan pada akhir abad ke-6, dan sejak itu terus berkuasa secara terus temurun. Daulat berarti dinasti, sedangkan Bani berarti bangunan ‘keluarga’ dan Umaiyah adalah nama yang diam- bilkan dari nama keluarga pendirinya, yaitu Mu’awiyah. Demikian pula dengan sebutan Daulat Abbasiyah, Daulat Osmani, dan lain sebagainya, semuanya menunjuk kepada pengertian kurun waktu dari dinasti kekuasaan. Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan ter- tinggi, baik di bidang ekonomi maupun terutama di lapangan po- litik. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan makna kekuasaan yang bersifat tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah. Pandangan seperti ini terdapat pula dalam pemikiran Ibn Khaldun 2-406 mengenai naik tenggelamnya kekuasaan negara-negara dalam seja- 28 Dalam QS. 59: 7 al-Hasyr dinyatakan terjemahannya: “Apa saja harta rampasan yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untyuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Ibid., hal. 96. 29 Gagasan yang terkandung dalam pernyataan “… supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja…”, seperti dikutip dalam footnotes di atas adalah gagasan keadilan mengenai distributif, yakni menyangkut ide pemerataan kesejahteraan di bidang ekonomi dalam masyarakat. Mengenai sejarah dinasti-dinasti ini, lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam , Volume 2, Chicago-London: The University of Chicago Press, 974.

A. GAGASAN KEdAULATAN