262 26
Dua yang pertama merupakan produk Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan yang terakhir adalah produk Dewan Perwakilan
Rakyat. Setiap Undang-Undang, baik yang diprakarsai oleh Pemer- intah, atau oleh Dewan Perwakilan Daerah ataupun oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sendiri, adalah produk Dewan Perwakilan Rakyat dan karena itu dapat dipertimbangkan mengenai kemungkinan
perubahannya menjadi naskah yang menggunakan kepala surat Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat hasil
Perubahan Pertama UUD 945 jelas dinyatakan bahwa Dewan Per- wakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Kekuasaan Presiden dalam hubungan dengan pengesahan suatu Ran- cangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang hanyalah bersifat
formil dan administratif belaka. Pengesahan formil dan administratif tersebut bahkan sesuai ketentuan Pasal 20 ayat 5 hasil perubahan
kedua bersifat ‘imperative’ dan ‘mandatory’ dimana ditentukan bahwa dalam waktu 0 hari sejak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
meskipun Presiden tidak bersedia menandatanganinya sebagai tanda pengesahan administratif, Rancangan Undang-Undang itu berlaku
dengan sendirinya sebagai undang-undang.
Memang dapat pula dipersoalkan berkenaan dengan bentuk penandatanganan oleh Presiden itu, khususnya berkenaan dengan
kemungkinan perubahan format undang-undang. Apakah karena Presiden yang menandatanganinya maka format undang-undang
tersebut masih dapat tetap menggunakan format kepala surat Pres- iden seperti selama ini, atau kepala suratnya justru harus diganti
dengan kepala surat Dewan Perwakilan Rakyat. Di Amerika Serikat misalnya, setiap Undang-Undang ditandatangani oleh Ketua Senat
dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama-sama, sehingga formatnya adalah format Kongres, bukan menggunakan kepala surat
Presiden. Karena penandatanganan undang-undang tetap dilakukan oleh Presiden maka format undang-undang kita di masa depan masih
dapat menggunakan format Presiden. Namun demikian, mengingat kekuasaan membentuk undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal
20 ayat berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan lagi di tangan Presiden seperti dalam rumusan Pasal 5 ayat yang
lama sebelum diamandemen, maka wajar pula jika berkembang pemikiran bahwa format undang-undang di masa yang akan datang
seharusnya menggunakan kepala surat Dewan Perwakilan Rakyat, bukan lagi kepala surat Presiden format Presiden.
26
Contoh konvensi yang dapat dikemukakan berkenaan dengan hal ini adalah persidangan perkara ‘impeachment’ Presiden Bill Clinton dalam kasusnya
dengan Monica Lewinsky yang dimenangkan oleh Clinton, dan karena itu ia dapat meneruskan masa jabatannya sampai selesai, atau dalam kasus pidato pertanggung-
jawaban Presiden Soekarno yang dikenal dengan Pidato Nawaksaranya yang ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS Tahun 966 dan menyebabkan Presiden Soekarno harus
berhenti dari jabatannya.
Sebenarnya, semua itu dapat terjadi, semata-mata karena telah berlangsungnya kebiasaan yang salah selama masa Orde Baru, yaitu
untuk kepentingan pemilihan ulang bagi Presiden untuk menduduki kembali jabatan Presiden, maka diperlukan adanya Ketetapan yang
menerima bulat, sepenuhnya dan tanpa catatan tersebut di atas. Oleh karena itu, di masa depan, kekeliruan-kekeliruan seperti ini tidak
boleh terulang lagi. Salah satu caranya, hapuskan saja kedudukan Ketetapan MPR sebagai bentuk peraturan perundang-undangan
yang secara hirarkis berada di bawah UUD tetapi berada di atas UU. Di seluruh dunia, selalu diatur bahwa di bawah UUD konstitusi
peraturan yang tertinggi adalah undang-undang sebagai produk lembaga legislatif bersama-sama dengan eksekutif. Selain naskah
Peraturan Dasar UUD, Perubahan UUD, dan Piagam Dasar, produk- produk lembaga MPR itu secara langsung dapat saja disebut sesuai
dengan namanya, yaitu penetapan GBHN dengan mengetok palu dan ditandatangani oleh para pimpinan MPR, dan penetapan Pres-
iden dan Wakil Presiden dengan ditandatanganinya Ketetapan yang bersifat ‘beschikking’.
2. Produk Hukum Majelis di Masa depan
Di masa depan, kedudukan konstitusional Majelis Permusya- waratan Rakyat mengalami perubahan yang sangat mendasar. MPR
bukan lagi dan tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan badan legislatif yang terdiri atas
dua kamar parlemen, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, yang keduanya secara bersama-sama disebut
sebagai MPR yang kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung. Produk hukum parlemen Indonesia di masa
depan hanya ada dua tingkatan, yaitu tingkat konstitusi berupa i Undang-Undang Dasar, dan ii Perubahan Undang-Undang Dasar;
sedangkan pada tingkat di bawahnya adalah iii Undang-Undang.
264 265
gani oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sendiri segera setelah pengesahan dilakukan di dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat. Oleh karena itu, dengan memperhatikan implikasi teknis atas pengaturan oleh Pasal 20 ayat 5 itu, saya mengusulkan bahwa
sebaiknya naskah undang-undang di masa depan sebaiknya tidak lagi menggunakan format lama.
Karena kedudukan MPR menurut ketentuan baru UUD 945 pasca amandemen sudah mengalami perubahan mendasar maka sep-
erti dikemukakan di atas ia tidak lagi mengeluarkan produk hukum sebagaimana dikenal selama ini. Karena itu, produk hukum MPR
hasil Pemilu 2004, haruslah disesuaikan dengan ketentuan UUD 945 setelah perubahan Keempat tahun 2002 tersebut. MPR tidak boleh dan
tidak akan lagi menetapkan produk hukum yang bersifat ‘mengatur’ regeling, kecuali dalam bentuk UUD atau Perubahan UUD. Namun,
kewenangan MPR untuk mengeluarkan produk hukum yang tidak bersifat mengatur masih tetap dapat dipertahankan. Misalnya, MPR
dapat saja menetapkan:
a Ketetapan MPR yang merupakan baju hukum naskah Peruba- han UUD sesuai dengan ketentuan Pasal ayat jo Pasal 7
UUD 945; b Ketetapan MPR yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden telah resmi sebagai Presiden sejak pengucapan sump- ahjanji jabatannya di hadapan Sidang MPR, sesuai dengan
ketentuan Pasal ayat 2 UUD 945. c Ketetapan MPR yang memberhentikan Presiden danatau
Wakil Presiden dari jabatannya sesuai dengan ketentuan pasal ayat jo Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 945.
d Ketetapan MPR yang menetapkan Presiden danatau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden danatau
Wakil Presiden sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 2 dan . Namun demikian, semua bentuk ketetapan MPR tersebut hanya
bersifat administratif dan tidak boleh lagi memuat norma-norma hukum yang bersifat mengatur regeling. Produk MPR yang bersifat
mengatur hanya dituangkan dalam bentuk UUD atau Perubahan UUD. Demikian pula dengan bentuk Ketetapan MPR tentang Per-
aturan Tata Tertib MPR yang ada selama ini juga tidak dapat lagi dipertahankan. Peraturan Tata Tertib biasanya dibenarkan untuk
ditetapkan dengan alasan norma yang diatur bersifat internal inter Jika pemikiran demikian diikuti maka fungsi pengesahan den-
gan tandatangan Presiden pada setiap undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 4, dapat dikatakan hanya bersifat formil
dan administratif saja, yaitu dalam rangka pengundangan dan pen- gumuman yang dipraktekkan selama ini, di mana Menteri Negara
Sekretaris Negara menandatangani setiap RUU yang diundangkan. Dengan prosedur terakhir ini, setiap undang-undang memerlukan
tandatangan ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau oleh para ang- gota Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang secara bersama-sama
mewakili segenap anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah itu, barulah diperlukan tandatangan Presiden untuk pengesahannya se-
cara formil dan administratif.
Pandangan seperti ini sebenarnya sangat masuk akal. Dalam Pasal 20 ayat 4 hasil Perubahan Pertama ditentukan: “Presiden mengesah-
kan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Akan tetapi, dalam Pasal 20 ayat 5 hasil
Perubahan Kedua, ditentukan: “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan”. Dalam praktek, secara teoritis bisa saja terjadi bahwa suatu rancangan undang-undang yang
telah mendapat persetujuan bersama di DPR ternyata memuat hal-hal yang menurut Presiden berbahaya atau menyulitkan Presiden untuk
bekerja. Jika tenggang waktu 0 hari itu terlampaui, maka otomatis rancangan undang-undang tersebut secara hukum dianggap telah
berlaku sebagai Undang-Undang sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat 5 tersebut.
Jika hal itu terjadi maka timbul pertanyaan, siapakah yang menandatangani naskah Undang-Undang dimaksud? Apakah for-
mat undang-undang itu memakai kepala surat “Presiden Republik Indonesia” atau “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.
Jika format semua UU masih memakai kepala surat “Presiden RI” seperti selama ini, tentu kasus yang dimuat ketentuannya dalam
pasal 20 ayat 5 itu menimbulkan masalah. Akan tetapi, jika format undang-undang telah diubah sebagaimana mestinya, yaitu meng-
gunakan kepala surat DPR-RI maka otomatis tidak ada masalah lagi, tokh undang-undang yang bersangkutan memang telah ditandatan-
266 267
dapat dikatakan bersifat sekunder. Hakim lebih berfungsi sebagai penegak dan bahkan ‘mulut undang-undang’ belaka.
Karena Belanda yang pernah menjajah Indonesia menganut sistem civil law itu maka dengan sendirinya pengaruh tradisi civil law
itu sangat kuat berakar dalam perkembangan hukum di Indonesia sampai sekarang. Akan tetapi, yang menjadi masalah kita adalah
bahwa tradisi common law yang menerapkan asas preseden itu sangat luas berpengaruh dalam aneka kegiatan bisnis dan ekonomi Interna-
sional dewasa ini. Bersamaan dengan pengaruh kekuatan politik dan ekonomi yang didominasi oleh Amerika Serikat selama setengah abad
terakhir, logika hukum common law itu terus meningkat pengaruhnya dimana-mana. Lagi pula, di kawasan Asia Tenggara, tempat dimana
ataupun melalui mana sistem hukum Indonesia harus bergaul melalui jaringan kegiatan bisnis regional dan bahkan menuju pergaulan eko-
nomi global, pada umumnya juga menganut dan menerapkan sistem common law
itu. Selain karena pengaruh ekonomi Amerika Serikat yang sangat mempengaruhi, kita juga dipengaruhi oleh sistem hukum
yang dipraktekkan oleh bangsa Jepang yang juga dipengaruhi oleh sistem Amerika. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Malaysia, Singa-
pura, dan Brunei serta Philipina juga menganut sistem common law.
Karena itu, dapat dikatakan kita relatif sendirian. Padahal, dalam perkembangan tradisi Eropa kontinental sendiri dewasa ini, peranan
putusan hakim berupa jurisprudensi itu juga terus meningkat dari waktu ke waktu. Sudah tentu, kita juga dapat mencatat perkembangan
perhatian di lingkungan negara-negara common law sendiri untuk mu- lai mementingkan pembuatan undang-undang, termasuk di Amerika
Serikat sendiri. Dengan perkataan lain, memang akhir-akhir ini telah terjadi kecenderungan konvergen yang luas antara tradisi common law
dan civil law itu di banyak negara. Oleh karena itu, sistem hukum In- donesia yang dipengaruhi secara mendalam oleh sistem civil law mau
tidak mau harus mulai memperhatikan pentingnya kedudukan dan peranan putusan hakim dalam upaya pengembangan sistem hukum
Indonesia di masa mendatang. Oleh sebab itu, putusan hakim berupa jurisprudensi, perlulah kiranya diberi tempat yang makin penting
27
Mary Ann Glendon, Michael W. Gordon, and Christopher Osakwe, Compara tive Legal Traditions
, Nutshell Seires, West Publishing Company, London, 982.
nal regelingen . Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, peraturan tata
tertib MPR itu juga berlaku mengikat keluar. Karena itu, teori yang selama ini membedakan penggunaan istilah Ketetapan MPR yang
berlaku keluar dan Keputusan MPR yang berlaku ke dalam, juga tidak dapat dipertahankan. Peraturan tata tertib mengikat keluar dan
juga ke dalam, sehingga bentuk penuangannya selama ini juga dalam bentuk Ketetapan MPR, bukan Keputusan MPR.
Oleh sebab itu, bentuk Peraturan Tata Tertib MPR di samping seb- agai ‘internal regulation’ dapat pula dituangkan dalam bentuk undang-
undang. Misalnya, hal-hal yang perlu diatur menyangkut persidangan MPR diatur saja dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. DPR dan DPD tentu memerlukan peraturan tata tertib sendiri-sendiri. Akan tetapi, MPR tidak memerlukan lagi
Peraturan Tata Tertib tersendiri. Karena MPR bukan lagi lembaga yang akan menjalankan tugas-tugas bersifat rutin dan terus menerus. Karena
itu, i MPR tidak lagi memerlukan pimpinan yang bersifat tetap dan bekerja terus menerus, ii MPR tidak lagi memerlukan Peraturan Tata
Tertib yang tersendiri, iii berbeda dengan DPR dan DPD, MPR juga tidak memerlukan rumusan naskah Kode Etika tersendiri, iv MPR
juga tidak memerlukan lagi alat-alat perlengkapan dan sekretariat yang bersifat tetap dan tersendiri. Sekretariat Jenderal MPR sebaiknya
dirangkap oleh Sekretariat Jenderal DPD. Demikian pula Ketua MPR cukup dirangkap oleh Ketua DPD, sedangkan Ketua DPR merangkap
sebagai Wakil Ketua MPR.
F. PENGUATAN KEdUdUKAN PUTUSAN PENGAdILAN