Peristilahan BAdAN PEMERIKSA KEUANGAN

56 57 Pasal 6 ayat UU tentang Keuangan Negara tersebut juga me- nentukan bahwa kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara itu ada pada Presiden. Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan tersebut sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Presiden menguasakan pengelolaan keuangan negara itu: a. Kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola iskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisah- kan. b. Kepada MenteriPimpinan lembaga selaku pengguna anggaran atau pengguna barang kementerian negara atau lembaga yang dipimpinannya. c. Kepada GubernurBupatiWalikota selaku kepala pemerin- tahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang dikecualikan dari kekuasaan Presiden seperti tersebut di atas adalah kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang- undang tersendiri. Dalam Pasal 7 UU Keuangan Negara dinyatakan pula bahwa kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Untuk itulah maka setiap tahun disusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dan Ang- garan Pendapatan dan Belanja Daerah APBD yang pelaksanaannya diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

d. KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

1. Peristilahan

Dalam wacana mengenai kepemimpinan negara, kita mengenal konsep-konsep Raja King dan Ratu Queen, Amir the Ruler, Ketua, Presiden President, dan Perdana Menteri Prime Minister. Konsep- konsep itu di berbagai negara disebut dengan bermacam-macam istilah sesuai dengan bahasa resmi yang digunakan di negara-negara yang bersangkutan. Di beberapa negeri Muslim, istilah Raja King kadang-kadang disebut dengan Sultan seperti yang dipraktekkan di Brunei Darussalam dan Malaysia. Di lingkungan negara-negara komunis, seperti Republik Rakyat Cina, dikenal istilah Ketua untuk menyebut kedudukan kepala negara. Sedangkan di Jerman, kepala pemerintahan disebut Kanselir. diserahkan kepada DPR saja di tingkat pusat, karena BPK itu sendiri merupakan partner DPR di bidang pengawasan keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung maksud untuk memper- luas pengertian keuangan negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas hanya dalam hubungannya dengan APBN, tetapi juga dengan APBD di daerah-daerah. Perluasan pengertian ini tercermin dalam rumusan UU tentang Keuangan Negara yang dibuat kemudian pada tahun 200. Dalam Pasal 2 UU ini ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara itu adalah meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan menge- darkan uang dan melakukan pinjaman. b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. c. Penerimaan negara. d. Pengeluaran negara. e. Penerimaan daerah. f. Pengeluaran daerah. g. Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusa- haan daerah. h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan danatau kepen- tingan umum. i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fa- silitas yang diberikan pemerintah. Adanya kesembilan kelompok pengertian kekayaan negara tersebut menyebabkan pengertian kekayaan negara yang harus di- periksa oleh BPK berkembang menjadi sangat luas, termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh oleh pihak yang bersangkutan dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Bahkan kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan danatau kepentingan umum dikategorikan pula sebagai kekayaan pemerintah yang harus diperiksa oleh BPK. 58 59 Kepala negara Perancis disebut Presiden, tetapi kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Karena itu, Perancis disebut men- ganut sistem campuran antara presidensiil dan parlementer. Sistem pemerintahannya disebut sistem presidensiil karena mempunyai Pres- iden, tetapi juga menganut sistem parlementer karena mempunyai Perdana Menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen. Atas pen- garuh Kerajaan Inggris dan Perancis yang memiliki wilayah jajahan yang luas, kedua model pemerintahan Inggris dan Perancis tersebut banyak ditiru dan dicontoh di hampir seluruh dunia. Negara-negara Asia dan Afrika, banyak sekali yang mencontoh model Inggris atau Perancis itu. Karena pengaruhnya yang luas di benua Afrika, keban- yakan negara-negara Afrika mencontoh model Perancis, sedangkan di Asia lebih banyak yang mencontoh model Inggris. Namun, berbeda dari model Inggris dan Perancis tersebut, Ame- rika Serikat dapat dikatakan berhasil mengembangkan model yang tersendiri. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan sistem presidensiil murni. Dalam sistem ini, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan diorganisasikan ke dalam satu tangan dengan sebutan Presiden, tetapi kewenangannya dibatasi sesuai dengan prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum constitutional demo­ cracy . Kerangka pemikiran yang mendasari pada penerapan sistem pemerintahan presidensiil ini dapat dikatakan berkembang dewasa ini setelah sejarah umat manusia mengalami pasang surut perkem- bangan praktek penyelenggaraan kekuasaan negara. Pada tahap awal, kekuasaan negara diorganisasikan secara absolut di tangan Raja, Ratu atau yang disebut dengan istilah lain. Pada tahap kedua, sistem kekuasaan yang terpusat di tangan Raja didekonsentrasikan ke tangan mereka yang tidak berdarah biru, yang kedudukannya disebut Perdana Menteri. Disinilah sejarah memperkenalkan beberapa konsep ketatanegaraan seperti ‘constitutional monarchy’, ‘democratic monarchy’, dan sebagainya. Pada tahap selanjutnya, bukan saja kekuasaan Raja itu dikurangi dan didekonsentrasikan, tetapi juga institusi kerajaan itu sendiri dihilangkan dan diganti dengan lembaga Presiden yang dipilih secara demokratis. Inilah yang tercermin dalam pengalaman Perancis, yang menghapuskan sistem kerajaan setelah masa Napoleon Bonaparte. Setelah itu, praktek ketatanegaraan di berbagai negara berhasil pula menyediakan bahan kajian empirik di kalangan para ahli, sehingga para pendiri negara Amerika Serikat berusaha mengem- Peristilahan-peristilahan tersebut pada pokoknya dapat dibe- dakan antara konsep mengenai kepala negara dan konsep mengenai kepala pemerintahan. Di lingkungan negara-negara yang menganut sistem parlementer, kedua konsep itu biasa dibedakan dan bahkan dipisahkan, tetapi di lingkungan negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil pembedaan keduanya bukan merupakan keperluan yang lazim. Tentu, ada pula negara-negara yang bersifat otoritarian ataupun yang belum mengenal sistem pemisahan kekua- saan sesuai prinsip demokrasi dan doktrin negara hukum modern, kadang-kadang konsep kepala negara dan kepala pemerintahan itu tetap diorganisasikan dalam satu tangan, terlepas dari apakah sistem pemerintahannya bercorak ‘presidensiil’ ataupun ‘parlementer’. Kekuasaan Kerajaan Saudi Arabia, misalnya, diorganisasikan se- penuhnya di tangan Raja, tanpa Perdana Menteri. Demikian pula di kebanyakan negara-negara Teluk seperti Kuwait, Uni Emirat Arab dan sebagainya. Raja dan demikian pula Amir di negara-negara Muslim ini tidak hanya berkedudukan sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Begitu juga Sultan Brunei Darussalam, di samp- ing disebut kepala negara, disebut juga sebagai kepala pemerintahan. Bahkan pembedaan di antara konsep kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks sistem politik di negara-negara tersebut menjadi tidak relevan mengingat norma-norma ketatanegaraan yang berlaku di kedua negara itu memang tidak membedakan dan apalagi memisahkan keduanya. Kenyataan ini tidak dapat dihubungkan dengan kemungkinan dianutnya sistem presidensiil atau parlementer seperti yang lazim dipraktekkan di berbagai negara demokrasi mod- ern. Dalam kenyataan praktek, akumulasi dan konsentrasi kekuasaan dalam sistem politik dan ketatanegaraan di negara-negara tersebut berada sepenuhnya di tangan Raja, Amir atau Sultan. Di lingkungan negara-negara kerajaan yang menganut sistem demokrasi parlementer, selalu diadakan pemisahan antara jabatan kepala negara yang dipegang oleh Raja laki-laki atau Ratu perem- puan dan jabatan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Perdana Menteri Prime Minister atau dengan sebutan lain. Di Inggris ada Ratu Elizabeth dan ada Perdana Menteri Tony Blair, di Malaysia ada Sultan dan Perdana Menteri, dan begitu juga di Jerman, Belanda, Belgia, Spanyol, dan Jepang. Berbeda dari negara-negara tersebut, setelah terjadinya revolusi besar-besaran, negara Perancis tidak memiliki Raja. 60 6 parlementer yang memang mempunyai dua jabatan terpisah, yaitu kepala negara dan kepala pemerintahan. Sedangkan sistem peme- rintahan presidensiil cukup memiliki Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada pembedaan antara sekretariat negara dan sekretariat kabinet ataupun keputusan presiden sebagai kepala negara dan ke- putusan presiden sebagai kepala pemerintahan. Republik Indonesia berdasarkan sistem presidensiil hanya memiliki Presiden dan Wakil Presiden dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Bahkan, dalam konteks pengertian Negara Hukum, dan prinsip The Rule of Law , dapat dikatakan bahwa secara simbolik, yang dinama- kan Kepala Negara dalam sistem pemerintahan presidensiil itu adalah konstitusi. Dengan perkataan lain, kepala negara dari negara konstitu- sional Indonesia adalah Undang-Undang Dasar, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta semua lembaga negara atau subjek hukum tata negara lain seharusnya tunduk kepada konstitusi sebagai the symbolic head of state itu. Presiden dan Wakil Presiden cukup disebut sebagai presiden dan wakil presiden saja dengan seperangkat hak dan kewajibannya masing-masing atau tugas dan kewenangannya masing-masing. Tidak ada keperluan untuk membedakan kapan ia bertindak sebagai kepala negara dan kapan ia berperan sebagai kepala pemerintahan seperti kebiasaan dalam sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, dalam sistem kenegaraan yang dapat kita sebut constitutional democratic republic, kedudukan konstitusi bersifat sangat sentral. Konstitusi pada dasarnya merupakan Kepala Negara yang sesungguhnya.

3. Pemerintahan Presidensiil