Latar Belakang Pemikiran KEKUASAAN KEHAKIMAN

84 85 ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima. Dan sekarang, dalam Perubahan Ketiga UUD 945, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi itu sudah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 945. Bahkan, pada waktu UUD 945 disusun pada tahun 945, para perumusnya bersepakat bahwa UUD Proklamasi itu memang tidak didasarkan atas teori trias politica yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Namun, sejak awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan judikatif sudah dengan tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Oleh karena itu, sekarang setelah lembaga MPR sendiri mengalami reformasi struk- tural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak pada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu i Presiden dan Wakil Presiden seb- agai satu institusi kepemimpinan, ii MPR yang terdiri atas DPR dan DPRD, dan iii kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga-tiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan Mah- kamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai pun- cak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Karena itu timbul usulan agar kedua mahkamah itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dengan sebutan Mahkamah Agung yang memiliki dua pintu, den- gan sekretariat jenderalnya satu. Hanya saja, tidak mudah mencari nomenklatur yang tepat untuk sebutan kedua mahkamah itu. Jika kedua-duanya disebut Mahkamah Agung, dan mahkamah agung yang asli disebut sebagai Mahkamah Kasasi, dapat menimbulkan ke- san seakan-akan kewenangan mahkamah agung yang asli itu hanya bersifat kasasi, padahal dalam kenyataannya kewenangannya tidak hanya menyangkut perkara-perkara kasasi. Oleh karena itu, kedua Mahkamah itu, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang bersifat campur-sari, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi- administratif, dan bahkan semi-judikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self regulatory bodies’ yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 0-an jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres Amerika Serikat. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya, adalah Federal Trade Commission FTC, Federal Commu- nication Commission FCC, dan sebagainya. Kedudukan lembaga- lembaga ini di Amerika Serikat, meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan eksekutif tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota komisi itu ditentukan dengan pemilihan oleh kongres. Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu diduduk- kan pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia modern, dan sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang.

E. KEKUASAAN KEHAKIMAN

1. Latar Belakang Pemikiran

Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu ke- satuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahka- mah Konstitusi. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekua- saan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka cabang kekuasaan judikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipa- hami terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pada mulanya, memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bah- kan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, pada tahun 945 ketika UUD 945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Namun di kalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad 86 87 yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, juga tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan yang lain. Namun, setelah Perubahan Ketiga UUD 945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang bera- da di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi Constitutional Court yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerang- ka Mahkamah Agung Supreme Court. Dapat dikatakan, Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 920, Italia pada tahun 947 dan Jerman pada tahun 948. Dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: a melaku- kan pengujian atas konstitutionalitas undang-undang; b mengam- bil putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; c mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden danatau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun men- galami perubahan sehingga secara hukum tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden, yang atas dasar putusan itu, kesalahan Presiden danatau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden danatau Wakil Presiden dari jabatannya; d memutus perkara perselisihan mengenai hasil- hasil pemilihan umum, dan e memutus perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik. Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipi- lih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari orang yang dapat diterima berdiri sendiri dengan pengertian bahwa pada haki- katnya keduanya berada dalam satu kesatuan fungsi kekuasaan mah- kamah kehakiman yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar. Sangat boleh jadi bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu secara ber- sama-sama dapat pula disebut sebagai Mahkamah Kehakiman. Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prin- sip demokrasi Demos Cratos atau Cratien dalam perkembangan seja- rah pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi Nomos Cratos atau Cratien. Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the Rule of Law dan prinsip Rechtsstaat negara hukum. Perdebatan teoritis dan ilosois mengenai mana yang lebih utama dari kedua prin- sip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun konsepsi negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Namun, dalam praktek, tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat itu dalam skema kelem- bagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi, setelah dilakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar berkenaan dengan hal itu maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas DPR dan DPRD. Sekarang, kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat, sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan yang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi judikatif judicial hanya terdiri atas badan-badan pengadilan 88 89 pada tahun 200 maka ketentuan lama berkenaan dengan kewenan- gan Mahkamah Agung itu dituangkan dalam rumusan ketentuan Pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 945 tersebut. Lagi pula, memang ada negara lain yang dijadikan salah satu sumber inspirasi oleh para anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi ini, yaitu Mahkamah Kon- stitusi Korea Selatan. Dalam konstitusi Korea Selatan, kewenangan judicial review constitutional review atas undang-undang memang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi kewenangan judicial review atas peraturan di bawah undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Terlepas dari kelemahan ini, menurut pendapat saya, biarlah untuk sementara waktu pembagian demikian diterima dan dipraktikkan dulu pada tahap-tahap awal pertumbuhan lembaga Mahkamah Konstitusi ini di Indonesia. Namun untuk jangka panjang, memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah kewenangan Mahkamah Kon- stitusi. Dengan demikian, keadilan bagi warga negara dapat diwu- judkan secara integral di bawah fungsi Mahkamah Agung, sedangkan peradilan atas sistem hukum dan peraturan perundang-undangan di letakkan di bawah pengawasan Mahkamah Konstitusi. Mengenai Mahkamah Agung, dalam Pasal 24 ayat 2, dibeda- kan antara badan peradilan dari lingkungan peradilan. “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Oleh sebab itu, badan-badan peradilan dalam keempat lingkungan peradilan tersebut semuanya berada di bawah Mahka- mah Agung. Namun, harus dibedakan antara organ Mahkamah dan badan-badan peradilan dengan hakim sebagai pejabat hukum dan penegak keadilan. Hubungan antar satu hakim dengan hakim yang lain bersifat horizontal, tidak ada hubungan vertikal atasan dan ba- wahan. Namun, organisasinya terdapat struktur vertikal atas bawah. Pengadilan Tinggi adalah organisasi di bawah Mahkamah Agung, dan Pengadilan Negeri adalah organisasi bawahan Pengadilan Tinggi. Hal ini jelas berbeda dari pengertian yang timbul dari doktrin kebebasan atau kemerdekaan hakim, yaitu setiap individu hakim dalam men- jalankan tugas utamanya sebagai hakim bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggungjawab kepada atasannya. dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, orang yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, nega- rawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian, diharapkan bahwa Mahkamah Konsti- tusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut. Ada beberapa kritik yang biasa diajukan orang berkenaan deng- an pembagian tugas antara Mahkamah Konstitusi ini dengan Mah- kamah Agung. Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di bidang pengujian peraturan judicial review atas peraturan perun- dang-undangan. Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat ditentukan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat inal untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan dalam Pasal 24A ayat UUD 945 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undang- an di bawah undang-undang terhadap undang-undang….”. Pemba- gian demikian sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Yang paling sering saya jadikan contoh hipotetis adalah berkenaan dengan keabsahan materiel PP No. 0 Tahun 2000 dibandingkan dengan UU No.22999 di satu pihak, dan keabsahan UU No.22999 dibandingkan dengan Pasal 8 UUD 945 di pihak yang lain. Misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung memutuskan bahwa PP No.02000 tersebut bertentangan dengan UU No.22999, sementara pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi memutuskan UU No.22999 itu bertentangan dengan UUD 945. Pembedaan ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa memang sejak sebelumnya Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Bahkan ketentuan demikian ditegaskan pula dalam Ketetapan MPR No.IIIMPR2000. Karena itu, ketika sepakat diadopsinya ide pem- bentukan Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan Ketiga UUD 945 90 9 menyangkut persoalan teknis dan rasional, melainkan menyangkut pula soal-soal psikologis serta soal-soal kerahasiaan pribadi dan keluarga yang perlu penanganan dan pengelolaan yang khusus bersifat. Lagi pula, keberadaan lembaga-lembaga peradilan agama itu juga sangat akrab dengan kehidupan keseharian masyarakat luas, termasuk dalam hubungan dengan tokoh-tokoh ulama yang dekat dengan masyarakat. Sistem administrasi dan manajemen pengadilan agama ini tidak boleh dibuat kaku dan dibiarkan terasing dari ma- syarakatnya. Bahkan setelah Indonesia merdeka, sejarah lembaga pengadilan agama itu terkait erat dengan sejarah Departemen Agama, pilar utama keberadaan Departemen Agama itu adalah Pengadilan Agama. Jika suatu hari nanti Departemen Agama dianggap tidak lagi diperlukan keberadaannya dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia, barulah keberadaan Pengadilan Agama dalam lingkungan pembinaan administratif di lingkungan Departemen Agama dapat dipindahkan ke Mahkamah Agung. Atas dasar pertimbangan demikian itulah maka saya mengu- sulkan agar dalam upaya mengembangkan sistem kekuasaan keha- kiman yang utuh di bawah Mahkamah Agung, kedudukan Penga- dilan Agama untuk sementara waktu tetap dibiarkan terbina di bawah organisasi pemerintah, yaitu di bawah Departemen Agama. Namun pada saatnya nanti, administrasi pembinaan pengadilan agama tidak mungkin terus menerus dipisahkan dari lingkungan kekuasaan kehakiman pada umumnya. Jika pembinaannya terus menerus disendirikan, besar kemungkinan perkembangannya akan mengalami hambatan. Karena itu, memang perlu dilakukan langkah- langkah konkrit, terencana dan sistematis sehingga pada saatnya nanti, administrasi pembinaan peradilan agama juga diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan oleh Mahkamah Agung. Dalam proses persiapan ke arah itu, sudah seharusnya pembina- an profesionalisme dan pengembangan kesejahteraan hakim serta penataan kelembagaan pengadilan agama perlu terus ditingkatkan dan dimantapkan sesuai dengan perkembangan keadaan. Semua hak dan kewajiban hakim dan badan-badan pengadilan agama harus di- kembangkan sama dengan apa yang dikembangkan dengan lembaga pengadilan lainnya. Dengan demikian, tidak akan ada anak tiri dan anak emas, ataupun badan peradilan agama yang dipandang lebih tinggi ataupun lebih rendah daripada lembaga pengadilan lainnya.

2. Mahkamah Agung