Otonomi, desentralisasi dan Integrasi Nasional

26 27 materi yang sama sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang- Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Ta- hun 974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Lembaran Negara Tahun 974 No. 8 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 974 No.07, UU No.5 Tahun 979 tentang Pemerintahan Desa LN Tahun 979 No. 56 dan TLN Tahun 979 No. 5, dan UU No. 2 Tahun 956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri LN Tahun 956 No.77 dan TLN Tahun 956 No.442. Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Si- dang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IVMPR2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pent- ingnya kemandirian dan prakarsa dari daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu me- nunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 8 UUD 945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijakan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan para- digma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut.

1. Otonomi, desentralisasi dan Integrasi Nasional

Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentral- isasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemer- intahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika di daerah lain, tergantung kesiapan daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pemilihan yang bersifat langsung itu. Pelaksanaan pemilihan langsung tersebut perlu diatur dengan undang-undang. Sesungguhnya, kebijakan otonomi daerah telah diletakkan dasar- dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah- setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal. Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 945 yang telah di- perbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk me- nyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan mem- perhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diang- gap sangat penting karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan yang terus meningkat. Perkembangan keadaan objektif memang mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah. Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Dae- rah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini maka UU yang mengatur 28 29 demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini. Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenan- gan secara vertikal maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini. Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi maka praktek-praktek kekuasaan yang me- nindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan, kekhawatiran akan sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang se- belumnya tidak memiliki banyak kewenangan, dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar dalam waktu singkat, belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, timbul kekhawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipa- kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai san- gat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada giliran- nya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah send- iri. Bahkan, Ketetapan MPR No.IVMPR2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, seke- dar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi juga perlu diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerin- tahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

2. Otonomi, dekonsentrasi dan demokratisasi