Lembaga Eksekutif yang Bersifat Independen

82 8 puncaknya sehingga diperlukan lagi gerakan baru untuk memberi makna bagi kehidupan yang memang selalu harus dinamis.

9. Lembaga Eksekutif yang Bersifat Independen

Selain lembaga-lembaga negara seperti tersebut di atas, bentuk keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan-perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembangan-perkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia, di tengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi empat tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang sekarang telah resmi me- nikmati kedudukan yang independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia TNI, Kepolisian Negara POLRI dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi lembaga yang independen. Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum KPU, Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR, dan sebagainya. Jika nanti, Undang-Undang tentang Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru lagi, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia KPI yang juga bersifat independen. Di bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru yang bernama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK yang juga ditentukan bersifat independen. Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional KHN. Komisi-komisi atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diide- alkan bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi-fungsi Dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD Tahun 999 dan 200 juga diperkenalkan adanya lembaga pemanggilan paksa untuk keperluan pelaksanaan tugas DPR. Dalam Pasal 5 UU Tahun 999, panggilan paksa itu dikaitkan dengan ‘hak subpoena’ DPR yang mengancam pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara dengan ancaman pidana tahun penjara. Keten- tuan panggilan paksaan demikian itu, dikurangi dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,dan DPRD Tahun 200 dengan ancaman sandera selama 5 hari, dan itupun pelaksanaannya tidak dapat dilakukan sendiri, melainkan oleh polisi danatau jaksa, dengan pembatasan bahwa panggilan paksa itu hanya dilakukan dalam rangka pelaksanaan hak penyelidikan hak angket. Namun demikian, terlepas dari perkembangan untuk melunak- kan kekuasaan DPR untuk memanggil paksa itu, perkembangan ketentuan yang berkenaan dengan penguatan kewenangan DPR itu dibandingkan dengan makin lemah dan berkurangnya kewenan- gan Presiden, dapat dikatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru, memang telah terjadi pergeseran kekuasaan yang sangat mendasar. Bahkan, ada orang yang berpendapat bahwa sekarang telah terjadi pergeseran kekuasaan yang besar dari Presiden ke tangan DPR, sehingga dikatakan bahwa kalau dulu UUD 945 bercorak executive heavy, maka UUD 945 pasca Perubahan telah berkembang menjadi legislative heav. Memang harus diakui, banyak faktor yang mendukung penilaian semacam ini. Akan tetapi, satu hal yang juga perlu dimaklumi ialah bahwa dalam proses perubahan yang sangat cepat, tentu harus pula dipahami adanya pergerakan arus perubahan dari satu kutub ke kutub lain yang sedang bergerak cepat. Teori pendulum ini juga turut mewarnai penilaian umum kita atas pergeseran kekuasaan dari Presiden ke DPR akhir-akhir ini. Yang juga harus kita waspadai ialah jangan sampai pendulum penilaian kita terhadap dinamika perubahan yang sedang bergerak itu menyebabkan arah perubahan berubah drastis ke arah kemun- duran ke belakang set­back hanya gara-gara orang tidak puas akan akibat-akibat samping dari perubahan itu sendiri. Bagaimanapun juga pergerakan pendulum dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan harus tetap dikelola dengan baik, dan pada saatnya nanti, kita dapat mengharapkan bahwa pendulum itu akan bergerak ke arah yang seimbang. Di situlah pergeseran-pergeseran itu akan menemukan titik 84 85 ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat populer. Karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima. Dan sekarang, dalam Perubahan Ketiga UUD 945, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi itu sudah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 945. Bahkan, pada waktu UUD 945 disusun pada tahun 945, para perumusnya bersepakat bahwa UUD Proklamasi itu memang tidak didasarkan atas teori trias politica yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. Namun, sejak awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan judikatif sudah dengan tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Oleh karena itu, sekarang setelah lembaga MPR sendiri mengalami reformasi struk- tural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak pada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu i Presiden dan Wakil Presiden seb- agai satu institusi kepemimpinan, ii MPR yang terdiri atas DPR dan DPRD, dan iii kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga-tiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan Mah- kamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai pun- cak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Karena itu timbul usulan agar kedua mahkamah itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dengan sebutan Mahkamah Agung yang memiliki dua pintu, den- gan sekretariat jenderalnya satu. Hanya saja, tidak mudah mencari nomenklatur yang tepat untuk sebutan kedua mahkamah itu. Jika kedua-duanya disebut Mahkamah Agung, dan mahkamah agung yang asli disebut sebagai Mahkamah Kasasi, dapat menimbulkan ke- san seakan-akan kewenangan mahkamah agung yang asli itu hanya bersifat kasasi, padahal dalam kenyataannya kewenangannya tidak hanya menyangkut perkara-perkara kasasi. Oleh karena itu, kedua Mahkamah itu, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang bersifat campur-sari, yaitu semi-legislatif dan regulatif, semi- administratif, dan bahkan semi-judikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self regulatory bodies’ yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 0-an jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres Amerika Serikat. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya, adalah Federal Trade Commission FTC, Federal Commu- nication Commission FCC, dan sebagainya. Kedudukan lembaga- lembaga ini di Amerika Serikat, meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan eksekutif tetapi pengangkatan dan pemberhentian para anggota komisi itu ditentukan dengan pemilihan oleh kongres. Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu diduduk- kan pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia modern, dan sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang.

E. KEKUASAAN KEHAKIMAN

1. Latar Belakang Pemikiran

Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu ke- satuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahka- mah Konstitusi. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekua- saan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka cabang kekuasaan judikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipa- hami terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pada mulanya, memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bah- kan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, pada tahun 945 ketika UUD 945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Namun di kalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad