2 Namun demikian, baik kepentingan umum maupun privaat, sebe-
narnya tetap berkaitan dengan kepentingan individu setiap warga negara. Seperti dikatakan oleh Rudolf van Ihering, hak-hak publik
dan hak-hak privaat tidak dapat dibedakan satu sama lain not distin guishable
. Subjek keduanya selalu persis sama, yaitu menyangkut ‘the natural person’
, makhluk manusia. Perbedaan hakiki keduanya hanya terletak pada kenyataan bahwa “private rights affect private individuals
exclusively, while all the individual citizens alike participate in the public ”.
33
hak-hak privat, secara eksklusif, mempengaruhi dan menentukan pribadi-pribadi perseorangan, sedangkan individu warga negara
semuanya sama-sama terlibat berpartisipasi dalam kegiatan publik tanpa kecuali.
Pemikiran politik Cicero didasarkan atas penerimaannya yang kuat terhadap ‘the Stoic universal law of nature’ yang merangkul dan
mengikat seluruh umat manusia:
“There is in fact a true law – namely, right reason – which is in accor- dance with nature, applies to all men, and is unchangeable and eternal.
By its commands this law summons men to the performance of their duties; by its prohibitions it restrains them from doing wrong. Its com-
mands and prohibitions always inluence good men, but are without effect upon the bad.”
34
Cicero juga menegaskan adanya ‘one common master and ruler of men, namely God, who is the author of this law, it sinterpreter, and tis spon
sor’ .
35
Tuhan, bagi Cicero, tak ubahnya bagaikan Tuan dan Penguasa semua manusia, serta merupakan Pengarang atau Penulis, Penafsir
dan Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hukum dalam pemahamannya tentang persamaan antar
umat manusia. Baginya, konsepsi tentang manusia tidak bisa dipan- dang hanya sebagai ‘political animal’ atau insan politik,melainkan
lebih utama adalah kedudukannya sebagai ‘legal animal’ atau insan hukum.
Selain itu, beberapa kesimpulan dapat ditarik dari pengalaman
sejarah konstitusionalisme Romawi kuno ini adalah: Pertama, untuk memahami konsepsi yang sebenarnya tentang ‘the spirit of our consti
tutional antecedents’ dalam sejarah, ilmu hukum haruslah dipandang
penting atau sekurang-kurangnya sama pentingnya dibandingkan dengan sekedar perbincangan mengenai materi hukum. Kedua, ilmu
pengetahuan hukum yang dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga, pusat perhatian
dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hukum Romawi bukanlah ‘the absolutisme of a prince’ sebagaimana sering dibayangkan
oleh banyak ahli, tetapi justru terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi kewenan-
gan politik dalam satu negara. Dengan demikian, rakyatlah dalam perkembangan pemikiran Romawi yang dianggap sebagai sumber
yang hakiki dari hukum dan sistem kekuasaan.
B. KONSTITUSIONALISME dAN PIAGAM MAdINAH
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah
Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad saw dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah
tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yasrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622M. Banyak buku yang meng-
gambarkan mengenai Piagam Madinah, kadang-kadang disebut juga Konstitusi Madinah. Salah satunya adalah disertasi Ahmad Sukardja
yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh UI-Press dengan judul Piagam Madinah dan UndangUndang Dasar 1945: Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk
36
. Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang ber-
macam-macam. Montgomery Watt menyebutnya “The Constitution of Medina”
37
; Nicholson menyebutnya “Charter”
38
; Majid Khadduri
menggunakan perkataan “Treaty”
39
; Phillips K.Hitti menyebutnya
“Agreement ”
40
; dan Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan ‘Pia-
33
Loc. cit.
34
R.N.Berki, op. cit., hal. 74.
35
Loc. cit.
36
Ahmad Sukardja Prof. Dr., Piagam Madinah dan UndangUndang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk
, UI-Press, Jakarta, 995.
4 5
gam’
41
sebagai terjemahan kata “alshahifah”. Nama ‘al-shahifah’ merupakan nama yang disebut dalam naskah piagam itu sendiri.
Kata ini bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks piagam
42
. Perkataan ‘charter’ sesungguhnya identik dengan piagam dalam
bahasa Indonesia, sedangkan perkataan ‘treaty’ dan ‘agreement’ lebih berkenaan dengan isi piagam atau ‘charter’ itu. Namun, fungsinya
sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenega- raan menyebabkan piagam itu tepat juga disebut sebagai konstitusi,
seperti yang dilakukan oleh Montgomery Watt ataupun seperti yang dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad seperti tersebut di atas.
Para pihak yang diikat dalam Piagam yang berisi perjanjian ini ada tiga belas, yaitu komunitas-komunitas yang secara eksplisit dise-
but dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah: i kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, ii
Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, iii Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, iv Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, v Kaum Yahudi
dari Banu al-Hars, vi Banu Jusyam, vii Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, viii Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, ix Banu al-
Nabit, x Banu al-‘Aws, xi Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, xii Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan xiii Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah itu berisi 47 pasal keten- tuan. Pasal , misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menya-
takan: “Innahum ummatan wahidatan min duuni alnaas” Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari komunitas manusia yang
lain
43
. Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka para pendukung piagam bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota
Yatsrib Madinah”. Dalam Pasal 24 dinyatakan: “Kaum Yahudi me- mikul biaya bersama kamu mukminin selama dalam peperangan”.
Pasal 25 menegaskan bahwa: “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin”. Bagi kaum Yahudi agama mere-
ka, dan bagi kaum mukminin agama mereka. Juga kebebasan ini ber- laku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang
zalim dan yang jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluar- ganya sendiri. Jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman
itu demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang mungkin akan menyerang kota Madinah,
setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang
Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran
mengenai prinsip “lakum diinukum walya diin” bagimu agamamu, dan bagiku agamaku yang menggunakan perkataan ‘aku’ atau ‘kami’
versus ‘kamu’. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak
yang sama dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan pe- nutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah: “Sesungguhnya pia-
gam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar bepergian aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang
yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. tertanda Muhammad Rasulullah saw
44
.
C. KONSTITUSI dAN KONSTITUSIONALISME MOdERN