KEdAULATAN dAN PEMBATASAN KEKUASAAN

A. KEdAULATAN dAN PEMBATASAN KEKUASAAN

Dalam rangka pembahasan tentang organisasi dan kelembagaan negara, diskusi dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat ke- kuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan ke dalam bangunan kenegaraan. Kuncinya terletak pada apa dan siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai pe- megang kedaulatan sovereignty dalam suatu negara. Sehubungan dengan konsep kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam ilsafat hukum dan kenegaraan, dikenal adanya lima ajaran atau teori yang biasa diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan Sov­ ereignty of God , kedaulatan raja Sovereignty of the King, kedaulatan hukum Sovereignty of Law, kedaulatan rakyat People’s Sovereignty dan ajaran kedaulatan negara State’s Sovereignty. Di Indonesia sendiri, sejak kemerdekaan, para pendiri negara Republik Indonesia secara resmi telah memilih bentuk republik dan meninggalkan ide kerajaan. Oleh karena itu, konsep kedaulatan raja Sovereignty of the King tidak lagi perlu disinggung-singgung di sini. Demikian pula konsep kedaulatan negara yang biasa dipahami dalam konteks hubungan internasional, juga tidak perlu dipersoalkan di sini. Karena Indonesia merdeka, dengan sendirinya telah mendapatkan pengakuan dunia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka. Yang penting untuk dibahas disini adalah konsep kedaulatan Tuhan, Ke- daulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat dengan menghubungkan ketiganya dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan mengaitkan ketiga gagasan yang terkandung di dalamnya dengan cita kenegaraan staatsidee yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Dasar ORGAN NEGARA dAN PEMISAHAN KEKUASAAN BaB 6 prinsip peradilan bebas, vii prinsip perdamaian, viii prinsip kesejahteraan, dan ix prinsip ketaatan rakyat. Dalam pandan- gan Taher Azhary, adanya kesembilan prinsip itu menentukan suatu negara dapat disebut sebagai negara hukum yang ideal atau tidak 192 . n 9 Disertasinya itu diterbitkan menjadi buku dengan judul Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip­Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini , Bulan Bintang, Jakarta, 992. 92 Ibid., hal. 79 – . 2 dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasil- kannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan separation of power atau pembagian kekuasaan distribution atau division of power. Pemi- sahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah- pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga- lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi checks and balances . Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Selama ini, UUD 945 menganut paham pemba- gian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu diba- gikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya. Dalam perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 945 yang asli, tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Dalam sistem yang lama, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Akan tetapi, dalam Perubahan Pertama dan Kedua UUD 945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai dianut oleh para perumus Perubahan UUD seperti tercermin dalam perubahan Pasal 5 dan Pasal 20 ayat sampai ayat 5. Anutan prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara secara keseluru- han. Dalam paham pemisahan kekuasaan, prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara, dianggap sebagai sesuatu yang sangat pokok. Karena itu, dengan ditegaskannya anutan prinsip pemisahan kekuasaan maka format dan mekanisme keta- tanegaraan yang dikembangkan pada masa depan juga mengalami Proklamasi Kemerdekaan 945. Perlu ditelaah dengan seksama, yang manakah di antara ketiga konsepsi ajaran kedaulatan tersebut di atas yang sesungguhnya menjadi konsep kunci dalam sistem pemikiran kenegaraan kita 193 . Menurut pendapat saya, ketiga-tiga ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat itu berlaku secara simul- tan dalam pemikiran bangsa kita tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran kolektif kita mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan akan kemahakua- saan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar- dasar berpikir sistemik dalam konstruksi UUD negara kita. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan rechtsstaat atau the rule of law serta prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung- dengungkan setiap waktu. Namun dalam perwujudannya, perumus- an hukum yang dijadikan pegangan tertinggi itu haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan. Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instru- men-instrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerin- tahan sebagai institusi hukum yang tertib. Karena itu, produk-produk hukum yang dihasilkan selain mencerminkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, juga haruslah mencerminkan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap produk hukum yang dihasilkan tidak boleh bertentangan dengan cita Ketuhanan bangsa Indonesia yang dijamin dalam Pancasila, tetapi produk hukum itu bukan pula penjelmaan langsung dari keyakinan-keyakinan umat beragama terhadap hu- kum-hukum ilahiyah. Proses terbentuknya hukum nasional yang disepakati haruslah dilakukan melalui proses permusyawaratan ses- uai prinsip demokrasi perwakilan sebagai pengejawantahan prinsip kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan 9 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksa­ naannya di Indonesia , Ghalia Indonesia, Jakarta, 994, hal. 59-62. 4 5 yang ada di negeri Belanda. Badan Pemeriksa Keuangan berasal dari ‘Raad van Rekenkamer’ , dan Dewan Pertimbangan Agung berasal dari ‘Raad van Nederlandshce Indie’ yang ada di Batavia atau ‘Raad van State’ di negeri Belanda. Sedangkan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kemudian dianggap mempunyai kedudukan yang tertinggi tidak ada contoh sebelumnya, kecuali yang ada di lingkungan negara- negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal, melalui mana kedaulatan rakyat disalurkan ke dalam pelembagaan Majelis Rakyat yang tertinggi supreme people’s council, seperti di Uni Soviet, di Republik Rakyat Cina, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa dalam keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang bersifat kombinatif antara tradisi liberalisme barat dengan sosialisme timur. Unsur-unsur keanggotaan MPR juga meng- gambarkan adanya semangat kombinasi ini, yaitu terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR ditambah Utusan Daerah UD dan Utusan Golongan UG, sehingga keseluruhan anggota MPR itu benar-benar diharapkan mencerminkan dan dianggap benar-benar sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Unsur anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik political demo­ cracy yang didasarkan atas prosedur perwakilan politik political representation dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan negara, sedangkan Utusan Golongan mencerminkan prinsip de- mokrasi ekonomi economic democracy yang didasarkan atas prosedur perwakilan fungsional functional representation. Sistem perwakilan fungsional itu dimaksudkan untuk mengatasi atau menutupi kelema- han sistem demokrasi politik atau sistem perwakilan politik. Semen- tara itu, jika anggota DPR berorientasi nasional untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara, maka Utusan Daerah diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah-daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi untuk mengutamakan kepentingan nasional. Dengan demikian, keberadaan para anggota Majelis ini benar-benar mencer- minkan seluruh lapisan dan golongan rakyat, sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi supreme.

1.1. Institusi atau Forum

Meskipun MPR diharapkan menjadi penjelmaan seluruh rakyat, tetapi sering dipersoalkan dan diperdebatkan sejauh mana hakikat perubahan mendasar. Kekuasaan negara yang selama ini terpusat pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara, termasuk berkenaan dengan format dan susunan peraturan perundang-undangan yang selama ini terkait dengan keberadaan MPR, mau tidak mau, harus mengalami perubahan mendasar. Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekua- saan itu dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang- wenang pada penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan. Seperti kata-kata Lord Acton yang terkenal dan sering dikutip oleh banyak penulis, ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’ . Kekuasaan cenderung untuk menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang bersifat mutlak, kesewenang-wenangannya juga cenderung mutlak. Inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber malapetaka. Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat, ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Betapapun baiknya seseorang, yang namanya kekuasaan tetaplah harus diatur dan dibatasi, sehingga kebaikan orang tidak larut ditelan oleh hukum besi kekuasaan itu.

B. CABANG KEKUASAAN LEGISLATIF