Kualitas kebijakan dan pengaturan tentang kehutanan daerah
63 Lebih lanjut, merujuk dokumen Rencana Pengelolaan DAS Manggar
6
, kecenderungan petani di pulau Kalimantan dapat dikategorikan sebagai petani
lahan kering
upland-farming systems
dengan pola perladangan gilir balik
shifting cultivation
atau
swidden agriculture
yang menggunakan teknik tebas- bakar
slash and burn
. Dalam pandangan Kartodihardjo 2013 dan Schmid 2004, situasi tersebut memerlukan kelembagaan yang efektif guna mengurangi
ketidakpastian
uncertainty
dan risiko bawaan
inherent risks
sumber daya hutan berkarakteristik CPRs. Implikasinya perlu disusun bentuk strategi pengelolaan
implementatif
workable
guna memberikan alternatif solusi yang tepat, misalnya pengaturan pemanfaatan lahan, peningkatan kapasitas petani dan pemberian
insentif masyarakat setempat agar tidak bertindak
overuse
serta tidak mengalihfungsikan lahan yang dikuasainya.
b Efektivitas pengaturan dalam konteks tenurial
Analisis literatur tenurial Robinson
et al
. 2013 mengungkapkan pada prinsipnya semua bentuk penguasaan lahan
land tenure
rentan
susceptible
terhadap ketidakpastian tenurial
tenure insecurity
. Pola penguasaan lahan dapat terbentuk dari beragam
bundle of rights
rezim
property rights
. Situasi dimaksud terjadi di lokasi penelitian, baik HLSW maupun DAS Manggar. Walaupun
kondisi tenurial kedua kawasan hutan menunjukkan situasi tenurial yang berbeda. Pada kawasan HLSW, berdasarkan Perda No.11 Tahun 2004, Pasal 12 ayat 4,
masyarakat sekitar yang kehidupannya bergantung dan telah melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan di HLSW, dapat diberikan izin IPK seluas dua ha.
Melalui pemberian izin ini, masyarakat khususnya Wain Luar akan memperoleh akses legal dalam memperoleh aliran manfaat hutan. Pemberian izin disertai
persyaratan tertentu yang bertujuan membatasi perilaku masyarakat.
Namun, timbul persoalan dengan petani yang mengklaim lahan melebihi batas. Ternyata pelaksanaan di tingkat tapak, situasi ini sulit dihindari oleh
pengelola. Implikasinya, sejak tahun 2004 s.d. tahun 2009 hanya 121 KK yang mengajukan izin IPK seluas 213,39 ha. Walaupun menurut kajian UP
–HLSW tahun 2001
7
, sebenarnya terdapat ±371 KK yang memanfaatkan lahan seluas ±1.394,97 ha untuk kegiatan perladangan dan berkebun Gambar 17.
Sedang pada kawasan DAS Manggar, dalam konteks konsistensi kesetaraan hak formal dan informal masyarakat, Pemkot baru menerapkan pengakuan hak
masyarakat secara parsial. Sejak tahun 1980an telah dilaksanakan kegiatan pembebasan lahan di lokasi waduk Manggar. Pembebasan
rights to aleination
: Ostrom dan Schlager 1996 dimaknai sebagai pengakuan keberadaan masyarakat.
6
Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Manggar belum ditetapkan, masih dalam tahap sosialisasi. Rencana ini merupakan dokumen yang disusun oleh BPDAS Mahakam Berau pada
tahun 2010. Salah satu rekomendasinya pengelolaan DAS Manggar memiliki dua kepentingan yakni kepentingan lahan dan masyarakat. Sehingga diperlukan data status kepemilikan lahan
Hak Milik masyarakat, khususnya pada sub DAS yang memiliki potensi sebagai pemasok air baku PDAM.
7
Tersaji di dalam Laporan Kegiatan Konsultasi Publik Penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Teknis Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain; tanggal 23-25 Oktober 2003.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari proses penyusunan kebijakan pengelolaan hutan lindung Sungai Wain. Berfungsi sebagai materi awal yang dipergunakan untuk mendorong
perlunya pengelolaan HLSW.
Hasil analisis mengungkapkan kebanyakan masyarakat DAS Manggar mengharapkan kepastian hak
tenure security
penguasaaan lahan yang dimiliki sebelum penetapan hutan lindung. Saat ini, masyarakat menyadari lahan dimaksud
secara legal tidak akan diakui Badan Pertanahan Nasional BPN dalam bentuk penetapan sertifikat hak milik. Sebagaimana diungkapkan n
arasumber “
Bahkan pada tahun 2007, masyarakat ikut program Prona BPN sempat senang kawasan
bisa dibuatkan sertifikat. Namun, setelah ditunggu 2 tahun tidak keluar karena masuk dalam kawasan lindung
” AB, Juni 2014.
Sumber: UP HLSW, tahun 2001
Gambar 17 Penguasaan lahan di HLSW seluas ± 1.394,97 ha sebelum penetapan perda pengelolaan HLSW
Menelisik sejarah pengelolaan DAS Manggar tahun 2007, ternyata belum terdapat upaya nyata yang memberikan pengakuan hak informal masyarakat. Pada
sisi yang lain, pengelola sebenarnya juga memerlukan kepastian dan legitimasi dari masyarakat. Walaupun sudah ditetapkan dasar legalitas melalui SK Walikota.
Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber berikut.
“
Tanpa dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan DAS Manggar, pengelola tidak akan dapat melangkah, karena masyarakat setempat
mayoritas telah menguasai atau memiliki lahan di DAS Manggar sebelum penetapan sebagai hutan lindung akan bertentangan dengan pengelola
” Pw, Juni 2014.
65 Kondisi ini merupakan representasi lemahnya klaim pemerintah melalui
penetapan hutan lindung dilihat dari perspektif masyarakat. Situasi ini sebenarnya telah diketahui dan dipahami oleh pengelola. Artinya, potensi risiko permasalahan
tenurial DAS Manggar akan mempengaruhi pencapaian tujuan pengelolaan. Bukan suatu fenomena yang belum diketahui oleh pengelola. Situasi ini senada
dengan sintesis Ostrom dan Schlager 1996. Mengutip laporan kegiatan pengelolaan HLSW DAS Manggar tahun 2013 diungkapkan hal berikut.
“
Sebagaimana diketahui bahwa HLSM telah memiliki banyak konflik permasalahan lahan, kondisi lahan yang tidak terurus, dan program-
program pemerintah yang tidak dapat lagi ... . Secara eksisting kawasan HLSM sudah ditanami karet oleh masyarakat, dan kemungkinan
pengembangannya sudah tidak terkendali
”. Laporan HLSW DAS
Manggar Tahun 2013.
Penyebab kegagalan klaim pemerintah terhadap hutan menurut Ostrom dan Schlager 1996 yang mengacu pandangan Panayotou dan Ashton dikelompokkan
menjadi lima hal, yakni: 1. Areal yang ditransfer menjadi kepemilikan negara terlalu luas; 2. Kegagalan memahami dan mengakomodasi keragaman hak
individu dan masyarakat atas hutan; 3. Keterbatasan anggaran dan administrasi, teknik, kapasitas penegakan klaim pemerintah; 4. Tekanan pertambahan
penduduk; dan 5. Kegagalan pengembangan wilayah dalam menyediakan alternatif pekerjaan dan kesempatan berusaha. Sehingga solusi permasalahan
memerlukan kajian komprehensif yang melibatkan lintas pengetahuan. Saat ini, masyarakat mengharapkan kejelasan
tenure security
dan komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun, belum ada solusi yang ditawarkan
pemerintah guna menyelesaikan situasi DAS Manggar yang dilematis. 3.
Peran dan fungsi kerangka kerja utama kelembagaan
UU No.22 Tahun 1999 yang terakhir diubah melalui UU No.32 Tahun 2004 dan PP No.62 Tahun 1998 dan PP No.38 Tahun 2007 tentang kebijakan
desentralisasi sektor kehutanan secara eksplisit memberikan kesempatan kepada daerah kota dan kabupaten mengelola hutan lindung. Namun, sebagaimana
dijelaskan berbagai kajian desentralisasi Ekawati
et al
. 2012; Nurrochmat
et al
. 2012; Karsudi
et al
. 2010; Palmer dan Engel 2007; Ribbot
et al
. 2006; Larson dan Ribot 2004; Mccarthy 2004; dan Wollenberg dan Kartodihardjo 2002 pada
prinsipnya elemen utama desentralisasi adalah keterwakilan yang memperoleh legitimasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Namun, penyelenggaraan
urusan pemerintahan sektor kehutanan belum memperoleh dukungan yang kuat dari pemerintah pusat.
Nurrochmat 2005 mengungkapkan lemahnya implementasi desentralisasi kehutanan adalah mengenai keterbatasan kualitas dan kuantitas petugas kehutanan
daerah, ketidakjelaskan ambiguitas peratuan, kurangnya petunjuk teknis dan tidak adanya penegakan hukum. Termasuk inkonsistensi kebijakan dan materi
peraturan perundang-undangan serta kemauan politik pemegang otoritas pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga jarak antara komitmen normatif
dengan situasi sebenarnya sangat jauh. Dalam konteks pengelolaan hutan lindung ditandai beragamnya NSPK yang harus dipenuhi dan kurangnya peningkatan
kapasitas pemerintah daerah guna melaksanakan desentralisasi kehutanan.
Merujuk Pasal 21 ayat 1 dan 2 dalam Perda No.11 Tahun 2004, dapat diketahui pendanaan pengelolaan bersumber dari APBDAPBN, dana hibah
ataupun sumbangan tidak mengikat. Namun alokasi anggaran
budget
kegiatan operasional pengelolaan sangat bergantung dari APBD
cost center
Gambar 18. Sehingga, dana operasional seluruhnya bersumber dari pemerintah kota.
Walaupun pengelola juga menerima hibah dari pihak lain, berbentuk kegiatan bersama, seperti kegiatan penelitian, penanaman reboisasi, pemberdayaan
masyarakat dan bantuan kendaraan operasional.
Situasi ini menjadi titik keunggulan dan sekaligus kelemahan apabila ditinjau dari aspek keberlanjutan pembiayaan kegiatan pengelolaan hutan lindung.
Keunggulannya pengelola memiliki sumber tetap dari APBD. Namun, terdapat kelemahan yakni apabila terjadi pengurangan ataupun penghentian anggaran,
implikasinya kegiatan pengelolaan tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan terhenti. Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber sebagai berikut.
“
Pengelolaan HLSW dan DAS Manggar direncanakan agar tidak tergantung dengan sumber dana APBD, dalam waktu 10 tahun harus bisa
mandiri membiayai diri sendiri. Persoalan ini dalam disikusi internal, BP HLSW seperti lembaga setengah pemerintah
” Bb, Juni 2014. Lebih lanjut diketahui sebelum tahun 2012, pembiayaan operasional
diperoleh melalui mekanisme hibah daerah. Namun, tiga tahun terakhir alokasi anggaran melalui BLH Kota Balikpapan berbentuk program dan kegiatan,
implikasi perubahan administrasi keuangan daerah. Mekanisme ini cukup mengganggu kegiatan operasional pengelolaan. Pencairan anggaran harus melalui
tahapan tertentu mengikuti proses administrasi keuangan pemerintah. Mengingat dalam kondisi tertentu, terdapat pengeluaran yang tidak bisa menunggu proses
pencairan dana secara normal, misalnya biaya mitigasi maupun penanggulangan kebakaran hutan serta kegiatan lain yang tidak terduga.
Berdasarkan pemberitaan media massa lokal periode tahun 2012 sd. 2014, persoalan alokasi anggaran menjadi salah satu topik pemberitaan sebanyak tujuh
kali
8
. Oleh karenanya diperlukan skema pembiayaan yang secara optimal mampu mengatasi ketergantungan alokasi pembiayaan dari pemerintah dan fleksibilitas
administrasi keuangan dengan tidak menyalahi aturan yang berlaku. Sebagaimana diungkapkan kedua narasumber berikut.
“
Sepanjang berjalannya pelaksanaan perda, terdapat kelemahan mengenai pembiayaan yang didominasi dari APBD. Administrasi pencairan keuangan
tersebut menyebabkan persoalan pengelolaan hutan lindung. Persoalan administrasi keuangan mempengaruhi kinerja kelembagaan pengelola
hutan. Persoalan tersebut dirasakan pada saat adanya pelarangan hibah sampai dengan saat ini
” Sm, Juni 2014; dan
8
Analisis berita media dilakukan terhadap pemberitaan lokal yang dimuat secara online pada lima surat kabar lokal. Pemberitaan mengenai HLSW DAS Manggar tersebut terjadi dalam
kurun waktu antara tahun 2012 sd. 2014, meliputi sebanyak 39 artikel pemberitaan. Mayoritas konteks pemberitaan berturut-turut memuat beritan tentang ancaman aktivitas batu bara,
masalah alokasi anggaran, perambahan maupun pencurian kayu. Khusus pemberitaan anggaran BP HLSW DAS Manggar dimuat dalam tujuh pemberitaan atau mencapai 17.95 dari total
pemberitaan tentang hutan lindung.
67 “Hutan lindung HLSW DAS Manggar bisa ‘dijual’ untuk sebagai
sumber pembiayaan, namun dalam bentuk program
” Sy, Juni 2014. Hasil penelusuran dokumen pelaksanaan anggaran DPA TA 2012, UP
HLSW DAS Manggar selain menerima alokasi operasional pengelolaan juga memperoleh anggaran pembangunan sarana dan prasarana fisik. Mayoritas alokasi
anggaran tersebut digunakan untuk pembiayaan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan. Alokasi anggaran terbesar selama kurun waktu 2005 sd. 2014,
terjadi pada tahun anggaran TA 2012 yakni sebesar 4,49 milyar rupiah atau mencapai 90,49 dibamdingkan dari total penerimaan dana bagi hasil sektor
kehutanan, serta terendah pada TA 2007 sebesar 1 satu milyar rupiah Gambar 18.
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat audited dan UP-HLSW DAS Manggar
Gambar 18 Perbandingan anggaran UP HLSW DAS Manggar dan penerimaan DBH sektor kehutanan
Alokasi anggaran pengelolaan hutan selama sepuluh tahun terakhir, berkisar antara 0,08
–0,25 dari total belanja daerah. Nilai yang relatif kecil untuk pengelolaan hutan lindung yang memiliki manfaat dan fungsi sebagai daerah
perlindungan sistem penyangga kehidupan. Apabila alokasi anggaran pengelolaan dinaikkan menjadi sekurang-kurangnya sebesar 0,5 dari belanja daerah, maka
akan memberikan ruang gerak yang cukup bagi pengelola dalam berinovasi guna mencapai tujuan pengelolaan hutan lindung. Pemkot tidak hanya mengalokasikan
anggaran untuk UP HLSW DAS Manggar, tetapi juga mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan UP KWPLH dan UP Kebun Raya Balikpapan. Saat
ini, Kebun Raya Balikpapan telah berubah status menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah BLH Kota Balikpapan.
Dinamika alokasi anggaran yang fluktuatif dapat merepresentasikan komitmen dan kepentingan pemerintah terhadap keberlangsungan pengelolaan
hutan lindung. Komitmen politik pimpinan daerah Walikota dan DPRD sangat menentukan kecukupan anggaran program dan kegiatan pengelolaan hutan
lindung oleh BP –HLSW DAS Manggar. Selain kendala teknis administrasi
keuangan birokrasi pemerintah kota juga mempengaruhi proses pengalokasian anggaran APBD dan mekanisme pencairan anggaran. Hanna
et al
. 1996 mengungkapkan masalah pengelolaan lingkungan merupakan masalah yang
timbul akibat
asymetric information
dan pengetahuan birokrasi pemerintahan daerah mengenai substansi kegiatan pengelolaan hutan lindung.
Saat ini, pengelola belum optimal meningkatkan kapasitas untuk melakukan diversifikasi usaha guna memperoleh sumber pembiayaan operasional lain di luar
APBD. Meskipun telah dilakukan upaya ke arah tersebut. Sebagai contoh, menurut laporan kegiatan BP
–HLSW Tahun 2011 telah dilakukan kajian memperhitungkan konsep hulu-hilir keberadaaan waduk Wain di HLSW. Namun,
belum dapat direalisasikan. Oleh karena itu diperlukan revitalisasi peran serta pemangku kepentingan dalam inovasi program promosi yang mampu menarik
perhatian pihak lain agar bersedia memberikan pembiayaan. 4.
Instrumen insentif keuangan dan ekonomi
pay-off
untuk pemerataan aliran manfaat sumberdaya hutan
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, konsep utama yang dikonstruksikan dalam Perda No.11 Tahun 2004 adalah mempertahankan kelestarian lingkungan
melalui harmonisasi bersama masyarakat sekitar hutan serta memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang berkeadilan dan berkelanjutan tercantum
dalam point Pertimbangan huruf f, Perda 11 Tahun 2004. Sedangkan untuk DAS Manggar, penggabungkan pengelolaan dalam BP
–HLSW DAS Manggar dengan pertimbangan berfungsi sebagai daerah penyangga sumber air baku yang
mencakup 80 kebutuhan air masyarakat. Air baku bersumber dari waduk Manggar yang terletak di bagian hilir DAS Manggar.
Persoalan kawasan DAS Manggar sebenarnya diketahui pihak terkait, khususnya pengelola dan Pemkot. Situasi ini menunjukkan masalah dalam
pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan informasi, namun lebih disebabkan kelemahan cara berfikir dan
penggunaan kerangka logis, disamping dinamika komitmen politik pimpinan daerah. Hal ini disebabkan lemahnya kolaborasi antar disiplin ilmu yang
memungkinkan pengetahuan dan informasi dimaksud dapat diadaptasikan dalam praktik di lapangan Lackey 2007 dalam Kartodihardjo 2013.
Upaya penyelesaian persoalan utama pengelolaan terletak pada penguatan status penguasaan lahan yang dikuasai masyarakat. Penguasaan ditandai bukti
kepemilikian sertifikat hak milik khusus sebagian masyarakat transmigran dan surat keterangan penguasaan lahan berupa segel dari RT, lurah maupun camat
setempat serta pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan PBB tanah, contoh disajikan pada Gambar 19. Apabila ditinjau dari sudut pandang formasi
bundle of rights
Ostrom dan Schager 1996, masyarakat tersebut sebenarnya tidak hanya memiliki hak
access
dan
withdrawal
semata, namun memiliki hak
aleination
, yakni hak untuk menjual atau mengalihkan kepada orang lain. Ditandai dengan
praktek pembebasan lahan terkena penggenangan waduk Manggar dan jual beli “penggantian biaya pembukaan lahan” antar masyarakat secara informal.
Masyarakat Wain Dalam yang tinggal di sekitar hutan memiliki resiliensi cukup tinggi di tengah pembatasan akses hutan. Masyarakat Wain Dalam,
merupakan contoh nyata bagaimana masyarakat mampu berdampingan dengan
69 hutan lindung secara harmonis. Kondisi ini telah berlangsung sejak masyarakat
Wain Dalam didatangkan untuk pembuatan waduk Wain, sekitar tahun 1937an. Dahulu, masyarakat Wain Dalam dilibatkan dalam aktivitas kegiatan waduk Wain.
Menurut pandangan Nugroho 2011, diistilahkan dengan penguatan peran serta masyarakat. Menjadi kognisi sosial yang diwariskan secara turun-temurun.
Pengetahuan yang dimiliki oleh generasi sebelumnya menjadi kearifan lokal yang mampu dipertahankan oleh setiap generasi
local institutions
.
Gambar 19 Contoh dokumen penguasaan lahan di DAS Manggar Mayoritas masyarakat Wain Dalam tidak sepenuhnya menggantungkan
penghidupannya terhadap keberadaan hutan. Namun mereka bisa memperoleh penghidupan dari sektor lain, seperti karyawan perusahaan, pegawai negeri sipil
PNS, petani, sektor informal maupun karyawan di BP –HLSW DAS Manggar.
Hanya sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidup dari hutan, berprofesi sebagai pengayam daun nipah untuk atap. Sedangkan pada masyarakat
Wain Luar, Pemerintah telah mengakomodir penyediaan sumber penghidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Implikasinya guna
memenuhi kebutuhan lahan pertanian, mereka membuka lahan. Insentif ekonomi dirasakan oleh masyarakat Wain Luar, sedangkan masyarakat Wain Dalam yang
mayoritas tidak menggantungkan hidup terhadap hutan lindung memperoleh manfaat secara tidak langsung, seperti akses terhadap pembangunan.
Namun, kondisi berbeda terjadi pada masyarakat DAS Manggar. Apabila di HLSW, masyarakat Wain Luar telah diakomodir sebanyak tiga kali pemberian
enclave
tahun 1993; IPK tahun 2004; dan terakhir HKm tahun 2011. Maka masyarakat DAS Manggar kesulitan memperoleh kepastian
security
lahan yang dikuasai dan dimilikinya. Situasi ini tidak terlepas dari dampak kesejarahan
pembentukan hutan lindung, tahun 1996. Akibat penetapan hutan lindung,
masyarakat yang biasanya beraktivitas normal, mengalami situasi dilematis. Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber sebagai berikut.
...
Pemerintah harus mempertahankan fungsi kawasan hutan lindung dan masyarakat tetap hidup berdampingan atau dalam hutan lindung,
masyarakat bisa beraktivitas dan fungsi air bagi kota berjalan dengan baik ... Kondisi psikologis masyarakat di DAS Manggar saat ini penuh
dengan ketidakpastian akibat kesimpangsiuran informasi mengenai keberadaan dan masa depan kawasan dan masyarakat sekitar hutan
lindung
... Wg, Juni 2014. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, belum ada pengaturan mengenai akses
dan kepastian penguasaan lahan yang jelas terkait keberadaan hutan lindung DAS Manggar. Wacana areal DAS Manggar sebagai hutan lindung mulai marak
diketahui masyarakat pada periode tahun 2006 –2007. Bertepatan dengan rencana
Pemkot menggabungkan pengelolaan DAS Manggar ke BP –HLSW DAS
Manggar. Sejak saat itu, kelompok tani DAS Manggar tidak lagi memperoleh bantuan
bibit dan saprodi sebagai dampak penetapan status DAS Manggar sebagai hutan lindung. Implikasi dirasakan masyarakat DAS Manggar, termasuk masyarakat
yang lahannya berada di luar kawasan. Sehingga pembatasan akses pembangunan masyarakat DAS Manggar menjadi
disincentive
dalam pengelolaan hutan lindung. Implikasinya, mayoritas masyarakat DAS Manggar tidak memperoleh kepastian
tenure security
status penguasaan lahan yang telah dikuasai berdasarkan sistem kepemilikan lokal.