Kualitas kebijakan dan pengaturan tentang kehutanan daerah

63 Lebih lanjut, merujuk dokumen Rencana Pengelolaan DAS Manggar 6 , kecenderungan petani di pulau Kalimantan dapat dikategorikan sebagai petani lahan kering upland-farming systems dengan pola perladangan gilir balik shifting cultivation atau swidden agriculture yang menggunakan teknik tebas- bakar slash and burn . Dalam pandangan Kartodihardjo 2013 dan Schmid 2004, situasi tersebut memerlukan kelembagaan yang efektif guna mengurangi ketidakpastian uncertainty dan risiko bawaan inherent risks sumber daya hutan berkarakteristik CPRs. Implikasinya perlu disusun bentuk strategi pengelolaan implementatif workable guna memberikan alternatif solusi yang tepat, misalnya pengaturan pemanfaatan lahan, peningkatan kapasitas petani dan pemberian insentif masyarakat setempat agar tidak bertindak overuse serta tidak mengalihfungsikan lahan yang dikuasainya. b Efektivitas pengaturan dalam konteks tenurial Analisis literatur tenurial Robinson et al . 2013 mengungkapkan pada prinsipnya semua bentuk penguasaan lahan land tenure rentan susceptible terhadap ketidakpastian tenurial tenure insecurity . Pola penguasaan lahan dapat terbentuk dari beragam bundle of rights rezim property rights . Situasi dimaksud terjadi di lokasi penelitian, baik HLSW maupun DAS Manggar. Walaupun kondisi tenurial kedua kawasan hutan menunjukkan situasi tenurial yang berbeda. Pada kawasan HLSW, berdasarkan Perda No.11 Tahun 2004, Pasal 12 ayat 4, masyarakat sekitar yang kehidupannya bergantung dan telah melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan di HLSW, dapat diberikan izin IPK seluas dua ha. Melalui pemberian izin ini, masyarakat khususnya Wain Luar akan memperoleh akses legal dalam memperoleh aliran manfaat hutan. Pemberian izin disertai persyaratan tertentu yang bertujuan membatasi perilaku masyarakat. Namun, timbul persoalan dengan petani yang mengklaim lahan melebihi batas. Ternyata pelaksanaan di tingkat tapak, situasi ini sulit dihindari oleh pengelola. Implikasinya, sejak tahun 2004 s.d. tahun 2009 hanya 121 KK yang mengajukan izin IPK seluas 213,39 ha. Walaupun menurut kajian UP –HLSW tahun 2001 7 , sebenarnya terdapat ±371 KK yang memanfaatkan lahan seluas ±1.394,97 ha untuk kegiatan perladangan dan berkebun Gambar 17. Sedang pada kawasan DAS Manggar, dalam konteks konsistensi kesetaraan hak formal dan informal masyarakat, Pemkot baru menerapkan pengakuan hak masyarakat secara parsial. Sejak tahun 1980an telah dilaksanakan kegiatan pembebasan lahan di lokasi waduk Manggar. Pembebasan rights to aleination : Ostrom dan Schlager 1996 dimaknai sebagai pengakuan keberadaan masyarakat. 6 Dokumen Rencana Pengelolaan DAS Manggar belum ditetapkan, masih dalam tahap sosialisasi. Rencana ini merupakan dokumen yang disusun oleh BPDAS Mahakam Berau pada tahun 2010. Salah satu rekomendasinya pengelolaan DAS Manggar memiliki dua kepentingan yakni kepentingan lahan dan masyarakat. Sehingga diperlukan data status kepemilikan lahan Hak Milik masyarakat, khususnya pada sub DAS yang memiliki potensi sebagai pemasok air baku PDAM. 7 Tersaji di dalam Laporan Kegiatan Konsultasi Publik Penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Teknis Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain; tanggal 23-25 Oktober 2003. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari proses penyusunan kebijakan pengelolaan hutan lindung Sungai Wain. Berfungsi sebagai materi awal yang dipergunakan untuk mendorong perlunya pengelolaan HLSW. Hasil analisis mengungkapkan kebanyakan masyarakat DAS Manggar mengharapkan kepastian hak tenure security penguasaaan lahan yang dimiliki sebelum penetapan hutan lindung. Saat ini, masyarakat menyadari lahan dimaksud secara legal tidak akan diakui Badan Pertanahan Nasional BPN dalam bentuk penetapan sertifikat hak milik. Sebagaimana diungkapkan n arasumber “ Bahkan pada tahun 2007, masyarakat ikut program Prona BPN sempat senang kawasan bisa dibuatkan sertifikat. Namun, setelah ditunggu 2 tahun tidak keluar karena masuk dalam kawasan lindung ” AB, Juni 2014. Sumber: UP HLSW, tahun 2001 Gambar 17 Penguasaan lahan di HLSW seluas ± 1.394,97 ha sebelum penetapan perda pengelolaan HLSW Menelisik sejarah pengelolaan DAS Manggar tahun 2007, ternyata belum terdapat upaya nyata yang memberikan pengakuan hak informal masyarakat. Pada sisi yang lain, pengelola sebenarnya juga memerlukan kepastian dan legitimasi dari masyarakat. Walaupun sudah ditetapkan dasar legalitas melalui SK Walikota. Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber berikut. “ Tanpa dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan DAS Manggar, pengelola tidak akan dapat melangkah, karena masyarakat setempat mayoritas telah menguasai atau memiliki lahan di DAS Manggar sebelum penetapan sebagai hutan lindung akan bertentangan dengan pengelola ” Pw, Juni 2014. 65 Kondisi ini merupakan representasi lemahnya klaim pemerintah melalui penetapan hutan lindung dilihat dari perspektif masyarakat. Situasi ini sebenarnya telah diketahui dan dipahami oleh pengelola. Artinya, potensi risiko permasalahan tenurial DAS Manggar akan mempengaruhi pencapaian tujuan pengelolaan. Bukan suatu fenomena yang belum diketahui oleh pengelola. Situasi ini senada dengan sintesis Ostrom dan Schlager 1996. Mengutip laporan kegiatan pengelolaan HLSW DAS Manggar tahun 2013 diungkapkan hal berikut. “ Sebagaimana diketahui bahwa HLSM telah memiliki banyak konflik permasalahan lahan, kondisi lahan yang tidak terurus, dan program- program pemerintah yang tidak dapat lagi ... . Secara eksisting kawasan HLSM sudah ditanami karet oleh masyarakat, dan kemungkinan pengembangannya sudah tidak terkendali ”. Laporan HLSW DAS Manggar Tahun 2013. Penyebab kegagalan klaim pemerintah terhadap hutan menurut Ostrom dan Schlager 1996 yang mengacu pandangan Panayotou dan Ashton dikelompokkan menjadi lima hal, yakni: 1. Areal yang ditransfer menjadi kepemilikan negara terlalu luas; 2. Kegagalan memahami dan mengakomodasi keragaman hak individu dan masyarakat atas hutan; 3. Keterbatasan anggaran dan administrasi, teknik, kapasitas penegakan klaim pemerintah; 4. Tekanan pertambahan penduduk; dan 5. Kegagalan pengembangan wilayah dalam menyediakan alternatif pekerjaan dan kesempatan berusaha. Sehingga solusi permasalahan memerlukan kajian komprehensif yang melibatkan lintas pengetahuan. Saat ini, masyarakat mengharapkan kejelasan tenure security dan komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun, belum ada solusi yang ditawarkan pemerintah guna menyelesaikan situasi DAS Manggar yang dilematis. 3. Peran dan fungsi kerangka kerja utama kelembagaan UU No.22 Tahun 1999 yang terakhir diubah melalui UU No.32 Tahun 2004 dan PP No.62 Tahun 1998 dan PP No.38 Tahun 2007 tentang kebijakan desentralisasi sektor kehutanan secara eksplisit memberikan kesempatan kepada daerah kota dan kabupaten mengelola hutan lindung. Namun, sebagaimana dijelaskan berbagai kajian desentralisasi Ekawati et al . 2012; Nurrochmat et al . 2012; Karsudi et al . 2010; Palmer dan Engel 2007; Ribbot et al . 2006; Larson dan Ribot 2004; Mccarthy 2004; dan Wollenberg dan Kartodihardjo 2002 pada prinsipnya elemen utama desentralisasi adalah keterwakilan yang memperoleh legitimasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Namun, penyelenggaraan urusan pemerintahan sektor kehutanan belum memperoleh dukungan yang kuat dari pemerintah pusat. Nurrochmat 2005 mengungkapkan lemahnya implementasi desentralisasi kehutanan adalah mengenai keterbatasan kualitas dan kuantitas petugas kehutanan daerah, ketidakjelaskan ambiguitas peratuan, kurangnya petunjuk teknis dan tidak adanya penegakan hukum. Termasuk inkonsistensi kebijakan dan materi peraturan perundang-undangan serta kemauan politik pemegang otoritas pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga jarak antara komitmen normatif dengan situasi sebenarnya sangat jauh. Dalam konteks pengelolaan hutan lindung ditandai beragamnya NSPK yang harus dipenuhi dan kurangnya peningkatan kapasitas pemerintah daerah guna melaksanakan desentralisasi kehutanan. Merujuk Pasal 21 ayat 1 dan 2 dalam Perda No.11 Tahun 2004, dapat diketahui pendanaan pengelolaan bersumber dari APBDAPBN, dana hibah ataupun sumbangan tidak mengikat. Namun alokasi anggaran budget kegiatan operasional pengelolaan sangat bergantung dari APBD cost center Gambar 18. Sehingga, dana operasional seluruhnya bersumber dari pemerintah kota. Walaupun pengelola juga menerima hibah dari pihak lain, berbentuk kegiatan bersama, seperti kegiatan penelitian, penanaman reboisasi, pemberdayaan masyarakat dan bantuan kendaraan operasional. Situasi ini menjadi titik keunggulan dan sekaligus kelemahan apabila ditinjau dari aspek keberlanjutan pembiayaan kegiatan pengelolaan hutan lindung. Keunggulannya pengelola memiliki sumber tetap dari APBD. Namun, terdapat kelemahan yakni apabila terjadi pengurangan ataupun penghentian anggaran, implikasinya kegiatan pengelolaan tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan terhenti. Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber sebagai berikut. “ Pengelolaan HLSW dan DAS Manggar direncanakan agar tidak tergantung dengan sumber dana APBD, dalam waktu 10 tahun harus bisa mandiri membiayai diri sendiri. Persoalan ini dalam disikusi internal, BP HLSW seperti lembaga setengah pemerintah ” Bb, Juni 2014. Lebih lanjut diketahui sebelum tahun 2012, pembiayaan operasional diperoleh melalui mekanisme hibah daerah. Namun, tiga tahun terakhir alokasi anggaran melalui BLH Kota Balikpapan berbentuk program dan kegiatan, implikasi perubahan administrasi keuangan daerah. Mekanisme ini cukup mengganggu kegiatan operasional pengelolaan. Pencairan anggaran harus melalui tahapan tertentu mengikuti proses administrasi keuangan pemerintah. Mengingat dalam kondisi tertentu, terdapat pengeluaran yang tidak bisa menunggu proses pencairan dana secara normal, misalnya biaya mitigasi maupun penanggulangan kebakaran hutan serta kegiatan lain yang tidak terduga. Berdasarkan pemberitaan media massa lokal periode tahun 2012 sd. 2014, persoalan alokasi anggaran menjadi salah satu topik pemberitaan sebanyak tujuh kali 8 . Oleh karenanya diperlukan skema pembiayaan yang secara optimal mampu mengatasi ketergantungan alokasi pembiayaan dari pemerintah dan fleksibilitas administrasi keuangan dengan tidak menyalahi aturan yang berlaku. Sebagaimana diungkapkan kedua narasumber berikut. “ Sepanjang berjalannya pelaksanaan perda, terdapat kelemahan mengenai pembiayaan yang didominasi dari APBD. Administrasi pencairan keuangan tersebut menyebabkan persoalan pengelolaan hutan lindung. Persoalan administrasi keuangan mempengaruhi kinerja kelembagaan pengelola hutan. Persoalan tersebut dirasakan pada saat adanya pelarangan hibah sampai dengan saat ini ” Sm, Juni 2014; dan 8 Analisis berita media dilakukan terhadap pemberitaan lokal yang dimuat secara online pada lima surat kabar lokal. Pemberitaan mengenai HLSW DAS Manggar tersebut terjadi dalam kurun waktu antara tahun 2012 sd. 2014, meliputi sebanyak 39 artikel pemberitaan. Mayoritas konteks pemberitaan berturut-turut memuat beritan tentang ancaman aktivitas batu bara, masalah alokasi anggaran, perambahan maupun pencurian kayu. Khusus pemberitaan anggaran BP HLSW DAS Manggar dimuat dalam tujuh pemberitaan atau mencapai 17.95 dari total pemberitaan tentang hutan lindung. 67 “Hutan lindung HLSW DAS Manggar bisa ‘dijual’ untuk sebagai sumber pembiayaan, namun dalam bentuk program ” Sy, Juni 2014. Hasil penelusuran dokumen pelaksanaan anggaran DPA TA 2012, UP HLSW DAS Manggar selain menerima alokasi operasional pengelolaan juga memperoleh anggaran pembangunan sarana dan prasarana fisik. Mayoritas alokasi anggaran tersebut digunakan untuk pembiayaan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan. Alokasi anggaran terbesar selama kurun waktu 2005 sd. 2014, terjadi pada tahun anggaran TA 2012 yakni sebesar 4,49 milyar rupiah atau mencapai 90,49 dibamdingkan dari total penerimaan dana bagi hasil sektor kehutanan, serta terendah pada TA 2007 sebesar 1 satu milyar rupiah Gambar 18. Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat audited dan UP-HLSW DAS Manggar Gambar 18 Perbandingan anggaran UP HLSW DAS Manggar dan penerimaan DBH sektor kehutanan Alokasi anggaran pengelolaan hutan selama sepuluh tahun terakhir, berkisar antara 0,08 –0,25 dari total belanja daerah. Nilai yang relatif kecil untuk pengelolaan hutan lindung yang memiliki manfaat dan fungsi sebagai daerah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Apabila alokasi anggaran pengelolaan dinaikkan menjadi sekurang-kurangnya sebesar 0,5 dari belanja daerah, maka akan memberikan ruang gerak yang cukup bagi pengelola dalam berinovasi guna mencapai tujuan pengelolaan hutan lindung. Pemkot tidak hanya mengalokasikan anggaran untuk UP HLSW DAS Manggar, tetapi juga mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan UP KWPLH dan UP Kebun Raya Balikpapan. Saat ini, Kebun Raya Balikpapan telah berubah status menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah BLH Kota Balikpapan. Dinamika alokasi anggaran yang fluktuatif dapat merepresentasikan komitmen dan kepentingan pemerintah terhadap keberlangsungan pengelolaan hutan lindung. Komitmen politik pimpinan daerah Walikota dan DPRD sangat menentukan kecukupan anggaran program dan kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh BP –HLSW DAS Manggar. Selain kendala teknis administrasi keuangan birokrasi pemerintah kota juga mempengaruhi proses pengalokasian anggaran APBD dan mekanisme pencairan anggaran. Hanna et al . 1996 mengungkapkan masalah pengelolaan lingkungan merupakan masalah yang timbul akibat asymetric information dan pengetahuan birokrasi pemerintahan daerah mengenai substansi kegiatan pengelolaan hutan lindung. Saat ini, pengelola belum optimal meningkatkan kapasitas untuk melakukan diversifikasi usaha guna memperoleh sumber pembiayaan operasional lain di luar APBD. Meskipun telah dilakukan upaya ke arah tersebut. Sebagai contoh, menurut laporan kegiatan BP –HLSW Tahun 2011 telah dilakukan kajian memperhitungkan konsep hulu-hilir keberadaaan waduk Wain di HLSW. Namun, belum dapat direalisasikan. Oleh karena itu diperlukan revitalisasi peran serta pemangku kepentingan dalam inovasi program promosi yang mampu menarik perhatian pihak lain agar bersedia memberikan pembiayaan. 4. Instrumen insentif keuangan dan ekonomi pay-off untuk pemerataan aliran manfaat sumberdaya hutan Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, konsep utama yang dikonstruksikan dalam Perda No.11 Tahun 2004 adalah mempertahankan kelestarian lingkungan melalui harmonisasi bersama masyarakat sekitar hutan serta memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang berkeadilan dan berkelanjutan tercantum dalam point Pertimbangan huruf f, Perda 11 Tahun 2004. Sedangkan untuk DAS Manggar, penggabungkan pengelolaan dalam BP –HLSW DAS Manggar dengan pertimbangan berfungsi sebagai daerah penyangga sumber air baku yang mencakup 80 kebutuhan air masyarakat. Air baku bersumber dari waduk Manggar yang terletak di bagian hilir DAS Manggar. Persoalan kawasan DAS Manggar sebenarnya diketahui pihak terkait, khususnya pengelola dan Pemkot. Situasi ini menunjukkan masalah dalam pengelolaan sumber daya alam, bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan informasi, namun lebih disebabkan kelemahan cara berfikir dan penggunaan kerangka logis, disamping dinamika komitmen politik pimpinan daerah. Hal ini disebabkan lemahnya kolaborasi antar disiplin ilmu yang memungkinkan pengetahuan dan informasi dimaksud dapat diadaptasikan dalam praktik di lapangan Lackey 2007 dalam Kartodihardjo 2013. Upaya penyelesaian persoalan utama pengelolaan terletak pada penguatan status penguasaan lahan yang dikuasai masyarakat. Penguasaan ditandai bukti kepemilikian sertifikat hak milik khusus sebagian masyarakat transmigran dan surat keterangan penguasaan lahan berupa segel dari RT, lurah maupun camat setempat serta pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan PBB tanah, contoh disajikan pada Gambar 19. Apabila ditinjau dari sudut pandang formasi bundle of rights Ostrom dan Schager 1996, masyarakat tersebut sebenarnya tidak hanya memiliki hak access dan withdrawal semata, namun memiliki hak aleination , yakni hak untuk menjual atau mengalihkan kepada orang lain. Ditandai dengan praktek pembebasan lahan terkena penggenangan waduk Manggar dan jual beli “penggantian biaya pembukaan lahan” antar masyarakat secara informal. Masyarakat Wain Dalam yang tinggal di sekitar hutan memiliki resiliensi cukup tinggi di tengah pembatasan akses hutan. Masyarakat Wain Dalam, merupakan contoh nyata bagaimana masyarakat mampu berdampingan dengan 69 hutan lindung secara harmonis. Kondisi ini telah berlangsung sejak masyarakat Wain Dalam didatangkan untuk pembuatan waduk Wain, sekitar tahun 1937an. Dahulu, masyarakat Wain Dalam dilibatkan dalam aktivitas kegiatan waduk Wain. Menurut pandangan Nugroho 2011, diistilahkan dengan penguatan peran serta masyarakat. Menjadi kognisi sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan yang dimiliki oleh generasi sebelumnya menjadi kearifan lokal yang mampu dipertahankan oleh setiap generasi local institutions . Gambar 19 Contoh dokumen penguasaan lahan di DAS Manggar Mayoritas masyarakat Wain Dalam tidak sepenuhnya menggantungkan penghidupannya terhadap keberadaan hutan. Namun mereka bisa memperoleh penghidupan dari sektor lain, seperti karyawan perusahaan, pegawai negeri sipil PNS, petani, sektor informal maupun karyawan di BP –HLSW DAS Manggar. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menggantungkan hidup dari hutan, berprofesi sebagai pengayam daun nipah untuk atap. Sedangkan pada masyarakat Wain Luar, Pemerintah telah mengakomodir penyediaan sumber penghidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Implikasinya guna memenuhi kebutuhan lahan pertanian, mereka membuka lahan. Insentif ekonomi dirasakan oleh masyarakat Wain Luar, sedangkan masyarakat Wain Dalam yang mayoritas tidak menggantungkan hidup terhadap hutan lindung memperoleh manfaat secara tidak langsung, seperti akses terhadap pembangunan. Namun, kondisi berbeda terjadi pada masyarakat DAS Manggar. Apabila di HLSW, masyarakat Wain Luar telah diakomodir sebanyak tiga kali pemberian enclave tahun 1993; IPK tahun 2004; dan terakhir HKm tahun 2011. Maka masyarakat DAS Manggar kesulitan memperoleh kepastian security lahan yang dikuasai dan dimilikinya. Situasi ini tidak terlepas dari dampak kesejarahan pembentukan hutan lindung, tahun 1996. Akibat penetapan hutan lindung, masyarakat yang biasanya beraktivitas normal, mengalami situasi dilematis. Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber sebagai berikut. ... Pemerintah harus mempertahankan fungsi kawasan hutan lindung dan masyarakat tetap hidup berdampingan atau dalam hutan lindung, masyarakat bisa beraktivitas dan fungsi air bagi kota berjalan dengan baik ... Kondisi psikologis masyarakat di DAS Manggar saat ini penuh dengan ketidakpastian akibat kesimpangsiuran informasi mengenai keberadaan dan masa depan kawasan dan masyarakat sekitar hutan lindung ... Wg, Juni 2014. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, belum ada pengaturan mengenai akses dan kepastian penguasaan lahan yang jelas terkait keberadaan hutan lindung DAS Manggar. Wacana areal DAS Manggar sebagai hutan lindung mulai marak diketahui masyarakat pada periode tahun 2006 –2007. Bertepatan dengan rencana Pemkot menggabungkan pengelolaan DAS Manggar ke BP –HLSW DAS Manggar. Sejak saat itu, kelompok tani DAS Manggar tidak lagi memperoleh bantuan bibit dan saprodi sebagai dampak penetapan status DAS Manggar sebagai hutan lindung. Implikasi dirasakan masyarakat DAS Manggar, termasuk masyarakat yang lahannya berada di luar kawasan. Sehingga pembatasan akses pembangunan masyarakat DAS Manggar menjadi disincentive dalam pengelolaan hutan lindung. Implikasinya, mayoritas masyarakat DAS Manggar tidak memperoleh kepastian tenure security status penguasaan lahan yang telah dikuasai berdasarkan sistem kepemilikan lokal.

5. Partisipasi

stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan Pengelolaan HLSW merupakan pengejawantahan kesepahaman stakeholder . Ditandai Deklarasi Penyelamatan Sungai Wain tahun 2001 sebagai point of no return pengelolaan hutan lindung. Sejak itu, para pihak menggagas pembahasan perda pengelolaan HLSW. Meskipun telah dibentuk SK Walikota No.4 Tahun 2001 tentang Pengelolaan HLSW. Pertimbangannya penetapan SK Walikota belum cukup memadai sebagai landasan pengelolaan secara berkelanjutan. Oleh karenanya dibahas dan disusun pokok pikiran kebijakan pengelolaan hutan yang disahkan dalam Perda No.11 Tahun 2004. Perda disusun melalui mekanisme konsultasi publik. Pembahasan isi raperda dipublikasikan melalui ruang publik guna memperoleh masukan dari berbagai pihak. Seperti media cetak, radio dan seminarlokakaryadiseminasi. Penyusunan raperda memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi, ditandai adanya pasal yang diperdebatkan, seperti akomodasi akses masyarakat. Masyarakat diakomodir dalam Pasal 12 ayat 4 yang memberikan kesempatan IPK maksimal seluas dua ha serta dapat diperpanjang. Sebagai bentuk implementasi pengelolaan, BP –HLSW DAS Manggar membentuk Kelompok Kerja Pokja HLSW dan Pokja DAS Manggar. Mengacu keputusan BP –HLSW DAS Manggar, tugas pokja adalah mengkoordinasikan persoalan di lapangan untuk disampaikan kepada pengelola ataupun melalui unit. Namun saat ini, pokja dimaksud seakan vakum tanpa aktivitas, atau cenderung pasif. Begitupun kepengurusan pengelola di tingkat Badan Pengelola. Meskipun pada awal pembentukan pengelola, dilibatkan berbagai pihak agar membantu 71 pengelolaan hutan lindung. Namun, seiring perjalanan waktu fungsi multi stakeholder ini tidak berjalan optimal. Secara formal, evaluasi akuntabilitas pengambilan keputusan, kualitas keputusan dan kesesuaian pelaksanaannya melalui mekanisme evaluasi program kerja BP dan UP. Mengacu Perda No.11 Tahun 2004, Pasal 20 ayat 4 dan Pasal 22, stakeholder memiliki jalur untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan. Namun, evaluasi dimaksud belum mampu memperbaiki implementasi pengelolaan dengan optimal. Sebagai contoh permasalahan penyediaan anggaran pengelolaan. Sejak tahun 2010, Pemkot mengacu mekanisme administrasi keuangan daerah yang tidak memperkenankan alokasi anggaran BP –HLSW DAS Manggar melalui mekanisme hibah. Meskipun melalui hibah argumentasinya pengelola memiliki fleksibilitas penggunaan anggaran, tidak terpaku aturan administrasi keuangan daerah yang cukup rumit. Pengelola sebagai institusi yang dibentuk berdasarkan Perda, memiliki peluang menetapkan pengelolaan hutan lindung sebagai bagian urusan pilihan pemerintahan daerah. Namun, peluang yang dipilih adalah dengan membentuk BP –HLSW DAS Manggar yang bentuk organisasinya adalah semi pemerintah. Pembiayaan dialokasikan melalui BLH dalam bentuk program dan kegiatan. Pengelolaan tersebut perlu diperjelas bentuk kelembagaannya. Pilihan kebijakan ini apabila ditinjau dari sisi administrasi keuangan daerah tidak melanggar norma berlaku, artinya tepat secara administrasi keuangan. Namun, apakah pelaksanaan program dan kegiatan melalui DPA BLH dapat berjalan efektif dan mampu mengakomodir permasalahan anggaran pengelola. Implikasinya sistem penganggaran ini ternyata tidak mampu memenuhi ekspektasi pengelola yang mayoritas bukan birokrat pemerintah daerah. Saat ini sedang direview bentuk kelembagaan yang tepat dan mampu mendukung tujuan pengelolaan hutan lindung. Apakah struktur kelembagaan berubah menjadi UPT di bawah SKPD, BLU Badan Layanan Umum Daerah setingkat UPT di bawah SKPD maupun setara SKPD, atau mengadopsi kebijakan Kementerian Kehutanan membentuk Kesatuan Pengelola Hutan Lindung. Semuanya adalah pilihan kebijakan yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. 6. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumberdaya hutan a Akses publik terhadap informasi kebijakan Secara formal, Perda No.11 Tahun 2004 mendukung akses publik memperoleh informasi kehutanan. Pasal 12 ayat 1 huruf a telah secara jelas menyatakan masyarakat berhak memperoleh informasi tentang HLSW. Selain itu, Pasal 22 ayat 2 juga menyatakan Masyarakat berhak untuk meninjau hasil program dan aktivitas pengawasan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan HLSW . Bahkan, Pasal 22 ayat 3 menyatakan secara eksplisit dapat dibentuk tim audit independen untuk menilai kinerja BP –HLSW. Makna pengaturan adalah memberikan peluang stakeholder terkait ikut serta dalam mekanisme pengawasan kinerja BP maupun UP. Sehingga mekanisme dimaksud dapat memberikan ruang dan kesempatan bagi pihak mana pun untuk turut serta mengevaluasi kinerja pengelolaan dalam pencapaian tujuan pengelolaan. Melalui pengaturan ini, stakeholder memiliki legalitas mengakses informasi pengelolaan HLSW DAS Manggar. Namun baru dijalankan oleh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, kalangan peneliti, SKPD, mahasiswa S1S2S3, pihak kementerian, maupun LSM dalam maupun luar negeri serta masyarakat. Mekanisme check and balance dapat memberikan rekomendasi terhadap persoalan pengelola. Tentunya penilaian bersifat interpretif tergantung sudut pandang kajian. Sistem pengelolaan yang baik dapat menerima input dan kritik dari pihak luar dalam kerangka memajukan optimalisasi kinerja pengelolaan oleh unit pengelola. Lebih lanjut Parsons 2001 menjelaskan kajian bermanfaat memberikan alternatif pilihan bagi pengelola dalam pengambilan kebijakan dan operasional pengelolaan. Oleh karena itu sebaiknya pengelola aktif mempublikasikan aktivitas pengelolaan kepada publik, agar terbentuk mekanisme chek and balance dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. b Mekanisme akuntabilitas internal pengelola Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 Perda No.11 Tahun 2004 memberi peluang evaluasi berjenjang. BP HLSW DAS Manggar dalam implementasinya telah melakukan evaluasi secara rutin, baik formal maupun informal. Misalkan apabila ditemukan persoalan di lapangan, para pihak dalam badan pengelola dapat memberikan pandangan dan masukan kepada UP HLSW DAS Manggar. Pandangan disampaikan melalui mekanisme rapat koordinasi sebagai pemegang mandat pengelolaan hutan lindung. Contoh lainnya, melalui rapat koordinasi bersama BLH ketika ditemukan perambahan lahan di luar areal HKm seperti tahun 2011 yang menemukan aktivitas perambahan lahan seluas 33 ha. Aktivitas tersebut dapat diselesaikan dan pihak perambah dengan sukarela bersedia menghentikan aktivitasnya. 7. Kapasitas dan tindakan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan Penetapan Perda Pengelolaan HLSW dan pembentukan BP HLSW DAS Manggar merupakan hilir dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk civil society lokal maupun internasonal yang memiliki kesamaan pandangan terhadap pelestarian. Produk kebijakan tidak hadir dalam ruang hampa, namun reaksi pergulatan di dalam arena aksi untuk mempertahankan kelestarian hutan serta akomodasi kepentingan masyarakat setempat. Namun pasca pembentukan perda, dukungan para pihak mulai berkurang. Sebagaimana dijelaskan oleh dua narasumber berikut. “... Dahulu terdapat stakeholder lain NGO lokal dan asing yang membantu mengawasi HLSW. Namun, saat ini link tersebut telah hilang ... ” IH, Juni 2014; dan “... Mengalami degradasi kepentingan rasa memiliki pengelola saat ini “ Sm, Juni 2014. Saat ini yang berperan sebagai pengamat hanya LSM lokal, tokoh masyarakat dan akademisi yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan. Secara informal, mereka bertindak selaku LSM dan akademisi dan masyarakat. Namun secara formal dilibatkan dalam keanggotaan BP-HLSW DAS Manggar. 73 Pengelola mengoptimalkan kerja sama kegiatan bersama stakeholder terkait dalam kegiatan pembinaan dan pengembangan kapasitas masyarakat, baik masyarakat HKm dan DAS Manggar Tabel 12. Dukungan stakeholder perlu ditingkatkan melalui inovasi program agar stakeholder mau mengeluarkan sumber daya ekonomi, sebagai bentuk dukungan biaya operasional maupun kegiatan lainnya. Tabel 12 Kerjasama pengelola bersama stakeholder lain No Uraian kegiatan Nama stakeholder Lokasi 1 Bantuan kebun bibit rakyat BP DAS Mahakam Berau DAS Manggar 2 Penanaman, perawatan tanaman hasil penanaman dan reboisasi BP DAS Mahakam Berau, Novotel Balikpapan, Astra Group, PT. Technip, BLH DAS Manggar 3 Pengujian sampel air waduk PDAM DAS Manggar 4 Rekonstruksi tata batas HLSM BPKH Wilayah IV, BPDAS Mahakam Berau DAS Manggar 5 Pemetaan lahan antar kelompok tani HKm BPDAS Mahakam Berau, BLH HKm HLSW 6 Rehabilitasi lahan di HLSW PT Singlurus Pratama HLSW 7 Kegiatan penelitian Peneliti, lembaga penelitian HLSW DAS Manggar 8 Pendampingan HKm untuk penyusunan RO dan RU KBCF HKm HLSW 9 Studi banding HKm HKm, BLH, PT Pertamina Lombok Barat 10 Penyediaan bibit karet Pemprov, pemkot Hkm HLSW 11 Bimtek pengelolaan karet HKm, BLH Palembang 12 Pelatihan staf Kemenhut, LIPI Balikpapan Sumber: Laporan kegiatan UP HLSW DAS Manggar

8. Administrasi sumber daya hutan

a Kecukupan kapasitas SDM pengelola Core business pengelolaan hutan dilaksanakan Divisi Pengamanan, Divisi Sosek dan HKm, Divisi Perijinan dan Litbang serta Divisi DAS Manggar yang didukung sekretariat dan keuangan. Saat ini, jumlah karyawan UP HLSW DAS Manggar hanya sebanyak 49 personil dengan beban tanggung jawab mengelola hutan lindung seluas ±14.741,38 ha. Meliputi: seorang direktur; straf sekretariat sebanyak tujuh personil; divisi keuangan sebanyak empat personil; divisi pengamanan sebanyak 24 personil; divisi perijinan sebanyak tujuh personil; divisi sosek dan HKm sebanyak tiga personil; dan divisi DAS Manggar sebanyak tiga personil. Terdapat kekosongan personil untuk posisi jabatan kepala divisi perijinan dan divisi DAS Manggar. Tentunya menambah berat operasional pengelolaan di tingkat tapak. Sejak pengelolaan tahun 2001, masyarakat sekitar kawasan telah dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Lebih lanjut diketahui dari 40 personil karyawan, mayoritas meurpakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan atau mencapai 82 dari total karyawan. Memiliki jenjang pendidikan SMASMK atau sederajat dan sebagian menempuh pendidikan sarjana atau penyetaraan lainnya Gambar 20.