Kajian formulasi opsi strategi kebijakan dalam konteks tenurial

33 3 Karakteristik kependudukan Kota Balikpapan memiliki karakteristik penduduk heterogen, baik dari ragam mata pencaharian, suku bangsa maupun agama. Komposisi penduduk Balikpapan didominasi oleh penduduk laki-laki. Jumlah penduduk Kota Balikpapan mengalami peningkatan drastis dari tahun ke tahun. Semula, tahun 2011 mencapai 557.579 jiwa dan bertambah menjadi 660.437 jiwa pada bulan Agustus 2013 atau meningkat sebesar 24,80 Bappeda dan BPS Kota Balikpapan 2013. Pada tahun 2011, kepadatan penduduk Balikpapan mencapai 1.051,44 jiwakm 2 sedangkan pada pertengahan tahun 2013 telah meningkat menjadi 1.312,21 jiwakm 2 atau mengalami peningkatan sebesar 24,80. Apabila luas daratan Balikpapan dikurangi dengan kawasan yang berfungsi lindung, maka kepadatan penduduk di kota Balikpapan meningkat drastis menjadi sebesar 31,69 menjadi 1.728,06 jiwakm 2 . Angka ini akan semakin meningkat apabila dikurangi lagi dengan kawasan industri, pusat perkantoran, fasilitas umum, lahan pertanian, dan fasilitas militer. Nurrochmat 2012 mengingatkan potensi kepemilikan lahan rata-rata per kapita penduduk Indonesia kurang dari 1 satu hektar, sekalipun seandainya seluruh daratan ini dikapling. Bahkan faktanya, dari seluruh luas daratan yang terbatas, hanya sekitar seperempatnya yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan. Tentunya, hal ini harus menjadi perhatian serius bagi seluruh stakeholder , khususnya pemerintah daerah. Implikasi dari persoalan di atas akan menjadi beban utama pengambil kebijakan dalam menyusun dan memprediksi strategi penataan fungsi tata ruang, serta daya dukung lahan yang tepat, bermanfaat dan berkesinambungan. 4 Karakteristik pola ruang di kota Balikpapan Berdasarkan Pasal 39 Perda No.12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Balikpapan Tahun 2012 –2032 diketahui hutan lindung kota Balikpapan terdiri dari HLSW seluas 9.782 ha dan DAS Manggar seluas 4.999 ha, serta rencana perluasan HLSW seluas 1.402 ha Gambar 4. Pemerintah kota Balikpapan berkomitmen untuk mempertahankan konsistensi pola tata ruang sebesar 52 sebagai kawasan lindung dan 48 sebagai kawasan budidaya dari total luas daratan 50.330,57 ha. Kawasan lindung, meliputi hutan lindung seluas 14.393,82 ha 28,60; kawasan lindung privat seluas 3.444,88 ha 6,84; dan kawasan mangrove seluas 3.019,85 ha 6. Posisi hutan lindung sangat strategis, yakni tepat berada di bagian hulu sebelah utara wilayah kota Balikpapan yang berbatasan langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara. Mengacu Perda RTRW Kota Balikpapan, sebagai bagian rencana perwujudan pengembangan kawasan hutan lindung yang strategis, salah satunya dilaksanakan dengan mencegah alih fungsi lahan. Strategi perwujudan kelestarian fungsi kawasan lindung dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat 4 hurf b dan c, dengan menjaga keberlanjutan hutan lindung dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat cekaman pengembangan kegiatan budidaya. Maknanya, kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, seperti HLSW DAS Manggar akan diupayakan agar tidak terjadi perubahan fungsi di luar kawasan lindung. Selain itu, Walikota juga menetapkan kota Balikpapan sebagai kawasan bebas tambang batubara, berdasarkan Peraturan Walikota No.12 Tahun 2013. Walaupun, potensi batubara di Kota Balikpapan relatif besar, mencakup hampir 60 dari wilayah daratan. Potensi aliran manfaat sumber daya yang sangat besar berpotensi untuk dieksploitasi. Pola penataan ruang kota Balikpapan memiliki potensi risiko bawaaan tinggi. Oleh karenanya diperlukan konsistensi komitmen pimpinan daerah serta dukungan masyarakat mempertahankan keseimbangan tujuan dan keberlanjutan lingkungan dengan baik. Sumber: Perda No.12 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 Gambar 4 Peta rencana pola ruang Kota Balikpapan tahun 2012-2032 Ketentuan umum peraturan zonasi rencana arahan pengendalian lahan dalam Lampiran V Perda No.12 Tahun 2012, terutama pada hutan lindung hanya diperbolehkan untuk aktivitas perlindungan hutan lindung, suaka alam, wisata alam, wisata pendidikan dan secara terbatas untuk hutan rakyat. Implikasinya aktivitas lain seperti kegiatan budidaya pertanian, industri, perekonomian, perumahan, pertambangan tidak diperkenankan pada kawasan lindung. Persoalan ini menjadi salah satu pokok bahasan penelitian ini, yakni mengenai keselarasan keberlanjutan hutan lindung sebagai kawasan lindung di masa mendatang dan pemanfaatan bagi masyarakat yang sudah ada sebelum penetapan hutan lindung. b. Sejarah hutan lindung di Kota Balikpapan 1 Hutan Lindung Sungai Wain Hutan lindung Sungai Wain atau dikenal dengan HLSW merupakan hutan Dipterocarpa dataran rendah dengan keanekaragaman hayati yang unik dan khas. 35 Jenis tegakan dominan HLSW, antara lain bengkirai Shorea leavis , ulin Eusideroxylon zwageri , kruing Dipterocarpus cornutus dan nyatoh Madhuca sp . Selain itu, terdapat fauna langka seperti macan dahan Neofelis nebulosa , beruang madu Helarctos malayanus , lutung merah Presbytis rubicunda , tarsius Tarsius bancanus serta primata endemik Kalimantan yakni bekantan Nasalis larvatus . Termasuk juga berbagai jenis burung endemik, seperti Tiong-Batu Kalimantan atau Bristlehead Pytiriasis gymnocephala , pegar langka, pelatuk dan enggang. Apabila ditinjau dari sejarahnya, HLSW atau sebelumnya disebut dengan nama Sungai Boegis dan Sungai Wain telah ditetapkan sebagai Daerah Tertutup atau Hutan Tutupan oleh Sultan Kutai, berdasarkan keputusan No.4823-ZB1934 tanggal 15 Juni 1934 Gambar 5. Selanjutnya pada tahun 1947, dibangun waduk Wain oleh perusahaan pengolahan minyak bernama Bataafsche Petroleum Maatschappij. Pada akhirnya, sejak tahun 1972 dikelola oleh PT Pertamina 3 . Pada masa orde baru, areal kelompok hutan HLSW terbagi dalam dua kelompok hutan lindung dan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan masing-masing seluas ±3.295 ha dan ±6.100 ha. Hal ini merujuk lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No.24KptsUmI1983 tentang penetapan kelompok hutan di Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya pada tahun 1988, Gubernur Kalimantan Timur mengajukan usulan agar kelompok hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ±6.100 ha ditetapkan sebagai satu kesatuan dalam kelompok hutan lindung Sungai Wain. Usulan ini disetujuai oleh Menteri Kehutanan melalui penetapan Keputusan Menteri Kehutanan No.118Kpts-VII1988 tentang Pembentukan Kelompok Hutan Lindung Sungai Wain Seluas ±6.100 ha yang terletak di Kotamadya DATI II Balikpapan, Propinsi DATI I Kalimantan Timur menjadi Hutan Lindung. Dengan demikian, luas kelompok hutan lindung Sungai Wain bertambah menjadi seluas ±10.025 ha. Lebih lanjut diketahui kondisi biofisik HLSW mengalami penurunan yang signifikan pasca kebakaran hutan tahun 1990an. Situasi ini akhirnya memunculkan keprihatinan yang mendalam bagi civil society lokal maupun internasional. Kondisi ini akhirnya menjadi pendorong dan penekan Pemerintah Kota Balikpapan beserta stakeholder terkait untuk terlibat aktif dalam melindungi HLSW. Kesamaan kepentingan maupun tujuan inilah yang menjadi latar belakang pernyataan dan sikap bersama atau yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Sungai Wain. Deklarasi yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2001 tersebut berbunyi: “ Kami semua pihak yang hadir pada Rapat Kerja Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain mendeklarasikan bahwa kami sepakat untuk melindungi Hutan Lindung Sungai Wain sesuai kapasitas masing-masing ”. Deklarasi Penyelamatan Sungai Wain, 15 Maret 2001. 3 Informasi ini diperoleh dari buku yang berjudul Potret Hutan Lindung Sungai Wain: Kemarin, hari ini dan hari esok? Buku ini diterbitkan oleh BPHLSW dan NRM Program. Buku ini berisi tentang persoalan yang terjadi di HLSW, seperti kebakaran hutan, perambahan dan penebangan liar serta potensi sumber daya di dalam kawasan. Menjadi informasi awal dalam penyusunan dan pembahasan kebijakan pengelolaan HLSW. Setelah deklarasi dilanjutkan dengan penyusunan rancangan perda melalui mekanisme partisipasif yang melibatkan hampir seluruh stakeholder . Mekanisme ini akhirnya menghasilkan suatu produk hukum berupa Perda No.11 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain sebagai acuan pokok pengelolaan di tingkat tapak. Dan ditindaklanjuti dengan pembentukan struktur organisasi Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain BP –HLSW. Berdasarkan pengaturan zonasi Perda No.11 Tahun 2004, HLSW terbagi ke dalam tiga zona, yakni zona perlindungan, kegiatan terbatas dan pemanfaatan. Berdasarkan data tutupan lahan tahun 2012, tutupan lahan HLSW didominasi hutan lahan kering sekunder, hutan lahan kering primer dan pertanian lahan kering bercampur semak, berturut-turut sebesar 51,38; 23,76; dan 22,56. Selain itu, HLSW terbagi dalam dua sub-daerah aliran sungai DAS, yakni Wain dan Bugis. Dengan status sebagai hutan bekas kebakaran, saat ini kondisi tutupan lahan HLSW cukup menggembirakan. Gambar 5 Sejarah pengelolaan HLSW DAS Manggar Apabila ditinjau dalam skala nasional, sampai dengan tahun 2014 telah diberikan izin HKm kepada 248 kelompok tani atau koperasi seluas 80.833,11 ha tersebar di 13 provinsi, termasuk Provinsi Kalimantan Timur Kaltim. Ironisnya, pada Provinsi Kaltim baru terdapat satu lokasi HKm, yakni di kawasan HLSW kota Balikpapan. Terhitung sejak tahun 2011, Walikota mengeluarkan izin usaha pemanfaatan HKm IUPHKm kepada 10 kelompok tani dengan areal kerja seluas 1.400 ha Lampiran 1 dan 2. Sebelumnya, pasca pembentukan perda pengelolaan hutan lindung, pemerintah daerah mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan IPK untuk budidaya pertanian terbatas di kawasan hutan lindung. Areal IPK terletak di lokasi zona pemanfaatan khusus A, yang kemudian ditetapkan menjadi areal HKm. Pengalokasian sebagian areal yang terletak pada zona pemanfaatan merupakan alternatif penyelesaian konflik sosial dengan masyarakat di sekitar hutan yang menggantungkan sumber kehidupan kepada lahan hutan lindung. 2 Hutan Lindung DAS Manggar Hutan lindung Manggar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hutan Lindung Sungai Manggar atau DAS Manggar ditetapkan sebagai hutan dengan 37 fungsi lindung karena memiliki kekhasan untuk melindungi kelestarian tanah dan tata air baku bagi masyarakat Kota Balikpapan. Penetapan sebagai hutan tetap dengan fungsi lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.267Kpts- II1996 tanggal 10 Juni 1996. Merujuk keputusan tersebut, kelompok hutan sungai Manggar ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung seluas ± 4.999 ha. Hutan lindung ini sebagai lahan pengganti hutan lindung sektor I dan II yang dialihfungsikan peruntukkannya sebagai dampak perluasan pembangunan wilayah perkotaan. Saat ini, areal sektor I dan II telah berubah menjadi kawasan pemukiman, perkantoran, perdagangan dan fasilitas instalasi rumah sakit. Lebih lanjut diketahui penetapan DAS Manggar tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang berada di lokasi penetapan hutan lindung. Pada realitasnya, dalam kelompok hutan sungai Manggar terdapat kelompok masyarakat 4 yang telah bermukim sejak tahun 1965an. Kelompok masyarakat ini selanjutnya disebut dengan masyarakat DAS Manggar. Mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani perladangan yang mengusahakan lahan di dalam maupun di sekitar DAS Manggar sebagai tempat budidaya pertanian. Terhitung sejak tahun 2007, hutan lindung DAS Manggar mulai dikelola oleh BP –HLSW berdasarkan Keputusan Walikota No.188.45-2452007 tanggal 31 Juli 2007. Sehingga, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan BP –HLSW DAS Manggar. Berdasarkan tutupan lahan tahun 2012, kondisi DAS Manggar didominasi oleh pertanian lahan kering bercampur semak dan semak belukar yang masing- masing sebesar 55,66 dan 37,84. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat di bagian hilir terdapat waduk Manggar yang menjadi penghasil utama air baku masyarakat kota Balikpapan. c. Sejarah pengelolaan hutan lindung Sungai Wain dan DAS Manggar Menindaklanjuti kesepahaman tujuan dalam Deklarasi Sungai Wain dibentuk BP –HLSW beserta struktur kepengurusannya berdasarkan Keputusan Walikota No.06 Tahun 2001 tanggal 4 Oktober 2001 dan SK No.188.45-1232001 tanggal 18 Oktober 2001. Badan Pengelola ini selanjutnya menjadi cikal bakal pembentukan pengelola sampai dengan saat ini. BP –HLSW berfungsi sebagai wadah pemersatu para pihak guna memperkuat pengelolaan hutan yang dapat memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan. Struktur keanggotaan BP –HLSW bersifat partisipasif multi stakeholder s guna merangkul pihak terkait untuk terlibat aktif dalam pengelolaan hutan lindung. Bertujuan agar pihak terkait mau dan memiliki komitmen yang tinggi untuk bekerja sama dalam membangun pengelolaan hutan. Pada awalnya, BP –HLSW bertugas membangun kesepahaman para pihak untuk bersama mengelola hutan 4 Kelompok masyarakat ini tinggal di Kelurahan Karang Joang KM 15 dan sekitarnya. Pada mulanya merupakan masyarakat transmigrasi swakarsa yang didatangkan pada tahun 1965. Masyarakat transmigran didominasi oleh masyarakat yang berasal dari daerah di Provinsi Jawa Tengah, yakni berasal dari Kabupaten Semarang, Kabupaten Pati dan Kabupaten Banyumas yang masing-masing terdiri 35 kepala keluarga KK, 35 KK dan 55 KK. Selain itu, kelompok masyarakat ini telah memasuki generasi yang ketiga. Saat ini masyarakat transmigran telah berkembang dan berbaur dengan kelompok masyarakat lain di sekitar DAS Manggar, dengan beragam jenis pekerjaan. lindung. Namun, setelah terbentuk kesamaan pandangan dan tujuan bersama, BP – HLSW berkewajiban mempersiapkan kebijakan dan program kerja yang menjadi target operasional yang dijalankan unit pengelola. Lingkup kegiatan pengelolaan, meliputi:  Pemantauan dan pelestarian sumber daya alam, rehabilitasi dan pemulihan fungsi dan daya dukung hutan  Pendidikan, penelitian, laboratorium hidup dan penyadaran konservasi serta Pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat  Pengamanan, penegakan, pengawasan dan pengendalian hutan, dan  Pengadaan sarana dan prasarana, promosi dan publikasi serta monitoring dan evaluasi Pasca pembentukan perda, struktur organisasi BP –HLSW mengalami beberapa kali penyesuaian. Penyesuaian terakhir dituangkan dalam Keputusan Walikota No.14 Tahun 2004 tentang Pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain. Badan pengelola bertugas merestrukturisasi organisasi dan pengaturan kelembagaan pengelolaan HLSW dan DAS Manggar. Antara lain, mengoordinasikan dan fasilitasi perencanaan program antar pihak, penyusunan arah kebijakan pengelolaan hutan, persiapan pembentukan Unit Pelaksana BP – HLSW serta monitoring dan evaluasi program. Mengacu Perda No.11 Tahun 2004, BP –HLSW bertanggungjawab langsung kepada Walikota. Mekanisme ini berbeda dengan pertanggungjawaban SKPD pada umumnya. SKPD di lingkungan pemerintah daerah biasanya bertanggungjawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Selain itu, komposisi personil BP –HLSW dan unit pelaksana dibawahnya juga berbeda dengan SKPD. Selain itu, Badan Pengelola didesain memiliki fleksibilitas operasional dan anggaran serta memiliki akses langsung kepada pimpinan daerah. Dengan demikian, organisasi BP –HLSW memiliki posisi dan peran strategis tersendiri, khususnya dilihat dari kerangka pengelolaan hutan lindung. Seiring berjalannya waktu dan rencana memasukkan DAS Manggar dalam pengelolaan BP –HLSW, maka ditetapkan Keputusan Walikota No.188.45- 132007 yang direvisi melalui Keputusan Walikota No.188.45-2452007 tentang pembentukan Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain dan DAS Manggar atau disebut sebagai BP –HLSW DAS Manggar. Ditindaklanjuti dengan pembentukan Divisi DAS Manggar yang berada dibawah kendali dan koordinasi UP –HLSW DAS Manggar. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pengelolaan kawasan untuk konservasi air, tanah dan hutan serta pengembangan pemanfaatan kawasan berdasarkan prinsip konservasi bersama masyarakat. Terakhir, struktur BP –HLSW DAS Manggar ditetapkan berdasarkan Keputusan Walikota No.188.45-082014 beranggotakan 18 orang personil. Saat ini, BP –HLSW DAS Manggar membawahi tiga unit pelaksana, yakni: unit pelaksana HLSW DAS Manggar, unit pengelola kawasan wisata pendidikan lingkungan hidup, dan unit pelaksana kebun raya Balikpapan Gambar 5. Adapun jumlah personil masing-masing unit pengelola secara berturut-turut adalah 54 personil, 42 personil dan 36 personil. Dalam kajian ini yang menjadi fokus utama adalah BP –HLSW dan DAS Manggar serta Unit Pelaksana UP HLSW DAS Manggar. Guna mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lindung dialokasikan sejumlah anggaran bagi unit pelaksana. Alokasi anggaran diberikan sejak tahun 39 2001. Sumber pendanaan operasional didominasi dari APBD Kota Balikpapan. Lebih lanjut diketahui distribusi alokasi dana pengelolaan hutan lindung mengalami perubahan menyesuaikan dinamika sistem anggaran administrasi keuangan daerah. Sejak tahun 2011, anggaran pengelolaan dialokasikan melalui BLH Kota Balikpapan dalam bentuk program dan kegiatan. Gambar 6 Struktur organisasi BP –HLSW dan DAS Manggar

d. Perbandingan kondisi tutupan lahan HLSW dan DAS Manggar

Mengacu klasifikasi tutupan lahan Kementerian Kehutanan Kemenhut, ditemukan dua kondisi tutupan lahan yang berbeda pada kedua kawasan hutan Gambar 7 8. Variabilitas tutupan lahan menjadi realitas nyata yang harus dihadapi pengelola hutan. Kondisi tutupan lahan HLSW merepresentasikan mayoritas kondisi hutan yang well-defined property rights Hanna et al. 1996 pada hutan negara state property , sedangkan pada DAS Manggar diduga secara de facto menggambarkan kondisi yang tidak well-defined , walaupun ditetapkan sebagai hutan negara. Menurut Ekawati et a l. 2012, angka deforestasi hutan lindung di Indonesia menempati peringkat ketiga, setelah hutan produksi dan area penggunaan lain. Memperhatikan luas hutan lindung HLSW DAS Manggar yang mencapai ± 30 dari total luas daratan kota Balikpapan. Maka perlu mendapat perhatian para pihak sehubungan dengan keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan lindung. Data tutupan lahan yang diketahui adalah tutupan lahan tahun 1990, 2000, 2003, 2006, 2009, 2011 dan 2012 yang bersumber dari Kemenhut. Selanjutnya, data tutupan lahan tahun 2000, 2006 dan 2012 untuk membandingkan tren perubahan tutupan lahan di kawasan HLSW DAS Manggar. Ketiga data dipilih sebagai ilustrasi kondisi biofisik hutan sebelum, saat pembentukan pengelolaan dan pasca pembentukan pengelolaan Gambar 9. Badan Pengelola HLSW DAS Manggar - Ketua - Wakil Ketua - Sekretaris - Bendahara - Anggota: 13 orang Unit Pelaksana HLSW DAS Manggar - Direktur - Sekretaris - 5 Kepala Divisi - 7 Koordinator Staf - Staf pelaksana Divisi Unit Pelaksana Kawasan Wisata Pendidikan Lingk. Hidup - Direktur - Sekretaris - 3 Kepala Divisi - 4 Koordinator Staf - Staf pelaksana Divisi Unit Pelaksana Kebun Raya Balikpapan - Direktur - 2 Kepala Divisi - 8 Koordinator Staf - Staf pelaksana Gambar 7 Perubahan tutupan lahan di HLSW periode tahun 1990 sd. 2012 Gambar 8 Perubahan tutupan lahan di DAS Manggar periode tahun 1990 sd. 2012 Komposisi tutupan lahan pada HLSW DAS Manggar tahun 2000 dan tahun 2006, menunjukkan luas jenis tutupan lahan yang hampir sama. Tutupan lahan berupa hutan sekunder tahun 2000 dan 2006 masing-masing seluas 5.038,56 ha 34,25 dan 5.100,14 ha 34,67; hutan primer tahun 2000 dan 2006 memiliki luas yang sama yakni seluas 2.341,86 ha 15,92; semak belukar tahun 2000 dan 2006 masing-masing seluas 6.986,56 ha 47,49 dan 6.924,97 ha 47,07; dan lain-lain seluas 327,61 ha 2,23. Sedangkan kondisi tutupan lahan tahun 2012 terdiri dari hutan sekunder seluas 5.042,19 ha 34,27; pertanian bercampur seluas 4.940,58 ha 33,58; hutan primer seluas 2.331,40 41 ha 15,85; semak belukar seluas 2.036,81 ha 13,84; serta lain-lain seluas 361,39 ha 2,46. Perubahan utama terjadi pada jenis tutupan lahan semak belukar menjadi pertanian bercampur seluas 4.922,79 ha, atau bertambah dari semula hanya seluas 17,79 ha menjadi 4.940,58 ha 33,58. Serta, jenis tutupan lahan semak belukar berkurang menjadi seluas 2.036,81 ha 13,84. Perubahan tutupan lahan berlokasi di areal DAS Manggar Gambar 9. Sebelum periode tahun 2000an, telah dilakukan usaha perlindungan HLSW secara parsial. Kegiatan mulai diprakarsai penggiat lingkungan dan konservasi sumber daya alam, seperti: BOSF, Wanariset Samboja, maupun Tropenbos sebelum pengelolaan oleh BP –HLSW DAS Manggar, tahun 2004. Para penggiat memiliki perhatian yang kuat mengingat keberadaan keragaman hayati di hutan lindung mulai terancam eksistensinya sebagai dampak dari kebakaran hutan, pembalakan liar serta perambahan hutan oleh masyarakat setempat. Selanjutnya pasca penetapan Perda No.11 Tahun 2004, pengelola memberikan hak akses kepada masyarakat sekitar hutan yang bergantung subsisten karena disadari tidak mungkin menghilangkan masyarakat dari hutan lindung. Sumber: Kemenhut 2014 Data diolah Gambar 9 Tren perbandingan perubahan tutupan lahan di HLSW DAS Manggar Sejak periode tahun 2007, areal pengelolaan meliputi kawasan HLSW dan areal DAS Manggar. Keduanya memiliki kondisi biofisik maupun sosial kemasyarakatannya yang saling bertolak belakang. Saat ini, kondisi perbandingan tutupan lahan di HLSW Gambar 10 dan 11 didominasi hutan sekunder dan primer, mampu terjaga kelestariannya karena telah ditetapkan sebagai daerah perlindungan. Aktivitas perlindungan dimulai tahun 1934, yakni pada zaman kerajaan Kutai. Sedangkan hutan lindung DAS Manggar baru ditetapkan sebagai hutan lindung tahun 1996. Dengan kondisi tutupan lahan yang didominasi oleh semak belukar Gambar 10 dan 12. Apabila ditinjau dari sejarah, berdasarkan lampiran peta Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK tahun 1992, DAS Manggar dahulunya merupakan areal kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Dalam peta tersebut, hampir seluruh wilayah kota Balikpapan adalah hutan produksi yang dapat dikonversi. Sehingga, situasi ini akan berimplikasi terhadap strategi pengelolaan dengan pendekatan tenurial berbeda. Informasi tutupan lahan yang detail, dapat menjelaskan fenomena tren perubahan tutupan lahan kedua kawasan. Kawasan HLSW memiliki karakteristik perubahan jenis tutupan lahan yang berbeda dengan DAS Manggar. Pasca tahun 2006, kondisi hutan yang semula berupa bekas kebakaran hutan tahun 19971998 telah mengalami regenerasi secara alami, khususnya areal yang terletak di sebelah barat hutan. Perubahan dari semak belukar menjadi lahan bercampur semak. Perubahan semak belukar menjadi lahan bercampur semak juga terjadi di areal yang sekarang menjadi lokasi HKm. Perubahan terjadi akibat peningkatan kegiatan pengelolaan lahan dan budidaya pertanian oleh masyarakat Wain Luar. Pasca implementasi Perda No.11 Tahun 2004, masyarakat sekitar hutan khususnya masyarakat Wain Luar memperoleh pengakuan dari pemerintah kota, melalui pemberian IPK. Implikasinya masyarakat setempat dapat secara intensif melakukan pengolahan lahan, baik budidaya tanaman karet, salak, buah-buahan, palawija dan lain-lain. Selain itu, juga ditemukan tanaman akasia yang tersebar di beberapa lokasi. Tanaman akasia merupakan tanaman hasil kegiatan rehabilitasi lahan. Lebih lanjut diketahui bagi masyarakat yang mengelola lahan secara intensif, akasia dianggap sebagai tanaman pengganggu. Tanaman akasia tersebut kemudian ditebang untuk ditanami dengan komoditas yang populer, seperti tanaman karet, salak dan buah naga Gambar 11. Jenis tutupan lahan hutan sekunder di HLSW sebelum pengelolaan tutupan lahan tahun 2000, saat pembentukan pengelolaan tutupan lahan tahun 2006 dan pasca pembentukan pengelolaan tutupan lahan 2012 didominasi jenis tutupan hutan sekunder masing-masing seluas 5.038,56 ha 51,34; 5.100,14 ha 51,97; dan 5.042,19 ha 51,38. Setelah itu diikuti jenis tutupan hutan primer masing-masing seluas 2.341,86 ha 23,86; 2.341,86 ha 23,86; dan 2.331,40 ha 23,76. Kedua jenis tutupan lahan pada ketiga periode waktu tidak menunjukkan perbedaan, berkisar 23 dari total luas kawasan. Perbedaan utama terjadi pada perubahan tutupan lahan jenis semak belukar menjadi pertanian bercampur. Tutupan lahan jenis semak belukar tahun 2000 dan 2006 sama, yakni seluas 2.423,71 ha 24,70 dan 2.362,12 ha 24,07, baru pada tutupan lahan 2012 berubah menjadi jenis pertanian bercampur seluas 2.213,77 ha 22,56. Situasi ini diduga merupakan implikasi pengolahan lahan intensif oleh masyarakat Wain Luar. Setelah memperoleh izin IPK yang kemudian diganti skema HKm, petani mendapatkan kepastian berusaha mengolah lahan. Hanna et al . 1996 mengungkapkan pengetahuan subyek pengelolaan yang baik tentang property rights dan kelembagaan yang melembaga mampu menjawab tantangan pengelolaan pengelolaan lingkungan yang efektif. Sedangkan kawasan DAS Manggar, perubahan tutupan lahan jenis semak belukar menjadi pertanian bercampur terjadi pada tutupan lahan tahun 2012. Tahun 2000 dan 2006, kondisi tutupan lahannya berupa semak belukar masing- masing seluas 4.562,85 ha 93,14 dan 4.562,85 ha 93,14. Sedangkan tahun 2012, tutupan lahan jenis semak belukar bertransformasi menjadi pertanian