Skema kebijakan pengelolaan hutan lindung
                                                                                51
Sumber: Laporan Kegiatan Konsultasi Publik Penyusunan Pokok-Pokok Pikiran Kebijakan Teknis Pengelolaan HLSW Kota Balikpapan, 23-25 Oktober 2003
Gambar 13   Usulan pengelolaan hutan lindung pendekatan kolaboratif
c Maksud dalam teks kebijakan
Elemen “maksud”  dalam  analisis  wacana  hampir  sama  dengan  elemen
“detail”  Eriyanto  2001.  Elemen  ini  berisi  informasi  yang  mendukung  tujuan pengelolaan  hutan  lindung  yang  harus  didukung  kebijakan  daerah,  diuraikan
secara  eksplisit  dan  jelas.  Sedangkan  informasi  yang  kurang  mendukung  akan diuraikan  secara  tersamar.  Secara  eksplisit  penjelasan  Perda  No.11  Tahun  2004
mengungkapkan hal berikut.
“
Melalui semangat otonomi daerah yang didukung oleh seperangkat aturan hukum  ...,  yang  memberikan  kewenangan  pengelolaan  hutan  lindung
kepada  daerah  kotakabupaten,  maka  peluang  untuk  mengelola  Hutan Lindung    Sungai  Wain  sangatlah  besar
”.  Paragraf  7,  penjelasan  Perda No.11 Tahun 2004, dan
“
...Untuk  menerjemahkan  bentuk  pengelolaan  kawasan  HLSW  secara terpadu  dan  terencana,  maka  kebijakan  pengelolaan  tersebut  belum  cukup
kuat apabila hanya dilakukan melalui Keputusan Walikota. Oleh karena itu perlu  di  buat  peraturan  daerah  yang  akan  mengatur  bentuk-bentuk
pengelolaan ke depan ...
”. Paragraf 6, penjelasan Perda No.11 Tahun 2004. Sedangkan  informasi  yang  kurang  mendukung  konteks  pengelolaan  dalam
memberikan  manfaat  secara  luas  bagi  masyarakat  Balikpapan  disajikan  secara implisit  agar  tidak  mempengaruhi  makna  yang  dikembangkan  oleh  penyusun
kebijakan.
“
HLSW  memiliki  keistimewaan  bagi  kota  Balikpapan,  sumber  air  bagi kepentingan  masyarakat  kota  Balikpapan,  khususnya  keperluan  Pertamina
sebagai  pemasok  bahan  bakar  ...
”.  Paragraf  3,  Pokok-pokok  pikiran rancangan kebijakan teknis pengelolaan HLSW.
d Koherensi teks kebijakan
Menurut  Eriyanto  2001  koherensi  merupakan  elemen  yang  mampu menggambarkan  bagaimana  peristiwa  dapat  dihubungkan  atau  dipandang  saling
terpisah.  Koherensi  menjadi  penting  saat  menghubungkan  berbagai  fakta  di lapangan untuk menyusun
storyline
yang utuh. Seperti uraian paragraf berikut. “
Kondisi  obyektif  tersebut  mengantarkan  pada  suatu  realitas  bahwa  untuk menjaga  fungsi  kawasan  HLSW  agar  tetap  lestari  dibutuhkan  upaya
pengelolaan  terpadu  yang  konsisten,  terencana  dan  profesional  dengan melibatkan  semua  pemangku  kepentingan  secara  bertanggungjawab,
terbuka  dan  demokratis  sehingga  dapat  memberikan  manfaat  yang berkeadilan  dan  berkelanjutan  bagi  generasi  sekarang  dan  yang  akan
datang
”. Paragraf 6, penjelasan Perda No.11 Tahun 2004. Kata  hubung  “sehingga”  menghubungkan  kalimat  penurunan  kualitas  dan
kuantitas  HLSW  yang  perlu  pengelolaan  terpadu  serta  kalimat  manfaat  HLSW. Penggunaan  kata  hubung  tersebut  dapat  menghubungkan  kedua  fakta  tentang
perlunya pengelolaan hutan lindung yang memberikan manfaat secara berkeadilan dan  berkelanjutan.  Implikasinya  memperkuat  maksud  yang  hendak  dicapai  oleh
penyusun kebijakan. b.
Kognisi sosial dalam proses produksi kebijakan pengelolaan HLSW
Analisis wacana berdasarkan konsep van Dijk tidak terbatas dalam analisis struktur teks, tetapi juga bagaimana teks diproduksi Eriyanto 2001. Lebih lanjut
Eriyanto mengungkapkan “setiap teks” pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran,
pengetahuan  tertentu  atas  peristiwa.  Teks  kebijakan  pengelolan  hutan  lindung dikonstruksikan  melalui  pembahasan  yang  aktif  dan  dinamis  antar  pemangku
kepentingan.  Merupakan  kontestasi  pengetahuan  dan  kepentingan  para  pihak Gambar  14.  Terdapat  dua  pandangan  utama  dalam  diskusi,  yakni
“pandangan pendukung konservasi
” dan “pendukung pemberdayaan masyarakat sekitar hutan” yang
subsisten
terhadap  hutan.  Menurut  Wittmer  dan  Birner  2005  pendukung konservasi  disebut  dengan  istilah  konservasionis,  sedangkan  pendukung
pemberdayaan masyarakat disebut dengan eko-populis. Lebih lanjut Wittmer dan Birner  menjelaskan  konservasionis  lebih  melihat  manusia  sebagai  sebuah
ancaman  keberlangsungan  sumber  daya  alam,  sehingga  harus  diekslusi  dari sumber  daya.  Sedangkan  eko-populis  melihat  manusia  sebagai  salah  satu
komponen  utama  dalam  mencapai  tujuan  untuk  mempertahankan  sumber  daya alam.
Kontestasi dido minasi “peranan” aktor kebijakan, yakni LSM dan akademisi.
Naskah  kebijakan  Perda  No.11  Tahun  2004  dan  produk  turunannya  merupakan “hasil  kompromi”  kedua  pandangan.  Artinya,  dalam  pengelolaan  hutan,
masyarakat  yang  terlanjur  bergantung  terhadap  hutan  tetap  diberikan  alokasi mengusahakan  lahan.  Mekanismenya  diatur  melalui  perizinan  yang  dibatasi
maksimal  2  haKK.  Hal  ini  menjadi  nilai  dan  tantangan  tersendiri  dalam pengelolaan  hutan  lindung  yang  berusaha  memperhatikan  keberlangsungan  dan
keselarasan perlindungan hutan dan masyarakat subsisten. Apakah bisa dijalankan atau hanya sekedar menjadi wacana kebijakan semata.
                                            
                