9. Penegakan kebijakan hutan
Penegakan  hukum  sektor  kehutanan  tidak  akan  berjalan  optimal  tanpa melibatkan  peran  serta  masyarakat.  Peningkatan  kapasitas  masyarakat  sekitar
hutan tentang arti penting keberlanjutan hutan agar mampu berdampingan secara harmonis  merupakan  cara  mengatasi  gejala  masalah  pengelolaan  seperti
perambahan  lahan  dan
illegal  logging
.  Saat  ini,  salah  satu  aktivitas  utama  UP HLSW  DAS Manggar adalah kegiatan patroli dan pengawasan hutan.
Berdasarkan  analisis  pemberitaan  media  lokal  diketahui  selama  periode tahun 2012
–2013 diketahui terdapat sembilan kali pemberitaan ancaman aktivitas batu  bara  di  sekitar  kawasan,  perambahan  dan  pencurian  kayu  serta  enam
pemberitaan  mengenai  ancaman  kebakaran  hutan.  Kondisi  tersebut  memvalidasi tidak ada sistem pengelolaan hutan yang terbebas dari masalah pelanggaran.
Inovasi  strategi  pengamanan  hutan  diperlukan  dalam  menyiasati keterbatasan  sumber  daya  pendukung  kegiatan.  Seperti  contohnya  himbauan
kepada  kelompok  tani  agar  melaporkan  kegiatan  pembukaan  lahan  guna mengantisipasi  risiko  kebakaran  lahan.  Meski  dalam  kenyataannya,  masih
terdapat aktivitas pembakaran lahan yang tidak terkendali. Seperti kejadian tahun 2014,  terjadi  kebakaran  lahan  akibat  aktivitas  pembukaan  lahan  di  areal  HKm
yang kurang memperhatikan tata cara pembukaan lahan.
Setiap  kejadian  pelanggaran  ditindaklanjuti  dengan  laporan  kepada  aparat berwajib  untuk  diproses  lebih  lanjut  sesuai  hukum  yang  berlaku.  Berbagai
pengaturan  telah  diberlakukan  dalam  pengelolaan  hutan,  namun  tidak  mungkin terhindar  dari  kejadian  pelanggaran.  Situasi  ini  juga  terjadi  dalam  pengelolaan
HLSW    DAS  Manggar.  Kapasitas  pengelola  yang  ada  belum  cukup  untuk memenuhi harapan pengelolaan. Optimasi pengelolaan tidak akan mampu tercapai
tanpa evaluasi secara simultan guna memperbaiki persoalan yang belum atau tidak terdeteksi.
10.
Administrasi tenurial dan
property rights
a Batas kawasan diberikan tanda yang jelas
Kedua kawasan hutan lindung telah ditata batas, bekerja sama dengan Balai Pemantapan  Kawasan  Hutan  BPKH  Wilayah  IV  Samarinda.  Seluruh  batas
kawasan telah ditetapkan dalam berita acara tata batas. Termasuk tata batas antar kelompok  tani  di  areal  HKm.  Batas  kawasan  HKm  menjadi
barrier
antara pengelola dan petani HKm agar tidak terjadi aktivitas perambahan lahan ataupun
penebangan  liar.  Pada  kawasan  HLSW,  batas  yang  disepakati  bersama memberikan kepastian bagi pengelola maupun kelompok HKm.
Usaha pemerintah kota terkait penataan kawasan adalah dengan pemagaran di sekeliling kawasan HLSW. Hampir semua batas kawasan HLSW telah dipagar
enclosure
,  kecuali  sebagian  wilayah  berbatasan  langsung  dengan  areal  HKm. Pagar  hutan  lindung  berfungsi  sebagai
“penanda”  areal  tersebut  ada  yang menguasai.  Artinya,  apabila  terdapat  aktivitas  memasuki  zona  dilarang  maka
pengelola berkewajiban menegakkan hak, misalnya melalui penangkapan. Namun, masih terdapat  anggota masyarakat  yang mengklaim lahan mereka
belum diakomodir dalam areal HKm seluas 1.400 ha. Implikasinya, masih terjadi aktivitas  perambahan  lahan  pada  periode  tahun  2012  dan  2013,  ditandai
77 pembukaan lahan seluas 39,9 ha. Walaupun setelah dilakukan klarifikasi bersama,
tidak ditemukan tanaman buah-buahan. Tanaman buah-buahan menjadi salah satu penanda areal tersebut pernah ada aktivitas pembukaan lahan.
Situasi  seperti  ini  oleh  Holland
et  al
.  2014  disebut  sebagai
overlapping land  tenure
.  Artinya  situasi  muncul  akibat  kontestasi  beberapa  kepentingan, ketidakpastian  pengaturan  akses  berdampak  munculnya  potensi  ketidakamanan
tenurial
tenure insecurity
. Menurut Hanna
et al
. 1996 pada sumber daya alam, khususnya hutan sulit menegakkan
well-defined property rights
sebagai barang publik  akibat  penegakan  aturan  yang  lemah.  Implikasinya  tanpa  adanya  solusi
skema
property  rights
yang  tepat,  masalah  yang  melekat  pada  karakteristik sumber  daya  hutan  akan  terus  terjadi.  Meskipun  skema  masalah  tenurialnya
berubah-ubah menyesesuaikan dengan dinamika ruang dan waktu. Sedangkan  pada  DAS  Manggar,  meski  telah  direkonstruksi  tata  batasnya,
tidak  mampu  membuat  efektivitas  pengelolaan  berjalan  optimal.  Akibat pemahaman  yang  kurang  lengkap  tentang
property  rights
dan  belum  terjawab fungsi relasional masyarakat DAS Manggar terhadap hutan lindung. Holland
et al
. 2014  berpendapat  identifikasi  kategori  tenurial  lahan  yang
overlapping
,  dapat membantu pengelola mencapai tujuan pengelolaan. Selain itu, Hanna
et al
. 1996 juga mengungkapkan pengetahuan yang baik tentang
property rights
, pemahaman hubungan manusia dengan sumber daya dan kelembagaan yang melembaga akan
menjawab  tantangan  pengelolaan  lingkungan  secara  efektif.  Dalam  konteks mengungkapkan  masalah  lingkungan,  menurut  Hanna
et  al
.  1996  pengambil kebijakan  wajib  berfokus  terhadap  konteks  skema
property  rights
yang  mampu dijalankan guna mencapai tujuan pengelolaan hutan.
b Kendala penguasaan lahan di dalam kawasan
Kawasan HLSW dan DAS Manggar memiliki situasi tenurial yang berbeda. Hanna
et  al
.  1996  mengungkapkan
well-defined  property  rights
dapat mendorong  pengelolaan  yang  optimal.  Pada  kawasan  HLSW,  masyarakat  umum
mengetahui  pengelolaan  hutan  lindung  dijalankan  oleh  Pemkot  melalui  BP –
HLSW.  Masyarakat  mengetahui  karena  dalam  pembentukan  perda,  masyarakat dilibatkan  dalam  tahapan  penyusunannya.  Informasi  yang  disampaikan  melalui
media  massa  mampu  mendorong  kesepahaman  bersama
collective  actions
tentang arti penting hutan lindung. Ditandai kehadiran
civil society
yang memiliki kesepahaman  tujuan  untuk  bersama-sama  mewujudkan  pengelolaan  hutan  yang
memberikan kemanfaatan secara berkeadilan. Meski  aktivitas  pengelolaan  telah  mengakomodir  kepentingan  masyarakat,
ternyata  tidak  membuat  semua  pihak  mematuhi  kesepakatan.  Artinya  masih terdapat masyarakat yang berusaha memanfaatkan aliran manfaat secara
overuse
. Kondisi ini membutuhkan kemampuan pengelola dan masyarakat yang baik untuk
menegakkan norma bersama. Situasi DAS Manggar semakin rumit. Di satu sisi mayarakat telah mendiami
kawasan  sebelum  penetapan  hutan  lindung,  namun  kemudian  Pemerintah menetapkannya  sebagai  hutan  lindung.  Kondisi  ini  membuat
well-defined property rights
tidak dapat terwujud akibat informasi yang tidak seimbang, antara Pemkot  dan  masyarakat  setempat.  Menurut  Hanna
et  al
.  1996  apabila  ditinjau dari  sudut  pandang  pencapaian  tujuan  pengelolaan  untuk  melestarikan  dan
memenuhi  harapan  masyarakat,  maka  tujuan  tersebut  tidak  akan  tercapai.  Tanpa pengakuan hak-hak masyarakat yang telah ada sebelumnya.
Pasca  penetapan  perda,  kebijakan  pembatasan  pemanfaatan  lahan  di  Wain Luar  sulit  dicapai.  Dalam  proses  penyusunan  perda,  penyusun  kebijakan  telah
memperhitungkan hak masyarakat sekitar yang bergantung terhadap hutan, yakni pemberian IPK maksimal 2 ha per KK. Pertimbangannya telah memperhitungkan
kemampuan  normal  petani  mengolah  lahan  secara  optimal.  Lebih  lanjut, berdasarkan  identifikasi  UP  HLSW  terdapat  1.394,97  ha  yang  dikuasai
masyarakat  Wain  Luar.  Dikelompokkan  ke  dalam  tiga  3  kategori,  yakni masyarakat dengan Kartu Tanda Penduduk KTP setempat R1 seluas 946,10 ha
atau mencapai 53; masyarakat setempat tanpa KTP R2 seluas 149,25 ha atau mencapai  15;  dan  masyarakat  di  luar  HLSW  R3  seluas  299,62  ha  atau
mencapai 32.
Pemberian  IPK  tidak  mampu  menyelesaikan  persoalan  perambahan  lahan. Sampai  dengan  tahun  2009,  hanya  terdapat  121  KK  dengan  lahan  seluas  213,39
ha  yang  memperoleh  IPK.  Lebih  lanjut  diketahui  dari  keseluruhan  izin,  rata-rata luas  lahan  per  orangnya  di  bawah  dua  ha,  di  bawah  ambang  batas  yang
dipersyaratkan.  Artinya,  sebagian  besar  masyarakat  Wain  Luar  yang  menguasai lahan  tetap  memanfaatkan  lahan  secara  ilegal,  tanpa  didukung  IPK.  Realitasnya,
terdapat anggota masyarakat yang mengklaim lahan memiliki lahan lebih dari dua ha. Ternyata, anggota masyarakat ini tidak mengajukan izin karena dipastikan izin
tersebut tidak dapat keluar. Hal ini tervalidasi dengan data hasil pengukuran persil lahan  kelompok  tani  HKm,  posisi  per  November  2014.  Hasil  pengukuran
mengungkapkan  terdapat  minimal  175  orang  dengan  lahan  di  atas  dua  ha  seluas 581,2 ha atau mencapai  hampir 60  dari total persil  yang diukur  atau  mencapai
42  dari  total  areal  HKm  Gambar  22.  Hal  ini  menunjukkan  selalu  terdapat kendala  di  dalam  pengimplementasian  kebijakan  yang  telah  disepakati  bersama.
Persoalan  mendasarnya  adalah  mengenai  bagaimana  menjalankan  kesepakatan bersama, di saat kesepakatan dapat mengurangi potensi manfaat bagi pihak lain.
Lebih lanjut diketahui pola penguasaan lahan lebih berdasarkan kemampuan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam membuka lahan. Semakin
aktif  pembukaan  lahan  maka  semakin  luas  lahan  yang  dikuasai.  Berlaku  bagi perambah  lahan  yang  berani  berhadapan  dengan  petugas.  Perambah  yang  tidak
berani,  areal bekas pembukaan lahannya  akan ditinggalkan. Namun, tidak semua penguasaan  lahan  dengan  membuka  hutan,  ada  yang  memperolehnya  dengan
mekanisme informal melalui
“penggantian biaya pembukaan lahan” atau “jual beli di bawah tangan”.
Sedangkan pada kawasan DAS Manggar, cara untuk mengetahui pemerintah mengakui keberadaan masyarakat secara
de facto
maupun
de jure
adalah melalui kegiatan  pembebasan  lahan  perluasan  waduk  Manggar.  Hal  ini  menunjukkan
sebenarnya  areal  DAS  Manggar  secara
de  facto
telah  dikuasai  atau  dimiliki masyarakat.  Dampaknya  divisi  DAS  Manggar  tidak  memiliki  kemampuan  untuk
melarang  masyarakat  yang  mengusahakan  lahan.  Usaha  mereka  hanya  sebatas menghimbau agar menjaga lingkungan dengan baik.
79
Sumber: UP HLSW  DAS Manggar, posisi per November 2014
Gambar 22  Perbandingan  lahan  kelompok  tani  HKm  berdasarkan  luas  persil lahan
c Apakah terjadi konflik tenurial
Konflik  tenurial  terjadi  pada  kedua  kawasan  hutan  lindung.  Pertama,
konflik  vertikal  antara pemerintah  pengelola terhadap masyarakat  sekitar hutan masyarakat  Wain  Luar  di  HLSW,  khususnya  di  km.20
–24.  Konflik  akibat perbedaan  cara  pandang  melihat  hutan.  Masyarakat  melihat  hutan  sebagai  lahan
sumber  penghidupan.  Namun,  tidak  sedikit  masyarakat  yang  melihat  hutan sebagai  komoditas  kayu  praktik
illegal  logging
makin  marak  pasca  kebakaran tahun  19971998.  Walaupun,  saat  ini  intensitas  aktivitas  tersebut  telah  menurun
drastis. Sedangkan pemerintah kota melihat HLSW sebagai kawasan lindung yang harus dipertahankan keberadaannya.
Sebelum  dikelola  BP –HLSW,  masyarakat  Wain  Luar  dianggap  sebagai
ancaman  terhadap  keberlangsungan  hutan  lindung.  Ditinjau  dari  sejarah,  tahun 1993  diusulkan  enclave  hutan  lindung  yang  berjarak  500  meter  dari  jalan
Samarinda-Balikpapan, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Wain Luar. Namun, pilihan ini tidak serta merta menghilangkan usaha masyarakat memasuki kawasan
hutan lindung. Masyarakat tidak dianggap sebagai subyek pengelolaan yang harus diajak bersama mengelola hutan.
Berbagai upaya
civil society
bersama pemerintah dilakukan untuk mengatasi dan  mempertahankan  kondisi  hutan  yang  tersisa.  Sebagai
point  of  no  return
pernyataan  bersama
collective  action
Deklarasi  Penyelematan  Sungai  Wain tahun 2001. Konflik vertikal di HLSW mulai mereda setelah terdapat pengakuan
keberadaan masyarakat. Konflik tenurial HLSW bersifat dinamis. Meski demikian, kesepakatan bersama tidak menghilangkan aktivitas perambahan lahan, pencurian
kayu  atau  perburuan  satwa.  Pengelolaan  untuk  menghambat  eskalasi  perusakan hutan  akibat  perambahan  masyarakat.  Konflik  mereda  saat  masyarakat  diberikan