Membangun sistem kategori Masalah kebijakan desentralisasi kehutanan Indonesia

17 oleh individu dalam suatu komunitas. Menurut Schmid 2004 kelembagaan merupakan hubungan antar manusia yang membentuk kesempatan dan kendala. Kendala bagi seseorang merupakan kesempatan bagi orang lain. Dengan kata lain, kelembagaan memungkinkan individu atau kelompok individu untuk berbuat sesuatu yang tidak mungkin dapat dilakukan sendiri tanpa pihak lain. Sedangkan Ostrom 2005 lebih mengartikan kelembagaan sebagai preskripsi rules of the game yang dipahami oleh manusia secara bersama-sama, dalam situasi berulang dan membentuk interaksi antar individu. Interaksi antar individu ditentukan oleh aturan, norma dan strategi yang berimplikasi terhadap tindakan individu. Dalam analisis kelembagaan, variabel kontekstual yang membentuk dan mempengaruhi arena aksi perlu didefinisikan secara spesifik. Termasuk variabel yang terkait dengan biofisik yang mempengaruhi interaksi aktor, atribut komunitas dan kelembagaan atau rule in-use . Pada dasarnya, kelembagaan ditentukan manusia untuk meningkatkan pendugaan dan menentukan arah dari kondisi lingkungan yang tidak pasti. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan individu untuk bekerja sama dan memfasilitasi produksi public goods Crawford dan Ostrom 1995. Fenomena kelembagaan Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 merupakan transaksi antar organisasi maupun anggota dalam organisasi. Pendekatan biaya transaksi dipengaruhi oleh hak kepemilikan, penguasaan faktor produksi, pengetahuan maupun akses informasi. Secara umum, Field 1994 mengartikan biaya transaksi sebagai biaya untuk mencapai dan mengatur kesepakatan, yang menggambarkan perilaku organisasi atau anggota organisasi. Perilaku terbentuk menurut Schmid 2004 memiliki ambang batas stabilitas dan perilaku kolektif tertentu yang dapat berubah, sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Merujuk beberapa definisi dan ruang lingkup di atas, mengisyaratkan betapa pentingnya penguatan kelembagaan yang ada. Peran kelembagaan adalah mengatur hubungan interdependensi antar individu dalam situasi tertentu. Kasper dan Streit 1998 menjelaskan terdapat tiga fungsi utama kelembagaan. Pertama, kelembagaan mampu menjelaskan dan memprediksi proses hubungan interaksi individu yang kompleks. Kedua, kelembagaan dapat menegakkan hak privat yang bersifat otonomi dari pengaruh kekuatan pihak luar. Dan ketiga, kelembagaan berperan dalam memitigasi konflik dalam interaksi antar individu. Ketiga fungsi dapat berjalan, apabila terdapat penegakan aturan dan norma yang disepakati bersama. Kegagalan kelembagaan erat hubungannya dengan konflik kepentingan, kekuasaan, kewenangan, perilaku oportunistik dan motivasi pencari rente, ketidakseimbangan informasi serta masalah dalam implementasi kebijakan Kartodihardjo dan Jhamtani 2006. Guna menghindari kegagalan kelembagaan perlu upaya bersama untuk penguatan kapasitas para aktor dan penegakan aturan main. Menurut Ostrom 2008 untuk memperoleh bentuk kelembagaan yang efektif, perlu pendekatan berbasis eksperimental di tingkat tapak, dibanding pendekatan top-down . Salah satunya, melalui kolaborasi kelembagaan formal dan informal sistem pengelolaan hutan agar mendukung kelestarian. Aturan dimaknai sebagai norma formal maupun informal yang mengijinkan, melarang serta tindakan tertentu atau kemanfaatan dan pemberian sanksi apabila aturan tidak dijalankan Crawford dan Ostrom 1995. Ostrom et al . 1994 berpendapat aturan membentuk serangkaian informasi mengenai tindakan aktor, berupa kewajiban, batasan atau ijin apabila tidak ingin terkena sanksi. Selain itu, Schlager dan Ostrom 1992 mengartikulasikan aturan sebagai pembatasan yang membentuk otorisasi. Sedangkan Kasper dan Streit 1998 mendefinisikan aturan sebagai hal yang membatasi atau melarang kemungkinan perilaku oportunistik, dalam hubungan interaksi antar individu atau kelompok. Lebih lanjut, aturan main tegak apabila ada nilai saling percaya mutual trust , asas timbal balik reciprocity and exchanges serta norma lainnya yang terakumulasi menjadi modal sosial Kartodihardjo dan Jhamtani 2006. Ketika aturan main sudah tidak mampu membatasi perilaku oportunistik dan membahayakan, dapat disimpulkan kelembagaan gagal memenuhi tujuan bersama dalam mempengaruhi hubungan interdependensi. Kelembagaan berperan penting ketika seorang individu sudah tidak mampu berinteraksi secara baik dengan individu lain. Atau saat individu tidak memahami bagaimana individu akan merespon. Serta implementasi sanksi, apabila pihak lain melanggar kesepakatan bersama yang disepakati Kasper dan Streit 1998. Bagi masyarakat adat atau lokal, aturan main dipengaruhi oleh nilai kearifan lokal yang didominasi norma dan etika. Kearifan bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan yang diterima serta diyakini secara turun-temurun. Kearifan lokal mampu menjadi sistem yang dapat mengintegrasikan pengetahuan, budaya, kelembagaan serta praktik pengelolaan hutan. Konsepsi Property Rights Hak Kepemilikan a. Definisi property rights Property rights didefinisikan Ostrom dan Hess 2008 sebagai tindakan dalam relasi antar individu terhadap suatu barang. Apabila seorang individu memiliki hak, maka orang lain memiliki kewajiban untuk mengakui hak tersebut. Sedangkan, Bromley 1992 mendefinisikan property rights sebagai klaim memperoleh aliran manfaat atau keuntungan. Property rights jenis ini bukan menjadi objek, namun sebagai hubungan sosial untuk memastikan pemegang properti atau aliran manfaat diakui orang lain atau negara. Atau sering disebut sebagai instrumen sosial. Property rights juga dimaknai sebagai klaim untuk memperoleh aliran manfaat dari pihak lain yang biasanya dilakukan oleh negara, yang pada akhirnya negara akan mengakui klaim tersebut, melalui pembebanan kewajiban kepada pihak yang lain, terkait dengan aliran manfaat. Selain itu, Nugroho 2011 mendefinisikan property rights sebagai kelembagaan, karena didalamnya terdapat aturan yang mengatur hubungan antar individu. Terdapat perbedaan krusial mengenai hak di level operasional operational – level dan tindakan bersama collective – choice . Otoritas dalam menentukan hak level operasional, membuat hak tindakan bersama menjadi sangat kuat Schlager dan Ostrom 1992. Bentuk implementasi aturan kelembagaan merupakan rezim property rights, karena mengandung norma dan aturan main yang mengatur interaksi sosial antar individu Nugroho 2011. Selanjutnya, ditinjau dari karakteristiknya, rezim property rights dikelompokkan oleh Hanna et al . 1996 ke dalam empat kelompok hak kepemilikan Tabel 2. 19 Tabel 2 Karakteristik rezim property rights Property rights Pemilik Hak pemilik Kewajiban pemilik Privat Individual - Penggunaan diterima oleh masyarakat - Mengontrol akses Menghindari penggunaan yang dapat mengganggu kepentingan masyarakat KomunalAdat Bersama kelompok Dapat diekslusi oleh bukan pemilik Mempertahankan dan membatasi penggunaan Negara Masyarakat Menentukan aturan Menjaga tujuan sosial Open access Tidak ada Mengekstraksi Tidak ada Sumber: Hanna et al. 1996 Lebih lanjut, Ostrom dan Schlager 1996 mengelompokkan lebih rinci jenis property rights yang berkaitan dengan bundle of rights pelaku kepemilikan ke dalam lima golongan Tabel 3. Tabel 3 Property rights terkait dengan bundle of power yang dimiliki oleh para pelaku Jenis p roperty rights Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Access: Hak untuk memasuki dan memperoleh manfaat non – substraktif X X X X X Withdrawal: Hak untuk memperoleh unit sumber daya X X X X Management: Hak untuk mengatur dan mentransformasikan sumber daya X X X Exclusion: Hak untuk menentukan siapa yang bisa mengakses dan mengalihkan hak, serta bagaimana hak tersebut dapat dipindahkan X X Aleination: Hak untuk menjual atau menjaminkan hak pengelolaan dan eksklusi X Sumber: Ostrom dan Schlager 1996

b. Karakteristik sumber daya hutan yang bersifat

common-pool resources CPRs Kondisi sumber daya yang secara de facto cenderung open access , menurut Bromley 1992 dan McGinnis 2011 disebut sebagai kondisi yang tidak ada property right s atau pun pengaturan yang efektif. Situasi seperti ini hanya ada kesempatan untuk mengekstraksi sumber daya yang ada. Oleh karena itu guna menjembatani persoalan sumber daya yang bersifat open access , muncul istilah CPRs. Definisi CPRs adalah kondisi munculnya pembatasan hak penggunaan excludable potensi sumber daya, terjadi pada saat sifat sumber daya dapat dimanfaatkan subtractable . CPRs juga dimaknai sebagai sistem sumber daya yang memerlukan pengorbanan untuk membuatnya, sehingga penerima manfaat akan berusaha untuk memperoleh manfaat tanpa melihat jenis property rights Ostrom 1990; Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al . 1994. Karakteristik yang pertama, ditinjau dari sifat barang dan jasa dalam perspektif ekonomi sebagai barang publik. Sedangkan karakteristik yang kedua, dilihat sebagai barang dan jasa yang ditinjau dari perspektif barang privat. Penggunaan unit sumber daya CPRs secara berlebihan atau bahkan cenderung destruktif akan menghasilkan situasi open access Ostrom dan Schlager 1996. Ostrom dan Schlager 1996 mengungkapkan pada prinsipnya mayoritas sumber daya alam tersebut dapat diklasifikasikan sebagai CPRs, apabila ditinjau dari sudut pandang sebagai barang dan jasa. Menurut pendapat Ostrom dan Schlager 1996 dan Ostrom 1992 terdapat dua kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan apakah suatu sumber daya alam dapat dikategorikan sebagai CPRs. Pertama, adanya biaya yang timbul untuk mengambil excludable manfaat sumber daya. Biaya eksklusi ini berkaitan dengan jenis dan ukuran batasan sistem sumber daya alam dan teknologi. Kedua, apakah ada unit sumber daya alam yang dapat diekstraksi substractable atau apa yang dapat diproduksi dari sistem sumber daya alam tersebut. Berkenaan dengan karakteristik CPRs hutan lindung, Schlager dan Ostrom 1992; 1996 menjelaskan tingkat operasional property rights yang sesuai adalah access dan withdrawal rights. Apabila pengelola hutan lindung authorized user ; Tabel 3 memiliki hak akses, maka pengelola tersebut memiliki otoritas untuk memasuki dan menentukan siapa yang dapat mengakses hutan lindung. Menurut Ostrom 1999, beberapa hasil penelitian CPRs di lapangan menantang bagaimana kemampuan generalisasi teori konvensional. Teori ini mampu menduga manfaat ketika pengguna bekerja sama atau tidak mampu berkomunikasi efektif, namun belum menjelaskan bagaimana para pengguna membentuk dan mempertahankan kesepakatan akibat generalisasi teori tersebut. Merujuk rezim property rights Hanna et al . 1996 , kebanyakan sumber daya hutan lindung di Indomesia dapat dikategorikan sebagai state property karena dikuasai negara. Serta disebut communal property apabila dikuasai kelompok masyarakat adat. Namun, hutan lindung sebagai state property , ternyata de facto cenderung open access sehingga penuh dengan ketidakpastian uncertainty . Oleh karena itu hutan berkarakteristik CPRs akan memiliki atribut risiko bawaan inherent risks tinggi. Sehingga menurut Schmid 2004, situasi sumber daya ini, memerlukan implementasi kelembagaan yang baik dalam mengurangi pengaruh risiko bawaan serta mengantisipasi ketidakpastian sumber daya. Konsepsi Konflik Tenurial a. Definisi konflik dan tenurial Beberapa ahli mendefinisikan konflik dalam berbagai perspektif. Pertama, Fisher et al . 2001 menganggap konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau 21 lebih baik individu maupun kelompok, yang mempunyai atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Kedua, menurut Wulan et al . 2004 konflik merupakan perwujudan perbedaan cara pandang terhadap obyek yang sama. Ketiga, Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 menyebut konflik sebagai gejala yang timbul permukaan akibat transformasi modal sosial yang tumbuh dalam masyarakat. Keempat, Malik et al . 2003 mendefinisikan konflik sebagai situasi pertentangan yang dipengaruhi emosi, kepribadian dan budaya. Dan yang terakhir, Galudra et al . 2006 menafsirkan konflik sebagai situasi yang muncul akibat kompetisi, terkait isu akses access , guna use dan kepastian security sumber daya, yang selanjutnya disebut konflik tanah atau tenurial. Mengenai definisi tenure tenurial, Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 memaknainya sebagai hubungan sosial, artinya lebih sebagai hubungan antar individu, komunitas dan rakyat terhadap negara. Corbera et al . 2010 juga mendefinisikan land tenure kepemilikan lahan sebagai hubungan sosial, termasuk property rights individu, masyarakat, organisasi dan negara. Pada akhirnya akan mempengaruhi siapa yang boleh mengakses dan mengontrol lahan. Relasi ini, ditandai berbagai bentuk klaim kepemilikan lahan dan hutan. Lebih lanjut, Malik et al . 2003 menekankan tenurial sebagai penegasan hak khusus oleh individu atau kelompok atas obyek tertentu. Pengelolaan hutan berkarakteristik CPRs, sering terjadi hubungan interdependensi yang menimbulkan konflik. Persoalan konflik tenurial sektor kehutanan, sebenarnya bukan pada sifat sumber daya, namun lebih hubungan sosial masyarakat Yasmi 2007. Sebenarnya konflik hutan terkait persoalan hubungan sosial masyarakat dan negara yang tidak harmonis. Menurut Nurrochmat et al . 2012 konflik hutan adalah klaim pemanfaatan hutan. Konflik terjadi akibat perbedaan landasan klaim hak penguasaan. Sebagai contoh, konflik pengelolaan hutan lindung dan masyarakat desa hutan. Pemegang ijin pengelolaan berlandaskan hukum formal atau negara, sedangkan masyarakat desa berlandaskan hukum adat atau nilai budaya luhur yang sudah ada sebelum hutan lindung muncul. Sehingga, pengabaian hak masyarakat dapat menjadi penyebab konflik tenurial. Merujuk pendapat Malik et al . 2003, konflik penguasaan hutan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:  Masalah hubungan antar manusia Konflik ini dipengaruhi oleh emosi negatif yang kuat, salah persepsi maupun komunikasi serta tingkah laku yang berulang.  Masalah kepentingan Konflik kepentingan merupakan persaingan kepentingan yang dirasakan maupun nyata yang tidak berkesesuaian dengan harapan. Atau dengan kata lain, salah satu pihak meyakini dalam memenuhi kebutuhan, implikasinya pihak lain harus berkorban.  Masalah perbedaan data Konflik yang disebabkan kesalahan data atau informasi, dipicu perbedaan cara, ketidaksepakatan, interpretasi data dan pengujian data.  Masalah perbedaan nilai Konflik disebabkan oleh ketidaksesuaian sistem kepercayaan. Konflik muncul saat seseorang atau kelompok memaksakan, mengklaim dan mengeksklusifkan sistem nilai kepada orang lain.  Masalah struktural Merupakan konflik yang disebabkan ketimpangan akses dan kontrol sumber daya alam yang dipicu oleh posisi pihak penguasa. Selanjutnya, Malik et al . 2003 mengungkapkan tiga wujud konflik. Pertama, konflik tertutup latent dicirikan munculnya tekanan yang tidak tampak, tidak berkembang atau tidak muncul di permukaan. Para pihak sering tidak menyadari potensi konflik karena pertentangan dapat dirasionalisasikan. Kedua, konflik mencuat emerging yang dicirikan pihak berkonflik teridentifikasi dengan jelas. Pemicu konflik dapat diketahui dengan jelas. Namun, proses penyelesaiannya belum berkembang atau tidak dapat segera diselesaikan. Dan ketiga, konflik terbuka manifest dicirikan dengan para pihak yang aktif berkonflik, serta muncul ketegangan antar pihak.

b. Permasalahan tenurial dalam pengelolaan hutan lindung

Sistem penguasaan tanah land tenure system menjelaskan hak yang dimiliki, jarang dipegang satu pihak saja. Sebagai contoh, pada waktu dan bidang tanah yang sama, terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan tanah secara bersamaan, tetapi memiliki sifat hak berbeda bundle of rights . Istilah bundle of rights dikemukakan Ostrom dan Schlager 1996 guna menjelaskan lebih lanjut mengenai workable rezim property rights . Ilustrasi bundle of rights di Indonesia, salah satunya kondisi di taman nasional. Hak kepemilikan tanah taman nasional dipegang negara, namun setiap orang memiliki hak mengunjungi dan menikmati keindahan alam. Masyarakat sekitar dan dalam taman nasional dibatasi hanya memiliki hak memakai right of use untuk kesejahteraan dengan memungut hasil hutan. Dari ilustrasi tersebut, terlihat bagaimana pihak yang memiliki hak menguasai tanah, ternyata belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut Galudra et al . 2006. Lebih lanjut dijelaskan Nugroho 2011, hak timbul sebagai implikasi keterkaitan sumber daya akibat persaingan antar individu atau kelompok. Dengan kata lain, hak akan diakui, apabila terdapat para pihak yang saling memperebutkan aliran manfaat, dalam konteks kajian ini adalah lahan di dalam hutan lindung. Konflik tenurial, sebenarnya tidak hanya terbatas persoalan perebutan hak rights , namun lebih mengenai persoalan akses access potensi aliran manfaat hutan. Ribot dan Peluso 2003 mengungkapkan akses sebagai kemampuan dan kekuatan yang menghasilkan keuntungan, termasuk objek material, perorangan, institusi maupun simbol. Akses lebih berfokus kepada kemampuan, dibandingkan kepemilikan sebagaimana dimaksudkan dalam teori property rights . Formulasi ini memberikan perhatian lebih luas dalam konteks hubungan sosial. Sebagai hubungan yang memungkinkan individu tertentu untuk memperoleh aliran keuntungan, tanpa melihat perspektif hubungan properti. Erat kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan masing-masing pihak. Secara empiris, akses sebenarnya berfokus pada isu siapa yang bisa menggunakan apa, melalui cara apa, kapan serta dalam kondisi seperti apa. Elemen penting konsep ini, selain sumber daya alam sebagai obyek, juga terkait kekuasaan mampu mempengaruhi kemampuan individu untuk memperoleh aliran manfaat. Kekuasaan meliputi: kondisi material, budaya, ekonomi dan politik. Kekuasaan berada dalam ikatan dan jaring kekuasaan web of powers , yang