b. Performa BP-HLSW DAS Manggar dalam mengelola hutan lindung
Kinerja pengelolaan HLSW DAS Manggar ditinjau berdasarkan kerangka kerja
Forest Governance
dengan aspek kelembagaan dan tata kelola tenurial sebagai area kunci
key area
. Kinerja kelembagaan BP –HLSW DAS Manggar
untuk mengantisipasi dan menyelesaikan permasalahan administrasi organisasi pengelola, perencanaan, instrumen pembiayaan, kapasitas pengelola dan
penegakan aturan Perda. Sedangkan tata kelola tenurial dilihat dari seberapa optimal tata usaha distribusi aliran manfaat hutan telah mampu memberikan
keseimbangan keberlangsungan kelestarian hutan dan pemanfaatan yang berkeadilan sosial.
Subyek kajian adalah organisasi UP –HLSW DAS Manggar sebagai
pelaksana pengelolaan hutan serta masyarakat sekitar hutan lindung. Analisis ini merupakan analisis kebijakan
ex-post
dengan pendekatan retrospektif Dunn 1994. Tujuan utama kajian adalah memahami kesenjangan implementasi
kebijakan di tingkat tapak. Menurut Sabatier 2007, setelah kebijakan diimplementasikan selanjutnya dievaluasi dan ditinjau kembali untuk melihat
apakah produk kebijakan sesuai dengan tujuan.
Kerangka kerja
Forest Governance
PROFOR-FAO 2011 dan PROFOR 2012, terdiri 39 indikator di dalam sepuluh komponen, meliputi 28 kriteria dan
39 sub-kriteria. Kerangka ini berpijak pada tiga pilar utama, yakni pilar kebijakan, institutional dan pengaturan; pilar proses perencanaan dan pengambilan
keputusan; serta pilar implementasi penegakan dan kepatuhan Gambar 2. Rincian struktur dan matriks
forest governance
disajikan dalam Lampiran 5 dan 6. Hasil analisis mengungkapkan kinerja pengelolaan HLSW DAS Manggar
berada dalam posisi cukup baik Gambar 15 dan 16. Artinya, kesenjangan kebijakan dan implementasi tidak terlampau jauh. Secara umum, kondisi aktual
sepuluh komponen masih di bawah kondisi ideal nilai keseluruhan mencapai 21,42 dari total skor maksimal 30. Apabila ditinjau dari sepuluh komponen
Forest Governance
, tiga komponen diantaranya memiliki bobot rata-rata yang mendekati kondisi ideal. Komponen transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
mencapai 2,67 dari skor maksimal 3, partisipasi
stakeholders
mencapai 2,5 dari skor maksimal 3 serta komponen kualitas kebijakan daerah mencapai bobot 2,25
dari skor maksimal 3. Sisanya memiliki nilai skor dua atau dalam kondisi kurang ideal.
Nilai skor total kinerja
Forest Governance
dipengaruhi keragaman arena pengelolaan hutan lindung. Implikasinya berpengaruh besar terhadap hasil akhir
kinerja pengelolaan. Tingkat deforestasi menjadi salah satu indikator lemahnya kinerja pengurusan dan pengelolaan hutan Nugroho 2013. Merujuk uraian
perbandingan tutupan lahan sebelumnya dan Gambar 8, eskalasi perubahan tutupan lahan di DAS Manggar semakin memprihatinkan. Menjadi tantangan
berat pengelola guna mempertahankan keberlanjutan fungsi kawasan lindung, khususnya mengantisipasi tata kelola tenurial masyarakat sebelum penetapan
hutan lindung. Harus dipahami tidak ada sistem kebijakan ideal yang mampu menyelesaikan semua permasalahan pengelolaan hutan berkarakteristik CPRs.
Oleh karenanya sistem kebijakan harus dievaluasi secara kontinu agar tujuan kebijakan pengelolaan dapat tercapai.
59 Perbandingan kondisi aktual dan ideal diharapkan mampu dimaknai sebagai
representasi kesenjangan implementasi kebijakan pengelolaan di tingkat tapak. Memperhatikan kondisi aktual diharapkan mampu menjadi gambaran peluang
perbaikan tahapan pengelolaan hutan lindung guna mencapai keseimbangan
equity
distribusi aliran manfaat ekonomi yang mempertahankan kelestarian hutan secara berkesinambungan dan berkeadilan sosial. Sebagaimana
diungkapkan oleh Nugroho 2013, salah satu tujuan
good forest governance
adalah mengalokasikan sumber daya hutan sesuai dengan fungsi secara berimbang dan diakui oleh
stakeholders
supaya terjamin keberlanjutannya.
Gambar 15 Indikator
forest governance
di HLSW DAS Manggar
Gambar 16 Perbandingan kondisi aktual dan ideal berdasarkan indikator
forest governance
Kajian ini memperkuat pandangan Ostrom dan Schlager 1996 yang menyatakan kepastian pengelolaan dan kepastian
security
penegakan
property rights
mampu menjamin para pihak dalam memperoleh komitmen keseimbangan keberlanjutan kelestarian hutan dan aliran manfaat ekonomi secara kredibel.
Senada argumen Ostrom dan Schlager, Holland
et al
. 2014 mengungkapkan tenurial yang mantap mampu memberikan kepastian bagi pengelola dalam
mengambil keputusan untuk menentukan alokasi penggunaan lahan. Sehingga mempermudah dalam memilah siapa yang berhak maupun tidak berhak.
Tidak ada sistem kebijakan yang optimal dalam mengantisipasi berbagai persoalan yang melekat
embedded
pada sumber daya berkarakteristik CPRs. Sistem kebijakan hanya mampu mengantisipasi dan mengurangi dinamika
persoalan tenurial, sebagai salah satu masalah implementasi kebijakan. Oleh karena itu, penguatan peranan kelembagaan BP
–HLSW DAS Manggar diharapkan dapat menegakkan dan memberikan kepastian
tenure security
atas
uncertainty
aliran manfaat hutan berkarakteristik CPRs. Selain memperkuat kapasitas masyarakat yang bergantung terhadap sumber daya CPRs.
Hasil analisis kerangka kerja
forest governance
PROFOR –FAO 2011 dan
PROFOR 2012 seperti ditunjukkan Gambar 15 dan 16 diuraikan sebagai berikut. Uraian dimaksud merupakan rangkuman kriteria dan sub-kriteria yang
menggambarkan kondisi dari komponen
Forest Governance
pengelolaan HLSW DAS Manggar.
1. Kualitas kebijakan dan pengaturan tentang kehutanan daerah
a Arti kebijakan Perda No.11 Tahun 2004
Perda pengelolaan HLSW secara spesifik disusun berdasarkan karakteristik biofisik dan masyarakat sekitar HLSW. Perda belum mengatur pengelolaan DAS
Manggar. Pengaturan pengelolaan DAS Manggar baru ditetapkan berdasarkan SK Walikota No.188.45-2452007 tentang pembentukan BP
–HLSW DAS Manggar. Pengelolaan kedua kawasan hutan lindung merujuk Perda No.11 Tahun 2004.
Apabila ditinjau dari proses penyusunan perda, pengaturan pada pasal demi pasal merupakan bentuk akomodatif para pihak yang mengedepankan
keseimbangan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan usaha konservasi hutan. Narasumber mengungkapkan inti perda HLSW sebagai berikut.
“
Kompromi proteksi terhadap HLSW dan ruang bagi masyarakat untuk berusaha, masyarakat tidak kehilangan akses atau kesempatan untuk
berusaha, baik di kawasan maupun di luar kawasan
” Sm, Juni 2014. Maknanya, perda sebagai produk akhir kebijakan yang dikonstruksikan melalui
kontestasi para pihak dalam menegosiasikan dan memperjuangkan kepentingan. Sekaligus menjadi awal tantangan berat dalam mencapai tujuan pengelolaan,
yakni memberikan kemanfaatan yang berkeadilan sosial.
Tantangan terbesar pasca penyusunan suatu kebijakan adalah persoalan implementasi kebijakan agar
workable
dalam menghadapi persoalan di tingkat tapak. Pernyataan narasumber di atas memperkuat argumen Sutton 1999 yang
menyatakan proses kebijakan dipengaruhi serangkaian kepentingan
stakeholder
yang mengontestasikan kekuatan dan kewenangan. Implikasinya mempengaruhi tahapan proses kebijakan, baik pengaturan agenda, identifikasi alternatif,
menentukan pilihan serta memilih alternatif kebijakan yang menguntungkan.
61 Berdasarkan Perda Pengelolaan HLSW terdapat pernyataan kebijakan yang
berhubungan dengan komitmen Pemkot bersama
stakeholder
dalam menjaga kelestarian HLSW secara berkelanjutan yang memberikan manfaat dan
berkeadilan. Komitmen ini secara eksplisit tertuang dalam butir konsideran berikut.
“
Bahwa untuk menjaga fungsi HLSW agar tetap lestari dibutuhkan upaya pengelolaan terpadu yang konsisten, terencana dan profesional yang
melibatkan semua pemangku kepentingan secara bertanggung jawab, terbuka dan demokratis, sehingga mampu memberikan manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan bagi masyarakat
” Perda No.11 Tahun 2004, konsideran diktum menimbang huruf f.
Artinya, sejak awal pengelolaan hutan membutuhkan komitmen yang kuat
collective action
pemangku kepentingan, dengan memperhatikan keseimbangan manfaat, baik ekonomi dan kelestarian lingkungan secara partisipatif. Oleh karena
itu, Pasal 17 mengatur partisipasi
multi stakeholders
yang memungkinkan pemangku kepentingan turut serta dalam aktivitas pengelolaan. Seperti partisipasi
civil society
lokal, tokoh masyarakat, pengusaha dan lain-lain.
b Efektivitas implementasi kebijakan daerah
Sejak tahun 2004, implementasi pengelolaan hutan lindung telah berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun. Prioritas pengelolaan hutan
lindung, antara lain untuk: a Menjamin keberadaan hutan; b Memaksimalkan fungsi kawasan; c Pemberdayaan masyarakat sekitar; serta d Menjamin
pemanfaatan yang berkeadilan, berkelanjutan dan lestari Pasal 3 dan Penjelasan Perda No.11 Tahun 2004, paragraf 6. Sehingga dalam konteks pengelolaan,
prioritas tujuan memiliki kedudukan yang setara antara satu tujuan dengan tujuan yang lain.
Kesetaraan prioritas dipengaruhi komitmen para pihak yang memiliki
going concern
berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana keberlanjutan hutan lindung sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitar. Mengingat realitasnya, terdapat kelompok masyarakat yang bergantung terhadap hutan lindung. Situasi ini merupakan implikasi keputusan politik
pemerintah saat itu. Situasi ini berbeda dengan pendapat Sikor
et al
. 2010 yang menyatakan terdapat kecenderungan kebijakan kehutanan adalah dengan
mengeluarkan masyarakat dari hutan. Pendapat tersebut diungkapkan sebagai berikut.
“
Political decision-making has excluded forest people from meaningful participation, even where governments are democratically elected. Forest
people have found themselves outside the cultural mainstream, seeing their group-specific identities devalued
” Sikor
et al
. 2010. Dalam pengimplementasian kebijakan, selalu timbul pertanyaan mengenai
seberapa efektif kebijakan dapat dijalankan di tingkat tapak. Apakah kebijakan berhasil dijalankan atau tidak dapat dijalankan? Apabila terjadi kegagalan, faktor
apa yang menyebabkan kegagalan tersebut? Pada intinya, menurut Sutton 1999 kegagalan implementasi kebijakan bisa terjadi karena kebijakan yang kurang
bagus atau implementasi yang buruk.