Penegakan kebijakan hutan Performa BP-HLSW DAS Manggar dalam mengelola hutan lindung

79 Sumber: UP HLSW DAS Manggar, posisi per November 2014 Gambar 22 Perbandingan lahan kelompok tani HKm berdasarkan luas persil lahan c Apakah terjadi konflik tenurial Konflik tenurial terjadi pada kedua kawasan hutan lindung. Pertama, konflik vertikal antara pemerintah pengelola terhadap masyarakat sekitar hutan masyarakat Wain Luar di HLSW, khususnya di km.20 –24. Konflik akibat perbedaan cara pandang melihat hutan. Masyarakat melihat hutan sebagai lahan sumber penghidupan. Namun, tidak sedikit masyarakat yang melihat hutan sebagai komoditas kayu praktik illegal logging makin marak pasca kebakaran tahun 19971998. Walaupun, saat ini intensitas aktivitas tersebut telah menurun drastis. Sedangkan pemerintah kota melihat HLSW sebagai kawasan lindung yang harus dipertahankan keberadaannya. Sebelum dikelola BP –HLSW, masyarakat Wain Luar dianggap sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hutan lindung. Ditinjau dari sejarah, tahun 1993 diusulkan enclave hutan lindung yang berjarak 500 meter dari jalan Samarinda-Balikpapan, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Wain Luar. Namun, pilihan ini tidak serta merta menghilangkan usaha masyarakat memasuki kawasan hutan lindung. Masyarakat tidak dianggap sebagai subyek pengelolaan yang harus diajak bersama mengelola hutan. Berbagai upaya civil society bersama pemerintah dilakukan untuk mengatasi dan mempertahankan kondisi hutan yang tersisa. Sebagai point of no return pernyataan bersama collective action Deklarasi Penyelematan Sungai Wain tahun 2001. Konflik vertikal di HLSW mulai mereda setelah terdapat pengakuan keberadaan masyarakat. Konflik tenurial HLSW bersifat dinamis. Meski demikian, kesepakatan bersama tidak menghilangkan aktivitas perambahan lahan, pencurian kayu atau perburuan satwa. Pengelolaan untuk menghambat eskalasi perusakan hutan akibat perambahan masyarakat. Konflik mereda saat masyarakat diberikan izin HKm dan peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan, bantuan saprodi dan bimbingan lainnya. Kedua, pada kawasan DAS Manggar terdapat konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atas klaim lahan tumpang tindih klaim lahan DAS Manggar dan konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Konflik DAS Manggar bersifat dinamis dan mengalami pasang surut. Gejolak ini menyebabkan pengelolaan dan aktivitas masyarakat menjadi tidak optimal. Salah pemicu gejolak adalah penetapan DAS Manggar sebagai hutan lindung dan perebutan klaim antar kelompok masyarakat. Menurut Berkes 1996 perubahan keragaman sistem lokal menjadi satu pola pengelolaan sumber daya di negara berkembang, dalam banyak kasus ternyata tidak mampu menghasilkan keberlanjutan manfaat. Merujuk pendapat Ostrom, Bromley dan Fenny et al ., Berkes 1996 menyimpulkan sumber daya CPRs dapat terjadi pada salah satu dari keempat rezim property rights . Rezim property rights dimaksud adalah state property dan private property . Memang dalam prakteknya, hutan memiliki kecenderungan terjadi tumpang tindih atau overlapping kombinasi property rights yang beragam. Persoalan tenurial di DAS Manggar beragam, dinamis dan kompleks. Menurut Berkes 1996 kegagalan klaim oleh negara akan menghasilkan perpecahan dan degradasi sumber daya. Nepal memberikan contoh yang nyata atas situasi tersebut. Berkes mencontohkan pada tahun 1957, pemerintah Nepal menasionalisasi hutan dengan mengkonversi hutan komunal menjadi hutan negara. Namun, nasionalisasi hutan tersebut akhirnya hanya menciptakan kawasan hutan yang secara de facto open access . Implikasi kebijakan tersebut akhirnya memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan eksploitasi di kawasan tersebut. Fenomena ini juga terjadi di DAS Manggar. Pada saat masyarakat berada dalam ketidakpastian atas lahan yang dimiliki, muncul pihak lain yang memanfaatkan ketidakpastian tenurial dengan menduduki sebagian lahan. Kejadian ini akibat ketidakpastian tenurial sebagai implikasi penetapan DAS Manggar sebagai hutan lindung. Kondisi ini dikategorikan sebagai konflik horizontal, yakni konflik antar kelompok masyarakat dalam memperebutkan penguasaan lahan yang dilandasi perbedaan motivasi dan kepentingan. Dalam pandangan Ostrom dan Schlager 1996 kepastian security penegakan property rights akan mampu menjamin para pihak untuk memperoleh komitmen manfaat yang kredibel dalam pengelolaan sumber daya CPRs secara berkesinambungan. Implikasinya diperlukan pemetaan secara komprehensif untuk mengidentifikasi klaim penguasaan oleh antar kelompok masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ostrom dan Schlager 1996 konflik yang muncul dalam sistem lokal, dapat diartikulasikan dalam beragam arena resolusi konflik. Resolusi konflik yang efektif adalah melalui penyelesaian kelompok masyarakat itu sendiri atau mekanisme informal dengan mengedepankan kearifan masyarakat. Dalam pandangan tersebut, solusi optimal akan diperoleh melalui tata cara yang melibatkan para pihak yang berkonflik dengan mengedepankan keseimbangan aliran manfaat yang dapat diperoleh. Misalnya, penyelesaian melalui “cara kekeluargaan” antara kedua belah pihak. Hal ini dapat dilakukan oleh masyarakat DAS Manggar dengan kelompok masyarakat yang menduduki lahan mereka. Cara lain yang dilakukan adalah kedua belah pihak melakukan perundingan untuk saling menjelaskan dasar klaim masing-masing pihak dan 81 ternyata hal tersebut merupakan cara paling efisien dibandingkan penyelesaian melalui mediasi menggunakan pihak lain. Implikasinya kedua belah pihak saling merasakan memperoleh benefit dan dapat berdampingan antara satu dengan yang lain. Namun, hal ini tidak dapat diberlakukan secara umum, hanya bersifat kasuistis. Konflik perambahan lahan oleh masyarakat Wain Luar diselesaikan dengan cara memberikan hak access dan withdrawal authorized user melalui IPK. Saling klaim lahan DAS Manggar, membuat situasi ketidakpastian meningkat. Kedua belah pihak belum menemukan alternatif strategi yang mampu mengoptimalkan tujuan bersama. Masyarakat mengharapkan kepastian status lahan mengingat dengan status hutan lindung, masyarakat tidak dapat mengajukan permohonan sertifikasi lahan, sebagai bukti legal kepemilikan lahan, tanpa perubahan kebijakan mengenai status hutan lindung. Konflik aliran manfaat hutan tidak dapat dihindarkan, namun dapat dikelola agar terjadi keseimbangan equity manfaat ekonomi dan kelestarian hutan lindung. Dengan karakteristik CPRs yang cenderung menjadi open access membuat risiko konflik meningkat. Penetapan hutan lindung DAS Manggar, berimplikasi masyarakat tidak memperoleh akses pembangunan seperti yang diperoleh oleh masyarakat Wain Dalam dan Wain Luar. Belum diperoleh kepastian penyelesaian konflik, namun tidak terjadi eskalasi konflik yang mencuat di permukaan. Sekali lagi merujuk pendapat Ostrom dan Schlager 1996 diperlukan kepastian tenurial untuk memperoleh keseimbangan manfaat dalam pengelolaan sumber daya berkarakteristik CPRs secara berkesinambungan. d Efektivitas mekanisme kompensasi pembatasan hak atas lahan Sebagaimana diuraikan sebelumnya, masyarakat sekitar HLSW, khususnya Wain Luar yang mayoritas menggantungkan hidup terhadap lahan memperoleh mekanisme kompensasi pembatasan hak. Sejak implementasi IPK yang berubah menjadi HKm, masyarakat merasakan manfaat kepastian berusaha di areal HKm. Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber sebagai berikut. “ Anggota kelompok tani merasa bahagia tenang, karena telah diakui keberadaannya melalui pemberian izin HKm. Memperoleh kepastian hukum akan pemanfataanperambahan lahan selama ini. Selain itu, karena status yang sudah mendapat legalitas maka dalam beraktivitas berusaha di kebun menjadi baik sehingga hasilnya bisa optimal. Petani dapat pembinaan dan bantuan ... Sekarang pihak terkait diperbolehkan masuk akses ke masyarakat HKm untuk pembinaan. Dahulu petani kejar-kejaran dengan aparat penegak hukum pada saat membuka lahan di dalam kawasan ” Js, Juli 2014. Maknanya, sebelum pemberian izin HKm, masyarakat berada dalam kondisi ketidakpastian. Sebenarnya arti izin HKm adalah pengakuan lahan yang dirambah masyarakat seluas 1.400 ha. Berbeda dengan IPK yang membatasi pemanfaatan seluas 2 ha per KK. Implikasinya dapat dilihat dari meningkatnya aktivitas mengolah lahan, seperti menanam karet, MPTs multi purpose trees , buah naga maupun palawija. Selain itu, masyarakat mendapat dukungan, seperti pengalokasian bibit karet tahun 2013. Kelompok tani HKm secara periodik memperoleh pelatihan untuk pengembangan komoditas pertanian baik yang dilakukan di HLSW maupun di luar daerah. Ditinjau dari penguatan kapasitas organisasi kelompok tani, petani HKm memperoleh pendampingan dari LSM KBCF untuk penyusunan RU dan RO pengelolaan kelompok tani HKm. Masyarakat DAS Manggar berharap dengan pembatasan akses lahan, masyarakat diberikan insentif untuk memperoleh hasil dari komoditas unggul. Serta, Pemerintah dapat memberikan kejelasan status mereka. Meskipun terdapat pembatasan akses bantuan dari pemerintah, masyarakat DAS Manggar mampu berusaha secara mandiri. Masyarakat sekitar DAS Manggar, apabila ditinjau dari sejarah, terbiasa dengan aktivitas swadaya local institutions . Nilai dimaksud terjaga sampai dengan saat ini. Masyarakat memiliki daya lenting untuk bertahan hidup dalam kondisi yang terbatas. Dalam perspektif masyarakat DAS Manggar, areal pertanian di dalam dan sekitar kawasan tidak terdapat perbedaan. Keseluruhannya terkena dampak kebijakan penetapan sebagai hutan lindung. c. Kesenjangan implementasi kebijakan daerah di tingkat tapak Penilaian kinerja forest governance PROFOR-FAO 2011 dan PROFOR 2012 mengungkapkan kesenjangan antara kebijakan dan implementasi tingkat tapak. Implikasi kesenjangan mempengaruhi pencapaian tujuan pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan equity pemanfaatan berkeadilan dan berkelanjutan hutan lindung Tabel 13. Pernyataan kesepahaman pengelolaan hutan sebagai point of no return , telah mengalami pergeseran komitmen stakeholder . Fenomena yang diungkapkan dapat merefleksikan situasi dimaksud. Tabel 13 Matriks kesenjangan gap implementasi kebijakan di tingkat tapak Produk kebijakan Komitmen kebijakan Kendala di lapangan 1. Perda No.112004: Pengelolaan HLSW - Menjamin keberadaan hutan lindung Ps.3 Ps.4 - Keberadaan hutan HLSW terjaga, tegakan bekas kebakaran telah beregenerasi kembali. Aktivitas pemanfaatan lahan terlokalisir di areal HKm - Keberadaan hutan DAS Manggar sulit untuk dikelola selama masyarakat tidak memperoleh kepastian tenure security yang mantap - Pengelolaan DAS Manggar perlu didukung kebijakan yang jelas dan sesuai tipologi masyarakat DAS Manggar - Peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar Ps.12 Ps.13 - Kapasitas masyarakat cukup meningkat. Masy Wain Dalam mampu hidup harmonis berdampingan dengan hutan - Kapasitas masyarakat Wain Luar perlu ditingkatkan melalui pembinaan terhadap arti pentingnya lingkungan yang baik - Akses masyarakat terhadap pembangunan terhenti sejak pengelolaan DAS Manggar - Mekanisme insentif perlu kepada masy. DAS Manggar - Pemanfaatan yang berkeadilan Ps.12 5 - Pembatasan pemanfaatan lahan maks 2 ha tidak berjalan optimal. Saat ini masyarakat tetap memanfaatkan lahan yang dikuasai melalui skema HKm - Masyarakat DAS Manggar belum memperoleh kepastian dan akses pembangunan yang berkeadilan 83 Lanjutan Tabel 13 Produk kebijakan Komitmen kebijakan Kendala di lapangan - Pengelolaan terpadu Ps.14, Ps.15, Ps.16, Ps.17 Ps.21 - Komitmen multi stakeholders dalam pengelolaan hutan mengalami kemunduran - Skema dukungan sumber daya ekonomi di luar APBD perlu digali dan ditingkatkan - Penguatan mekanisme check and balance dari eksternal pengelola - Peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengelolaan di tingkat tapak 2. Perda No.122002: RTRW Tahun 2012-2032 - Mempertahankan kawasan lindung pada HLSW DAS Manggar Ps.6 - Mayoritas areal di DAS Manggar dimanfaatkan untuk budidaya pertanian - Belum ada kejelasan status penguasaan lahan oleh masyarakat di DAS Manggar 3. SK Walikota No.132004: Penataan dan Pemanfaatan kawasan - Pembatasan kegiatan pemanfaatan terbatas Ps.2 3 - Blok pemanfaatan A areal HKm seluas 1.400 ha. Melebihi 300 ha dari penetapan blok pemanfaatan A yang hanya seluas 1.100 ha 4. SK Walikota No.142004: Pembentukan BP-HLSW - Pembuat kebijakan internal dan teknis serta wadah koordinasi antar instansi Ps.3 Ps.4 - BP-HLSW DAS Manggar yang keanggotaannya bersifat multi stakeholders seolah-olah vakum. Perlu revitalisasi struktur agar fungsi berjalan secara optimal - Beban pengelolaan terpusat di unit-unit pengelola di tingkat tapak - Komitmen pembiayaan fluktuatif menandakan dukungan pemerintah kota mulai menurun - Perlu penguatan dan peningkatan status kelembagaan badan pengelola guna menyikapi tantangan pengelolaan di masa mendatang, diantaranya persoalan administrasi keuangan dan perubahan kewenangan pemerintah daerah - Kapasitas pelaksana kebijakan di tingkat tapak perlu dijaga dan ditingkatkan. Perlu ditambah personil berdasarkan pertimbangan profesional 5. SK Walikota No.152004: Pedoman Izin Kegiatan di Kawasan Hutan - Pengaturan izin pemanfaatan dalam kawasan Ps.10, Ps.11, Ps.20 Ps.22 - Implementasi IPK yang membatasi maksimal lahan 2 ha tidak berjalan optimal. Mayoritas memanfaatkan lahan tanpa dilengkapi perizinan IPK - Perlu penyederhanaan mekanisme perizinan dan update NSPK terbaru serta peningkatan kapasitas pemegang izin Sumber: Data dan informasi yang diolah dari review dokumen, hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014 Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan implementasi kebijakan kehutanan menghadapi tantangan serius, tidak hanya level pengelola tingkat tapak, namun termasuk tingkat pengambil kebijakan. Berhubungan bagaimana tingkat keseriusan dan kemauan mengorbankan sumber daya baik ekonomi, waktu, pikiran serta komitmen stakeholder, dalam mempertahankan konteks kebijakan agar sejalan dengan tujuan. Tantangan tersebut berada dalam arus perubahan sosial ekonomi, dinamika politik daerah, tuntutan subyek terdampak kebijakan di tingkat tapak serta perubahan regulasi tingkat pusat. Oleh karena itu, menjaga kesinambungan tujuan pengelolaan hutan berkarakteristik CPRs perlu penyesuaian strategi pengelolaan, bahkan dimungkinkan merubah kebijakan yang kurang sesuai dengan dinamika terkini. Formulasi Opsi Strategi Kebijakan Tenurial a. Persoalan tenurial dalam pengelolaan hutan lindung Pengelolaan berbasis sumber daya alam memerlukan kepastian tenurial tenure security yang mantap. Mengingat dalam realitasnya, merujuk kajian Ellsworth 2002 hutan telah menjadi obyek ganda atau telah terjadi overlapping pengakuan atau penguasaan sumber daya hutan, baik oleh pemerintah, perorangan maupun antar kelompok masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ellsworth pada negara yang mengklaim hutan sebagai barang publik milik negara, sering mengabaikan ignorance klaim masyarakat lokal terhadap aliran manfaat hutan. Dampak situasi yang kompleks, membuat kehidupan masyarakat sekitar hutan tidak memiliki keamanan tenurial tenure security yang mantap. Implikasinya timbul masalah keadilan sosial, salah satunya adalah saling klaim terhadap aliran manfaat hutan. Oleh karenanya kepastian dan kejelasan penguasaan maupun pemilikan lahan diharapkan mampu meminimalisir risiko pengelolaan, baik bagi pengelola maupun masyarakat terdampak kebijakan. Tenure security yang mantap Robinson et al . 2013 membuat pemegang atau penguasa lahan hutan dapat merencanakan pengambilan keputusan atas aliran manfaat di masa mendatang secara matang. Walaupun tidak ada yang bisa menjamin assurance bentuk tenurial yang terbebas dari ketidakpastian. Kedua kondisi tutupan lahan dapat merepresentasikan perbedaan arena tenurial Gambar 7; Gambar 8; dan Gambar 23. Perbedaan dimaksud harus dihadapi dan dikelola dengan baik, dengan memperhatikan dan meminimalisir potensi risiko yang melekat pada aliran manfaat hutan. Apabila ditinjau dari sudut pandang teori hak kepemilikan property rights , hak kepemilikan atau penguasaan masyarakat dapat dilihat dari bundle of powers Ostrom dan Schlager 1996 pelaku kepemilikan Tabel 3. Dalam konteks kajian ini property rights dilihat sebagai lahan yang berada di kawasan hutan, baik yang dikuasai sebelum atau sesudah penetapan hutan lindung. Persoalan tenurial tidak selalu berkaitan dengan bentuk bundle of rights semata, namun berkaitan dengan akses aliran manfaat hutan. Berkaitan dengan kemampuan masyarakat mengekstraksi aliran manfaat. Dikenal sebagai teori akses theory of access oleh Ribot dan Peluso 2003. Teori akses lebih berfokus kepada kemampuan ability dan kekuatan range of powers dibandingkan dengan hak kepemilikan property rights melalui bundle of rights . Fenomena di tingkat tapak mengungkapkan bentuk penguasaan lahan baik HLSW maupun DAS Manggar merupakan adaptasi kedua teori dimaksud. Masyarakat di sekitar hutan dikatakan memasuki kawasan hutan lindung namun melalui kemampuan dan kekuatannya, pengelola proprietor yang memiliki hak access , withdrawal , mangement dan exclusion tidak mampu untuk menegakkan 85 haknya, termasuk negara sebagai owner hutan. Dengan demikian menggabungkan kedua teori ini, penting artinya dalam menjelaskan fenomena di tingkat tapak. Pada prinsipnya, tujuan utama pengelolaan adalah membuat keseimbangan equity akomodasi pemanfaatan ruang masyarakat dan keberlanjutan hutan lindung. Hal tersebut dapat dicapai setelah memenuhi prasyarat tertentu. Pertama, kejelasan status penguasaan lahan. Situasi ini mempengaruhi siapa yang berhak memperoleh aliran manfaat. Menurut Resosudarmo et al . 2014 overlapping kepemilikan dalam sengketa kepemilikan lahan, menyiratkan klaim negara tidak selamanya memperoleh legitimasi masyarakat tenure insecure . Bahkan melalui penguasaan formal maupun informal, dapat membuat tenurial yang mantap sehingga berimplikasi kepada kemampuan menegakkan hak penguasaan terhadap klaim pihak lain Clover dan Eriksen 2009. Kedua, memberikan ruang yang cukup bagi pihak terdampak kebijakan terlibat dalam pengambilan keputusan, manajemen pengelolaan bahkan evaluasi pengelolaan. Mekanisme ini penting ketika pihak yang terdampak memiliki dan berkomitmen atas tujuan yang sama atau hampir sama dalam mencapai sebagian kepentingannya. Walaupun menurut kajian Nurrochmat 2004 di Provinsi Jambi, pelibatan masyarakat lokal tidak selamanya mampu menjaga keberlangsungan hutan. Dampak perbedaan preferensi anggota masyarakat dalam melihat aliran manfaat hutan. Bertolak dari kajian tersebut, seharusnya menjadi tantangan yang menarik bagi pengelola dan pengambil kebijakan guna mengidentifikasi kemungkinan perbedaan preferensi kepentingan ekonomi, sosial, perilaku oportunis, kesadaran lingkungan dll masyarakat terdampak kebijakan. Menjadi bagian pengendalian risiko bawaan inherent risks arena tenurial hutan berkarakteristik CPRs. Sehingga, apabila dimiliki negara state property maka negara wajib mempertahankan dan mengatur siapa yang boleh memanfaatkan atau memperoleh aliran manfaat hak management dan exclusion . Melalui pengaturan pemberian izin pemanfaatan areal tertentu atau mengeluarkan kelompok masyarakat yang berusaha mengekstraksi aliran manfaat secara ilegal. Terlebih dahulu memperhatikan kesejarahan sistem penguasaan lahan sebelumnya. Tanpa memperhatikan sistem hak kepemilikian sebelumnya, mustahil tujuan pengelolaan dapat dicapai. Peluso 2006 dan Ostrom dan Schlager 1996 mengungkapkan penguasaan lahan dan akses akan rawan ketika negara mengambil alih kawasan yang luas. Dalam banyak kasus, negara mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan sebelumnya serta menetapkan relasional baru. Sebaliknya, apabila lahan dalam penguasaan atau kepemilikian pribadi private property dan komunal common property , maka hak pribadi dan komunal yang dilekatkan pada hutan wajib diberikan dan ditegakkan oleh negara. Oleh karenanya pemerintah wajib untuk menegakkan bundle of rights Ostrom dan Schlager 1996. Kedua situasi diatas merupakan kondisi ideal rezim property rights . Gambar 23 Karakteristik arena tenurial di HLSW dan DAS Manggar Situasi berbeda terjadi pada hutan berkarakteristik CPRs. Menurut Ostrom dan Schlager 1996 sumber daya ini memiliki dua ciri utama, yakni pertama memerlukan pengorbanan sumber daya ekonomi untuk membangun kelembagaan dalam memperoleh aliran manfaat public goods dan kedua penggunan unit sumber daya mengakibatkan pihak lain tidak dapat memperolehnya private goods . Unit sumber daya adalah lahan di dalam hutan lindung. Menurut jenis tipe barang oleh Vincent Ostrom dan Elinor Ostrom 1977 dalam Ostrom 2005, CPRs merupakan perpaduan dua ciri utama barang, yakni memiliki tingkat kesulitan excludability dan substactibility tinggi. Kedua karakteristik tersebut terjadi pada kedua hutan lindung, baik HLSW maupun DAS Manggar. Kedua kawasan hutan lindung secara de jure ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara berfungsi lindung. Menurut rezim property rights, hutan negara disebut state property . Namun fakta de facto telah dikuasai individu atau kelompok masyarakat, dengan karakteristik penguasaan tenurial yang berbeda Tabel 14. Menurut Ostrom dan Schlager 1996, idealnya bundle of rights yang relevan pada level operasional tingkat tapak adalah access dan withdrawal . Namun, hasil penelitian menunjukkan fakta berbeda. Masyarakat Wain Luar dan DAS Manggar memiliki dan mengimplementasikan hak aleination , baik secara formal legal maupun informal ilegal. Lebih lanjut, Bassey 2003 berpendapat hutan dalam konteks atau lingkup daerah merupakan obyek property rights bersifat open access . Sehingga, situasi tenurial kedua kawasan hutan akan berimplikasi langsung terhadap strategi pencapaian tujuan. Sebagai contoh, dapat dilihat dari tren perubahan tutupan lahan DAS Manggar yang didominasi semak belukar berubah menjadi pertanian bercampur Gambar 8 dan 10. Kondisi berbeda terjadi di HLSW. Berdasarkan tren perubahan tutupan lahan, HLSW didominasi tutupan lahan hutan sekunder dan primer. Meskipun terdapat jenis tutupan lahan pertanian bercampur di areal HKm seluas 1.400 ha Gambar 7 dan 10. Situasi ini memperkuat argumen, pendekatan strategi berbeda diperlukan guna menyiasati masalah tenurial dalam kerangka pencapaian tujuan pengelolaan hutan lindung. Menurut Nurrochmat 2012 yang lebih penting adalah mengakomodasi “keterlanjuran” masyarakat yang telah membuka ladang atau kebun di hutan Pemkot Masya- rakat Masya- rakat A Masya- rakat B Pemkot HLSW DAS Manggar 87 lindung sebagai bagian kegiatan pemanfaatan hutan lindung. Hal ini tidak perlu dianggap rumit karena pada dasarnya bukan sesuatu yang baru dalam praktik kehutanan. Bertolak dari pandangan tersebut, akomodasi masyarakat bukan hal mustahil untuk diterapkan. Mengingat lahan yang dimiliki atau diklaim berfungsi ganda sebagai bagian perlindungan sistem air baku dan sumber penghidupan masyarakat. Masyarakat setempat harus dipahami dan dimaknai sebagai subyek bukan hanya sekedar obyek pengelolaan. Masyarakat HLSW dan DAS Manggar wajib dilibatkan secara aktif, ditingkatkan kapasitasnya serta diperhatikan masukannya guna mencapai tujuan pengelolaan bersama masyarakat. Tabel 14 Karakteristik tenurial dan masyarakat di lokasi penelitian Lokasi Karakteristik arena tenurial Bundle of powers Karakteristik masyarakat setempat 1. HLSW - De jure : state property - De facto : state property dan private property di areal HKm - Access - Withdrawal - Management - Aneination informal - Masyarakat km.20-24 Wain Luar mayoritas petani yang bergantung terhadap lahan baik di dalam maupun luar kawasan HLSW. - Perolehan lahan dengan merambah lahan atau jual beli secara informal - Terdiri masyarakat yang berdomisili di sekitar HLSW dan pendatang - Masyarakat km.15 Wain Dalam tidak menggantungkan hidup terhadap lahan di kawasan HLSW 2. DAS Manggar - De jure: state property - De facto: private property dan state property di lokasi yang dibebaskan pemkot - Access - Withdrawal - Management - Exclusion - Aneination formal dan informal - Masyarakat DAS Manggar mayoritas petani yang mengolah lahan, baik di dalam dan luar kawasan HLSW eks transmigran swakarsa tahun 1965 - Terdiri masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan dan pendatang - Mayoritas mengklaim memiliki tanda penguasaan, pemilikan lahan sertifikat, segel dan bukti pembayaran PBB, baik secara formal dan informal Sumber: data dan informasi yang diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014 Nurrochmat 2012 mengingatkan masalah tenurial akan ada sepanjang hidup, selama manusia tergantung terhadap lahan. Clover dan Eriksen 2009 juga memperingatkan tanpa keadilan dan kesetaraan, kejelasan dan kepastian hak penggunaan hutan tidak akan efektf dalam menjamin keberlanjutan lingkungan Tabel 15. Mengingat faktanya tidak ada lahan yang tidak bertuan, khususnya DAS Manggar. Terhadap pemilik lahan yang menguasai atau mengklaim lahan, apabila memenuhi kriteria tertentu dapat diberikan insentif. Sebagai bentuk kompensasi penyederhanaan dan kejelasan tenurial masyarakat. Tenurial lahan tidak bersifat statis, dinamis sesuai dengan konteksnya. Kejelasan tenurial bermanfaat bagi pengelolaan oleh pelaksana di tingkat tapak. Apabila ditinjau dari pengaturan ruang daerah, Pasal 39 huruf d angka 4, Perda No.12 Tahun 2012 tentang RTRW, pada prinsipnya rencana perwujudan pengembangan kawasan hutan lindung adalah mencegah alih fungsi lahan dari fungsi lindung menjadi budidaya. Artinya menekankan pada keberlanjutan fungsi lahan sebagai fungsi lindung. Selama alokasi formasi hak tenurial yang diberikan masih mempertahankan fungsi kawasan lindung, maka alternatif pemberian hak dasar bundle of rights penguasaan lahan secara terkendali sangat mungkin diimplementasikan. Argumen ini merujuk pendapat Resosudarmo et al . 2014 yang menyatakan dibalik ketidakpastian tenurial tenure insecurity terdapat pilihan mengurangi persoalan melalui fasilitasi pemahaman masyarakat terhadap sistem hukum, mendukung mekanisme resolusi serta menyederhanakan dan memperjelas instrumen kepemilikian tenurial. Senada pendapat Resosudarmo di atas, kajian Agrawal dan Ostrom 2001 di India dan Nepal memberikan pelajaran penting tentang skema desentralisasi kehutanan. Pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat setempat secara aktif dalam pengelolaan, baik pengambilan keputusan pemanfaatan aliran manfaat serta pengaturan eksklusi aliran manfaat hutan. Pada saat bersamaan, Pemerintah wajib mengimplementasikan pengelolaan efektif serta menegakkan kepastian tenurial lahan. Maknanya, Pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada subyek masyarakat terdampak kebijakan, turut serta dalam pengelolaan dan memberikan kepastian lahan. Pengelola sebagai wakil Pemerintah harus bertindak secara hati- hati dengan memperhatikan karakteristik tipologi tenurial masing masyarakat sekitar dan hutan yang dinamis. Oleh karena itu kepastian tenure security atas ketidakpastian sistem penguasaan tenurial yang terkendali, mampu mengurangi pengaruh negatif terhadap keseimbangan sistem perlindungan hutan dalam memberikan keadilan sosial masyarakat sesuai konteks ruang, waktu dan pelaku. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala BPN masing-masing melalui Nomor 70Tahun 2014; PB.3Menhut-II2014; 17PRTM2014; dan 8SKBX2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan, memberikan peluang alokasi lahan bagi masyarakat yang telah ada sebelum dan sesudah penetapan kawasan hutan. Namun, khusus bagi masyarakat yang telah ada sebelum penetapan kawasan hutan, arah kebijakannya cenderung mengeluarkan areal yang dikuasai masyarakat dari kawasan hutan. Melalui penegasan dan pengakuan hak masyarakat, sehingga fungsi kawasan akan berubah. Peraturan bersama berimplikasi terhadap keberadaan hutan lindung, seperti HLSW DAS Manggar. Kedua kawasan hutan lindung dimaksud tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup masyarakat Balikpapan. Mengingat fungsi dan lokasi strategis HLSW DAS Manggar sebagai penyuplai air baku masyarakat. Kebijakan tersebut kurang cocok diimplementasikan di DAS Manggar. Seharusnya, kebijakan ini tidak hanya semata-mata mengakomodir hak- hak masyarakat melalui pemberian hak atas tanah. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana kolaborasi pengelolaan kawasan hutan lindung dengan memperhatikan keberlanjutan fungsi kawasan yang mampu memberikan keadilan bagi masyarakat sekitar hutan. 89 Tabel 15 Makna kepastian tenure security para pihak dalam pengelolaan hutan lindung Para pihak Makna kepastian tenure security Kendala yang membatasi 1. Pemerintah Kota Badan PengelolaUP HLSW DAS Manggar - Pencapaian tujuan pengelolaan yang bermanfaat dan berkeadilan sosial - Komitmen dan konsistensi stakeholder dalam pengelolaan hutan lindung - Kapasitas pengelola untuk mewujudkan tujuan pengelolaann yang berkeadilan 2. Masyarakat Wain Dalam - Akses pembangunan pendidikan, kesehatan, akses kepada pasar dalam pemasaran komoditas, ketersediaan air baku, dan penyediaan fasilitas umum - Konsistensi Pemerintah dan stakeholder dalam mempertahankan kelestarian lingkungan di masa mendatang 3. Masyarakat Wain Luar - Akses dan kepastian ekstraksi aliran manfaat lahan areal HKm - Kapasitas dan pengetahuan kelompok tani HKm terhadap keseimbangan manfaat ekonomi dan kelestarian lingkungan yang baik 4. Masyarakat DAS Manggar - Pengakuan kepemilikian atau penguasaan lahan DAS Manggar dapat memberikan kepastian masyarakat dalam mengelola lahan - Perbedaaan kepentingan dan sudut pandang pemerintah dan masyarakat atas aliran manfaat hutan - Pemerintah belum menegakkan hak dasar masyarakat terhadap klaim kepemilikan atau penguasaan lahan di kawasan DAS Manggar Sumber: data dan informasi diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014

b. Kendala kelembagaan pengelolaan HLSW DAS Manggar

Kehadiran manajemen pengelolaan hutan Andersson 2013 adalah untuk mengurangi potensi risiko dan mengantisipasi ketidakpastian karakteristik hutan yang kompleks. Berpijak pada kerangka pencapaian tujuan kelestarian hutan lindung, Kartodihardjo 2013 berpendapat karakteristik hutan yang memiliki berbagai manfaat tangible dan intangible harus berimplikasi terhadap perlakuan hak dan kewajiban pada arena yang melampaui batas fisik hutan. Artinya kelembagaan pengelolaan harus memiliki ruang gerak yang mempertimbangkan kondisi karakteristik dan peran masyarakat, selain kapasitas personil pengelola. Dengan demikian, persoalan lain implementasi kebijakan adalah bagaimana kelembagaan mampu melembaga untuk mengurangi potensi risiko di masa mendatang. Implikasinya, pengelola harus melakukan evaluasi dan inovasi guna memperoleh strategi yang optimal. Hal tersebut baru tercapai apabila pengelola memiliki kecukupan pengetahuan dan kapasitas serta mampu mendeskripsikan persoalan serta mencari solusi masalah yang tepat. Persoalan pengelolaan hutan menurut Kartodihardjo 2013 membutuhkan peranan kelembagaan yang memungkinkan penggunaan aturan, baik formal dan informal. Dengan memperhatikan prasyarat keseimbangan keberadaan dan fungsi mampu terpelihara dengan baik. Harus diakui dalam realitasnya, aturan informal belum tersentuh sama sekali. Bahkan seolah-olah ada asumsi pendekatan hukum merupakan satu-satunya kekuatan paling efektif dalam mengontrol perilaku masyarakat. Namun asumsi ini tidak pernah terbukti di lapangan. Dengan demikian, arti penting kelembagaan yang melembaga menjadi tolok ukur dalam memastikan keberhasilan pencapaian tujuan pengelolaan hutan lindung. Dalam situasi hutan yang terbatas, menurut Tomich et al . 2004 kunci utama keberhasilan konservasi terletak pada kemampuan membatasi kawasan yang dilindungi melalui kombinasi mekanisme insentif dan penegakan aturan yang disepakati. Ostrom 2013 berpendapat tanpa perhatian yang cukup untuk mempertahankan tata kelola yang kompleks, proses mengatur perilaku dalam melestarikan keragaman hayati akan menghasilkan konsekuensi tragis yang tidak diharapkan. Sekali lagi, hal ini membutuhkan kapasitas mengelola konflik tenurial, termasuk mekanisme pemberian kompensasi masyarakat sekitar hutan. Maknanya, dalam menjalankan pilihan kebijakan pengelolaan hutan diperlukan kapasitas, pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni, termasuk komitmen dukungan politik pimpinan daerah dan pusat secara berkesinambungan. Tentunya dengan tetap memperhatikan berbagai faktor eksternal yang mungkin berada di luar kendali pengelola dan pengambil kebijakan, seperti dinamika sosial, ekonomi dan budaya termasuk dinamika politik nasional. Kajian tenurial mengungkapkan tiga persoalan kelembagaan pengelolaan HLSW dan DAS Manggar. Pertama, pergeseran komitmen dan dukungan pemangku kepentingan seiring berjalannya pengelolaan hutan lindung. Ditandai dengan berkurangnya dukungan dan atensi yang sebelumnya mendukung pengelolaan hutan lindung. Perubahan dipengaruhi dinamika politik, sosial, interest dan pergeseran motivasi stakeholder . Situasi ini perlu dibangkitkan kembali agar tujuan pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat dapat tercapai. Kedua, kapasitas pengelola belum mampu mengantisipasi tantangan dan hambatan pengelolaan yang dinamis. Saat ini, Badan Pengelola dalam kondisi kurang optimal atau mengalami “kevakuman” untuk mendorong optimasi kinerja unit pelaksana di tingkat tapak. Beban berat pengelolaan terletak di unit pelaksana. Sehingga memerlukan dukungan kuat dari Badan Pengelola, guna menjembatani persoalan di tingkat tapak. Situasi ini menurut Berkes 1996 membutuhkan kelembagaan tingkat tapak yang fleksibel dan dinamis sehingga peluang keberhasilan lebih besar. Dan ketiga, terkait peningkatan kapasitas dan peranan masyarakat. Masyarakat harus dilihat sebagai subyek yang wajib dilibatkan dalam pengelolaan serta ditingkatkan kapasitasnya. Bukan hanya obyek pengelolaan. Peran masyarakat menjadi penting karena sebagai subyek terdampak langsung kebijakan pengelolaan hutan lindung. Sekali lagi, perlu ditekankan peranan kelembagaan yang mampu menjaga keseimbangan equity kemanfaatan ekonomi bagi masyarakat dan keberlanjutan hutan lindung sebagai norma atau aturan yang disepakati bersama. Kesepahaman untuk mempengaruhi atau membatasi perilaku oportunistik. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan harus memperhatikan dan mengakomodir peran dan kepentingan masyarakat setempat. 91

c. Alternatif strategi kebijakan tenurial pengelolaan HLSW DAS

Manggar Merujuk pembahasan permasalahan tenurial lahan dan kelembagaan pengelolaan kedua kawasan hutan lindung dalam sub pokok bahasan a dan b sebelumnya, dapat disimpulkan alternatif strategi tenurial pengelolaan hutan lindung. Rangkuman permasalahan tenurial yang melatarbelakangi pilihan strategi tenurial disajikan pada Tabel 16. Alternatif tersebut merupakan kompromi penyeimbangan pemenuhan kepastian penguasaan atau kepemilikan lahan dan usaha mempertahankan keberlanjutan fungsi hutan lindung. Tabel 16 Rangkuman karakteristik tenurial di lokasi penelitian Pokok masalah tenurial Kawasan HLSW Kawasan DAS Manggar 1. Penetapan kawasan sebagai hutan lindung - Penetapan kawasan lindung sejak tahun 1937, terakhir tahun 1995 lihat Gambar 4 - SK Menhut No.416Kpts- II1995 - Penetapan kawasan lindung tahun 1996 - SK Menhut No.267Kpts- II1996 2. Dasar pengelolaan - Perda No.11 Tahun 2004 - SK No.188.45-2452007 merujuk Perda No.11 Tahun 2004 3. Karakteristik masyarakat - Terbagi dua tipologi: Wain Dalam mampu berdampingan harmonis dengan hutan lindung, sedang Wain Luar tergantung dengan lahan hutan lindung - Mayoritas masyarakat DAS Manggar menguasai lahan sebelum penetapan hutan lindung. Merupakan petani ladang dan kebun 4. Karakteristik biofisik - Hutan sekunder 51.38; hutan primer 23.76 dan pertanian bercampur 22.56 - Pertanian bercampur semak 55.66 dan semak belukar 37.84 5. Konteks tenurial penguasaan lahan masyarakat - Masyarakat petani perambah lahan Wain Luar - Menggunakan lahan sebagai tempat bercocok tanam - Mayoritas bukan perambah lahan - Menggunakan lahan sebagai tempat bercocok tanam 6. Makna tenure security bagi masyarakat - Kepastian mengekstraksi aliran manfaat lahan yang diklaim - Telah diakomodasi melalui enclave 1993, IPK 2006 dan HKm 2011 - Kepastian pengakuan lahan yang dimiliki atau dikuasai dari Pemerintah - Belum ada pengaturan yang jelas 7. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung - Cukup efektif dilaksanakan di HLSW - Pengelolaan dapat mengidentifikasi penguasaan lahan dan membatasi penggunaan pada zona pemanfaatan terbatas - Telah teridentifikasi persil penguasaan lahan oleh masyarakat Wain Luar R1, R2 R3 - Pengelolaan belum efektif di DAS Manggar. - Perlu pengaturan pengelolaan spesifik yang memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat - Pengelola belum mengidentifikasi secara detail penguasaan lahan dan perencanaan pengelolaan belum ditetapkan Lanjutan Tabel 16 Pokok masalah tenurial Kawasan HLSW Kawasan DAS Manggar 8. Konflik tenurial - Konflik vertikal masyarakat dan Pemerintah pengelola - Konflik vertikal masyarakat terhadap Pemerintah pengelola dan konflik horizontal antar kelompok masyarakat Sumber: data dan informasi yang diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014 Karakteristik tenurial hutan lindung yang dinamis, menurut Clover dan Eriksen 2009 disebabkan oleh kelembagaan pemerintahan yang lemah. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan dalam mengatasi perambahan dan masalah tenurial. Dampak penggunaan wacana normatif dan cara konteks sosial politik yang berinteraksi dengan faktor ekonomi dalam mempengaruhi isu terkait akses, distribusi dan tenure security lahan. Ostrom 2013 memperingatkan tanpa kelembagaan yang efektif dalam membatasi pihak yang bisa memanfaatkan aliran manfaat dan pengaturan manajemen, pada sumber daya CPRs bisa terjadi penggunaan berlebihan. Implikasinya diperlukan integrasi sistem tenurial yang mantap berdasarkan konteks kesejarahan, sosial, ekonomi dan perencanaan tata ruang. Berfungsi memperkuat keberlanjutan pengelolaan hutan lindung sebagai penyangga perlindungan kehidupan. Memperhatikan persoalan di atas serta merujuk kepada teori property rights Ostrom dan Schlager 1996 dan teori akses Ribot dan Peluso 2003 maka pada hutan lindung berkarakteristik CPRs memiliki risiko pengelolaan tinggi. Sehingga, alternatif mekanisme mengelola tenurial masyarakat sekitar hutan lindung adalah melalui pemberian hak dasar bundle of rights penguasaan lahan tersebut, tetapi dibatasi pemanfaatannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu secara terkendali. Sehingga tujuan pengelolaan yang menjaga keseimbangan kemanfaatan berkeadilan sosial dan keberlanjutan fungsi lindung dapat terpenuhi. Selanjutnya, kedua tujuan pengelolaan menjadi indikator penyusunan strategi tenurial. Indikator keberlanjutan fungsi lindung disebut dengan istilah “fungsi” kawasan hutan sebagai kawasan lindung. Sedangkan indikator kemanfaatan penguasaan lahan yang berkeadilan sosial disebut sebagai “status” penguasaan lahan tenurial para pihak, terkait bundle of rights yang dimilikinya. Tenure security yang mantap pada indikator “status” akan memberikan kepastian bagi penguasa atau pemilik lahan untuk mengoptimalkan potensi aliran manfaat lahan. Sedangkan keber lanjutan indikator “fungsi” mencerminkan arti penting kelestarian hutan sebagai kawasan lindung. Kedua indikator selanjutnya dikombinasikan dengan bagaimana kesejarahan arena tenurial masing-masing hutan lindung. Menurut Nurrochmat et al . 2014 rekonstruksi kebijakan tenurial kehutanan tidak boleh lagi secara kaku berpijak pada status kawasan hutan, namun yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi hutan. Sintesis persoalan tenurial kedua hutan lindung dengan memperhatikan arena tenurial lihat Gambar 23, karakteristik tenurial dan masyarakat sekitar hutan lihat Tabel 14 dan makna kepastian lihat Tabel 15 dirangkum dalam Tabel 16. Sintesis tersebut akhirnya menghasilkan matriks empat strategi tenurial hutan lindung Gambar 24.