Penegakan kebijakan hutan Performa BP-HLSW DAS Manggar dalam mengelola hutan lindung
                                                                                79
Sumber: UP HLSW  DAS Manggar, posisi per November 2014
Gambar 22  Perbandingan  lahan  kelompok  tani  HKm  berdasarkan  luas  persil lahan
c Apakah terjadi konflik tenurial
Konflik  tenurial  terjadi  pada  kedua  kawasan  hutan  lindung.  Pertama,
konflik  vertikal  antara pemerintah  pengelola terhadap masyarakat  sekitar hutan masyarakat  Wain  Luar  di  HLSW,  khususnya  di  km.20
–24.  Konflik  akibat perbedaan  cara  pandang  melihat  hutan.  Masyarakat  melihat  hutan  sebagai  lahan
sumber  penghidupan.  Namun,  tidak  sedikit  masyarakat  yang  melihat  hutan sebagai  komoditas  kayu  praktik
illegal  logging
makin  marak  pasca  kebakaran tahun  19971998.  Walaupun,  saat  ini  intensitas  aktivitas  tersebut  telah  menurun
drastis. Sedangkan pemerintah kota melihat HLSW sebagai kawasan lindung yang harus dipertahankan keberadaannya.
Sebelum  dikelola  BP –HLSW,  masyarakat  Wain  Luar  dianggap  sebagai
ancaman  terhadap  keberlangsungan  hutan  lindung.  Ditinjau  dari  sejarah,  tahun 1993  diusulkan  enclave  hutan  lindung  yang  berjarak  500  meter  dari  jalan
Samarinda-Balikpapan, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Wain Luar. Namun, pilihan ini tidak serta merta menghilangkan usaha masyarakat memasuki kawasan
hutan lindung. Masyarakat tidak dianggap sebagai subyek pengelolaan yang harus diajak bersama mengelola hutan.
Berbagai upaya
civil society
bersama pemerintah dilakukan untuk mengatasi dan  mempertahankan  kondisi  hutan  yang  tersisa.  Sebagai
point  of  no  return
pernyataan  bersama
collective  action
Deklarasi  Penyelematan  Sungai  Wain tahun 2001. Konflik vertikal di HLSW mulai mereda setelah terdapat pengakuan
keberadaan masyarakat. Konflik tenurial HLSW bersifat dinamis. Meski demikian, kesepakatan bersama tidak menghilangkan aktivitas perambahan lahan, pencurian
kayu  atau  perburuan  satwa.  Pengelolaan  untuk  menghambat  eskalasi  perusakan hutan  akibat  perambahan  masyarakat.  Konflik  mereda  saat  masyarakat  diberikan
izin  HKm  dan  peningkatan  kapasitas  masyarakat  melalui  pelatihan,  bantuan saprodi dan bimbingan lainnya.
Kedua,  pada  kawasan  DAS  Manggar  terdapat  konflik  vertikal  antara
masyarakat dengan pemerintah atas klaim lahan tumpang tindih klaim lahan DAS Manggar  dan  konflik  horizontal  antar  kelompok  masyarakat.  Konflik  DAS
Manggar bersifat dinamis dan mengalami pasang surut. Gejolak ini menyebabkan pengelolaan  dan  aktivitas  masyarakat  menjadi  tidak  optimal.  Salah  pemicu
gejolak  adalah  penetapan  DAS  Manggar  sebagai  hutan  lindung  dan  perebutan klaim antar kelompok masyarakat. Menurut Berkes 1996 perubahan keragaman
sistem  lokal  menjadi  satu  pola  pengelolaan  sumber  daya  di  negara  berkembang, dalam  banyak  kasus  ternyata  tidak  mampu  menghasilkan  keberlanjutan  manfaat.
Merujuk  pendapat  Ostrom,  Bromley  dan  Fenny
et  al
.,  Berkes  1996 menyimpulkan  sumber  daya  CPRs  dapat  terjadi  pada  salah  satu  dari  keempat
rezim
property rights
. Rezim
property rights
dimaksud adalah
state property
dan
private property
. Memang dalam prakteknya, hutan memiliki kecenderungan terjadi tumpang
tindih  atau
overlapping
kombinasi
property  rights
yang  beragam.  Persoalan tenurial  di  DAS  Manggar  beragam,  dinamis  dan  kompleks.  Menurut  Berkes
1996 kegagalan klaim oleh negara akan menghasilkan perpecahan dan degradasi sumber  daya.  Nepal  memberikan  contoh  yang  nyata  atas  situasi  tersebut.  Berkes
mencontohkan pada tahun 1957, pemerintah Nepal menasionalisasi hutan dengan mengkonversi  hutan  komunal  menjadi  hutan  negara.  Namun,  nasionalisasi  hutan
tersebut  akhirnya  hanya  menciptakan  kawasan  hutan  yang  secara
de  facto  open access
. Implikasi kebijakan tersebut akhirnya memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan eksploitasi di kawasan tersebut.
Fenomena  ini  juga  terjadi  di  DAS  Manggar.  Pada  saat  masyarakat  berada dalam  ketidakpastian  atas  lahan  yang  dimiliki,  muncul  pihak  lain  yang
memanfaatkan  ketidakpastian  tenurial  dengan  menduduki  sebagian  lahan. Kejadian  ini  akibat  ketidakpastian  tenurial  sebagai  implikasi  penetapan  DAS
Manggar  sebagai  hutan  lindung.  Kondisi  ini  dikategorikan  sebagai  konflik horizontal,  yakni  konflik  antar  kelompok  masyarakat  dalam  memperebutkan
penguasaan lahan yang dilandasi perbedaan motivasi dan kepentingan.
Dalam  pandangan  Ostrom  dan  Schlager  1996  kepastian
security
penegakan
property rights
akan mampu menjamin para pihak untuk memperoleh komitmen manfaat  yang kredibel  dalam pengelolaan sumber daya CPRs  secara
berkesinambungan. Implikasinya diperlukan pemetaan secara komprehensif untuk mengidentifikasi klaim penguasaan oleh antar kelompok masyarakat. Lebih lanjut
dijelaskan  oleh  Ostrom  dan  Schlager  1996  konflik  yang  muncul  dalam  sistem lokal, dapat diartikulasikan dalam beragam arena resolusi konflik.
Resolusi  konflik  yang  efektif  adalah  melalui  penyelesaian  kelompok masyarakat itu sendiri atau mekanisme informal dengan mengedepankan kearifan
masyarakat. Dalam pandangan tersebut, solusi optimal akan diperoleh melalui tata cara  yang  melibatkan  para  pihak  yang  berkonflik  dengan  mengedepankan
keseimbangan  aliran  manfaat  yang  dapat  diperoleh.  Misalnya,  penyelesaian
melalui  “cara  kekeluargaan”  antara  kedua  belah  pihak.  Hal  ini  dapat  dilakukan oleh  masyarakat  DAS  Manggar  dengan  kelompok  masyarakat  yang  menduduki
lahan  mereka.  Cara  lain  yang  dilakukan  adalah  kedua  belah  pihak  melakukan perundingan  untuk  saling  menjelaskan  dasar  klaim  masing-masing  pihak  dan
81 ternyata  hal  tersebut  merupakan  cara  paling  efisien  dibandingkan  penyelesaian
melalui mediasi menggunakan pihak lain. Implikasinya kedua belah pihak saling merasakan memperoleh
benefit
dan dapat berdampingan antara satu dengan yang lain.  Namun,  hal  ini  tidak  dapat  diberlakukan  secara  umum,  hanya  bersifat
kasuistis. Konflik perambahan lahan oleh masyarakat Wain Luar diselesaikan dengan
cara  memberikan  hak
access
dan
withdrawal authorized  user
melalui  IPK. Saling  klaim  lahan  DAS  Manggar,  membuat  situasi  ketidakpastian  meningkat.
Kedua  belah  pihak  belum  menemukan  alternatif  strategi  yang  mampu mengoptimalkan  tujuan  bersama.  Masyarakat  mengharapkan  kepastian  status
lahan mengingat dengan status hutan lindung, masyarakat tidak dapat mengajukan permohonan  sertifikasi  lahan,  sebagai  bukti  legal  kepemilikan  lahan,  tanpa
perubahan kebijakan mengenai status hutan lindung.
Konflik aliran manfaat hutan tidak dapat dihindarkan, namun dapat dikelola agar  terjadi  keseimbangan
equity
manfaat  ekonomi  dan  kelestarian  hutan lindung.  Dengan  karakteristik  CPRs  yang  cenderung  menjadi
open  access
membuat  risiko  konflik  meningkat.  Penetapan  hutan  lindung  DAS  Manggar, berimplikasi  masyarakat  tidak  memperoleh  akses  pembangunan  seperti  yang
diperoleh  oleh  masyarakat  Wain  Dalam  dan  Wain  Luar.  Belum  diperoleh kepastian penyelesaian konflik, namun tidak terjadi eskalasi konflik yang mencuat
di  permukaan.  Sekali  lagi  merujuk  pendapat  Ostrom  dan  Schlager  1996 diperlukan  kepastian  tenurial  untuk  memperoleh  keseimbangan  manfaat  dalam
pengelolaan sumber daya berkarakteristik CPRs secara berkesinambungan. d
Efektivitas mekanisme kompensasi pembatasan hak atas lahan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, masyarakat  sekitar HLSW, khususnya Wain  Luar  yang  mayoritas  menggantungkan  hidup  terhadap  lahan  memperoleh
mekanisme  kompensasi  pembatasan  hak.  Sejak  implementasi  IPK  yang  berubah menjadi HKm, masyarakat merasakan manfaat kepastian berusaha di areal HKm.
Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber sebagai berikut.
“
Anggota  kelompok  tani  merasa  bahagia  tenang,  karena  telah  diakui keberadaannya melalui pemberian izin HKm. Memperoleh kepastian hukum
akan  pemanfataanperambahan  lahan  selama  ini.  Selain  itu,  karena  status yang sudah mendapat legalitas maka dalam beraktivitas berusaha di kebun
menjadi baik sehingga  hasilnya bisa  optimal. Petani  dapat  pembinaan dan bantuan  ...  Sekarang  pihak  terkait  diperbolehkan  masuk  akses  ke
masyarakat  HKm  untuk  pembinaan.  Dahulu  petani  kejar-kejaran  dengan aparat  penegak  hukum  pada  saat  membuka  lahan  di  dalam  kawasan
” Js, Juli 2014.
Maknanya, sebelum pemberian izin HKm, masyarakat berada dalam kondisi ketidakpastian. Sebenarnya arti izin HKm adalah pengakuan lahan yang dirambah
masyarakat  seluas  1.400  ha.  Berbeda  dengan  IPK  yang  membatasi  pemanfaatan seluas  2  ha  per  KK.  Implikasinya  dapat  dilihat  dari  meningkatnya  aktivitas
mengolah  lahan,  seperti  menanam  karet,  MPTs
multi  purpose  trees
,  buah  naga maupun  palawija.  Selain  itu,  masyarakat  mendapat  dukungan,  seperti
pengalokasian  bibit  karet  tahun  2013.  Kelompok  tani  HKm  secara  periodik memperoleh  pelatihan  untuk  pengembangan  komoditas  pertanian  baik  yang
dilakukan  di  HLSW  maupun  di  luar  daerah.  Ditinjau  dari  penguatan  kapasitas organisasi  kelompok  tani,  petani  HKm  memperoleh  pendampingan  dari  LSM
KBCF untuk penyusunan RU dan RO pengelolaan kelompok tani HKm.
Masyarakat  DAS  Manggar  berharap  dengan  pembatasan  akses  lahan, masyarakat  diberikan  insentif  untuk  memperoleh  hasil  dari  komoditas  unggul.
Serta, Pemerintah dapat memberikan kejelasan status mereka. Meskipun terdapat pembatasan  akses  bantuan  dari  pemerintah,  masyarakat  DAS  Manggar  mampu
berusaha secara mandiri. Masyarakat sekitar DAS Manggar, apabila ditinjau dari sejarah,  terbiasa  dengan  aktivitas  swadaya
local  institutions
.  Nilai  dimaksud terjaga sampai dengan saat ini. Masyarakat memiliki daya lenting untuk bertahan
hidup  dalam kondisi  yang terbatas.  Dalam perspektif masyarakat  DAS Manggar, areal  pertanian  di  dalam  dan  sekitar  kawasan  tidak  terdapat  perbedaan.
Keseluruhannya terkena dampak kebijakan penetapan sebagai hutan lindung. c.
Kesenjangan implementasi kebijakan daerah di tingkat tapak
Penilaian  kinerja
forest  governance
PROFOR-FAO  2011  dan  PROFOR 2012  mengungkapkan  kesenjangan  antara  kebijakan  dan  implementasi  tingkat
tapak. Implikasi kesenjangan mempengaruhi pencapaian tujuan pengelolaan yang memperhatikan
keseimbangan
equity
pemanfaatan berkeadilan
dan berkelanjutan  hutan  lindung  Tabel  13.  Pernyataan  kesepahaman  pengelolaan
hutan  sebagai
point  of  no  return
,  telah  mengalami  pergeseran  komitmen
stakeholder
. Fenomena yang diungkapkan dapat merefleksikan situasi dimaksud. Tabel 13   Matriks kesenjangan
gap
implementasi kebijakan di tingkat tapak
Produk kebijakan  Komitmen kebijakan  Kendala di lapangan
1. Perda
No.112004: Pengelolaan
HLSW -
Menjamin keberadaan hutan
lindung Ps.3  Ps.4
- Keberadaan  hutan  HLSW  terjaga,  tegakan  bekas
kebakaran  telah  beregenerasi  kembali.  Aktivitas pemanfaatan lahan terlokalisir di areal HKm
- Keberadaan  hutan  DAS  Manggar  sulit  untuk
dikelola  selama  masyarakat  tidak  memperoleh kepastian tenure security yang mantap
- Pengelolaan  DAS  Manggar  perlu  didukung
kebijakan yang jelas dan sesuai tipologi masyarakat DAS Manggar
- Peningkatan
pemberdayaan masyarakat
sekitar Ps.12  Ps.13
- Kapasitas  masyarakat  cukup  meningkat.  Masy
Wain Dalam mampu hidup harmonis berdampingan dengan hutan
- Kapasitas masyarakat Wain Luar perlu ditingkatkan
melalui  pembinaan  terhadap  arti  pentingnya lingkungan yang baik
- Akses  masyarakat  terhadap  pembangunan  terhenti
sejak pengelolaan DAS Manggar -
Mekanisme  insentif  perlu  kepada  masy.  DAS Manggar
- Pemanfaatan yang
berkeadilan Ps.12 5
- Pembatasan  pemanfaatan  lahan  maks  2  ha  tidak
berjalan  optimal.  Saat  ini  masyarakat  tetap memanfaatkan  lahan  yang  dikuasai  melalui  skema
HKm -
Masyarakat  DAS  Manggar  belum  memperoleh kepastian dan akses pembangunan yang berkeadilan
83 Lanjutan Tabel 13
Produk kebijakan  Komitmen kebijakan  Kendala di lapangan
- Pengelolaan
terpadu Ps.14, Ps.15,
Ps.16, Ps.17 Ps.21
- Komitmen  multi  stakeholders  dalam  pengelolaan
hutan mengalami kemunduran -
Skema  dukungan  sumber  daya  ekonomi  di  luar APBD perlu digali dan ditingkatkan
- Penguatan  mekanisme  check  and  balance  dari
eksternal pengelola -
Peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengelolaan di tingkat tapak
2. Perda
No.122002: RTRW Tahun
2012-2032 -
Mempertahankan kawasan lindung
pada HLSW DAS Manggar
Ps.6 -
Mayoritas  areal  di  DAS  Manggar  dimanfaatkan untuk budidaya pertanian
- Belum  ada  kejelasan  status  penguasaan  lahan  oleh
masyarakat di DAS Manggar 3.
SK Walikota No.132004:
Penataan dan Pemanfaatan
kawasan -
Pembatasan kegiatan
pemanfaatan terbatas
Ps.2 3 -
Blok pemanfaatan A areal HKm seluas 1.400 ha. Melebihi  300  ha  dari  penetapan  blok  pemanfaatan
A yang hanya seluas 1.100 ha
4. SK Walikota
No.142004: Pembentukan
BP-HLSW -
Pembuat kebijakan internal
dan teknis serta wadah koordinasi
antar instansi
Ps.3  Ps.4 -
BP-HLSW  DAS Manggar yang keanggotaannya bersifat  multi  stakeholders  seolah-olah  vakum.
Perlu  revitalisasi  struktur  agar  fungsi  berjalan secara optimal
- Beban pengelolaan terpusat di unit-unit pengelola di
tingkat tapak -
Komitmen  pembiayaan  fluktuatif  menandakan dukungan pemerintah kota mulai menurun
- Perlu  penguatan  dan  peningkatan  status
kelembagaan  badan  pengelola  guna  menyikapi tantangan
pengelolaan di
masa mendatang,
diantaranya  persoalan  administrasi  keuangan  dan perubahan kewenangan pemerintah daerah
- Kapasitas  pelaksana  kebijakan  di  tingkat  tapak
perlu  dijaga  dan  ditingkatkan.  Perlu  ditambah personil berdasarkan pertimbangan profesional
5. SK Walikota
No.152004: Pedoman Izin
Kegiatan di Kawasan
Hutan -
Pengaturan izin pemanfaatan
dalam kawasan Ps.10, Ps.11,
Ps.20  Ps.22 -
Implementasi IPK yang membatasi maksimal lahan 2
ha tidak
berjalan optimal.
Mayoritas memanfaatkan  lahan  tanpa  dilengkapi  perizinan
IPK -
Perlu  penyederhanaan  mekanisme  perizinan  dan update  NSPK  terbaru  serta  peningkatan  kapasitas
pemegang izin
Sumber:   Data  dan  informasi  yang  diolah  dari  review  dokumen,  hasil  wawancara  dan  observasi lapangan, 2014
Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan implementasi kebijakan kehutanan menghadapi  tantangan  serius,  tidak  hanya  level  pengelola  tingkat  tapak,  namun
termasuk  tingkat  pengambil  kebijakan.  Berhubungan  bagaimana  tingkat keseriusan  dan  kemauan  mengorbankan  sumber  daya  baik  ekonomi,  waktu,
pikiran  serta  komitmen
stakeholder,
dalam  mempertahankan  konteks  kebijakan agar  sejalan  dengan  tujuan.  Tantangan  tersebut  berada  dalam  arus  perubahan
sosial ekonomi, dinamika politik daerah, tuntutan subyek terdampak kebijakan di
tingkat  tapak  serta  perubahan  regulasi  tingkat  pusat.  Oleh  karena  itu,  menjaga kesinambungan  tujuan  pengelolaan  hutan  berkarakteristik  CPRs  perlu
penyesuaian strategi pengelolaan, bahkan dimungkinkan merubah kebijakan yang kurang sesuai dengan dinamika terkini.
Formulasi Opsi Strategi Kebijakan Tenurial a.
Persoalan tenurial dalam pengelolaan hutan lindung
Pengelolaan  berbasis  sumber  daya  alam  memerlukan  kepastian  tenurial
tenure  security
yang  mantap.  Mengingat  dalam  realitasnya,  merujuk  kajian Ellsworth 2002 hutan telah menjadi obyek ganda  atau telah terjadi
overlapping
pengakuan atau penguasaan sumber daya hutan, baik oleh pemerintah, perorangan maupun antar kelompok masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan oleh Ellsworth pada
negara  yang  mengklaim  hutan  sebagai  barang  publik  milik  negara,  sering mengabaikan
ignorance
klaim  masyarakat  lokal  terhadap  aliran  manfaat  hutan. Dampak  situasi  yang  kompleks,  membuat  kehidupan  masyarakat  sekitar  hutan
tidak  memiliki  keamanan  tenurial
tenure  security
yang  mantap.  Implikasinya timbul masalah keadilan sosial, salah satunya adalah saling klaim  terhadap aliran
manfaat  hutan.  Oleh  karenanya  kepastian  dan  kejelasan  penguasaan  maupun pemilikan  lahan  diharapkan  mampu  meminimalisir  risiko  pengelolaan,  baik  bagi
pengelola maupun masyarakat terdampak kebijakan.
Tenure  security
yang  mantap  Robinson
et  al
.  2013  membuat  pemegang atau penguasa lahan hutan dapat merencanakan pengambilan keputusan atas aliran
manfaat  di  masa  mendatang  secara  matang.  Walaupun  tidak  ada  yang  bisa menjamin
assurance
bentuk  tenurial  yang  terbebas  dari  ketidakpastian.  Kedua kondisi tutupan lahan dapat merepresentasikan perbedaan arena tenurial Gambar
7;  Gambar 8; dan  Gambar 23.  Perbedaan  dimaksud  harus dihadapi  dan  dikelola dengan  baik,  dengan  memperhatikan  dan  meminimalisir  potensi  risiko  yang
melekat pada aliran manfaat hutan.
Apabila ditinjau dari sudut pandang teori hak kepemilikan
property rights
, hak kepemilikan atau penguasaan masyarakat dapat dilihat dari
bundle of powers
Ostrom dan Schlager 1996 pelaku kepemilikan Tabel 3. Dalam konteks kajian ini
property rights
dilihat sebagai  lahan yang berada di kawasan hutan, baik yang dikuasai  sebelum  atau  sesudah penetapan hutan  lindung. Persoalan tenurial  tidak
selalu berkaitan dengan bentuk
bundle of rights
semata, namun berkaitan dengan akses  aliran  manfaat  hutan.  Berkaitan  dengan  kemampuan  masyarakat
mengekstraksi aliran manfaat. Dikenal sebagai teori akses
theory of access
oleh Ribot dan Peluso 2003. Teori akses lebih berfokus kepada kemampuan
ability
dan kekuatan
range of  powers
dibandingkan dengan hak kepemilikan
property rights
melalui
bundle of rights
. Fenomena  di  tingkat  tapak  mengungkapkan  bentuk  penguasaan  lahan  baik
HLSW  maupun  DAS  Manggar  merupakan  adaptasi  kedua  teori  dimaksud. Masyarakat  di  sekitar  hutan  dikatakan  memasuki  kawasan  hutan  lindung  namun
melalui  kemampuan dan kekuatannya, pengelola
proprietor
yang memiliki hak
access
,
withdrawal
,
mangement
dan
exclusion
tidak  mampu  untuk  menegakkan
85 haknya, termasuk negara sebagai
owner
hutan. Dengan demikian menggabungkan kedua  teori  ini,  penting  artinya  dalam  menjelaskan  fenomena  di  tingkat  tapak.
Pada  prinsipnya,  tujuan  utama  pengelolaan  adalah  membuat  keseimbangan
equity
akomodasi  pemanfaatan  ruang  masyarakat  dan  keberlanjutan  hutan lindung. Hal tersebut dapat dicapai setelah memenuhi prasyarat tertentu.
Pertama,  kejelasan  status  penguasaan  lahan.  Situasi  ini  mempengaruhi
siapa  yang  berhak  memperoleh  aliran  manfaat.  Menurut  Resosudarmo
et  al
. 2014
overlapping
kepemilikan dalam sengketa kepemilikan lahan, menyiratkan klaim  negara  tidak  selamanya  memperoleh  legitimasi  masyarakat
tenure insecure
.  Bahkan  melalui  penguasaan  formal  maupun  informal,  dapat  membuat tenurial yang mantap sehingga berimplikasi kepada kemampuan menegakkan hak
penguasaan terhadap klaim pihak lain Clover dan Eriksen 2009.
Kedua,  memberikan  ruang  yang  cukup  bagi  pihak  terdampak  kebijakan
terlibat  dalam  pengambilan  keputusan,  manajemen  pengelolaan  bahkan  evaluasi pengelolaan.  Mekanisme  ini  penting  ketika  pihak  yang  terdampak  memiliki  dan
berkomitmen atas tujuan  yang sama atau hampir  sama dalam mencapai  sebagian kepentingannya. Walaupun menurut kajian Nurrochmat 2004 di Provinsi Jambi,
pelibatan  masyarakat  lokal  tidak  selamanya  mampu  menjaga  keberlangsungan hutan.  Dampak  perbedaan  preferensi  anggota  masyarakat  dalam  melihat  aliran
manfaat  hutan. Bertolak dari kajian tersebut,  seharusnya menjadi  tantangan  yang menarik  bagi  pengelola  dan  pengambil  kebijakan  guna  mengidentifikasi
kemungkinan  perbedaan  preferensi  kepentingan  ekonomi,  sosial,  perilaku oportunis,  kesadaran  lingkungan  dll  masyarakat  terdampak  kebijakan.  Menjadi
bagian  pengendalian  risiko  bawaan
inherent  risks
arena  tenurial  hutan berkarakteristik CPRs.
Sehingga,  apabila  dimiliki  negara
state  property
maka  negara  wajib mempertahankan dan mengatur siapa yang boleh memanfaatkan atau memperoleh
aliran  manfaat  hak
management
dan
exclusion
.  Melalui  pengaturan  pemberian izin  pemanfaatan  areal  tertentu  atau  mengeluarkan  kelompok  masyarakat  yang
berusaha  mengekstraksi  aliran  manfaat  secara  ilegal.  Terlebih  dahulu memperhatikan  kesejarahan  sistem  penguasaan  lahan  sebelumnya.  Tanpa
memperhatikan sistem hak kepemilikian sebelumnya, mustahil tujuan pengelolaan dapat dicapai.
Peluso 2006 dan Ostrom dan Schlager 1996 mengungkapkan penguasaan lahan  dan  akses  akan  rawan  ketika  negara  mengambil  alih  kawasan  yang  luas.
Dalam  banyak  kasus,  negara  mengingkari  legitimasi  sistem  hak  kepemilikan sebelumnya  serta  menetapkan  relasional  baru.  Sebaliknya,  apabila  lahan  dalam
penguasaan  atau  kepemilikian  pribadi
private  property
dan  komunal
common property
,  maka  hak  pribadi  dan  komunal  yang  dilekatkan  pada  hutan  wajib diberikan  dan  ditegakkan  oleh  negara.  Oleh  karenanya  pemerintah  wajib  untuk
menegakkan
bundle  of  rights
Ostrom  dan  Schlager  1996.  Kedua  situasi  diatas merupakan kondisi ideal rezim
property rights
.
Gambar 23 Karakteristik arena tenurial di HLSW dan DAS Manggar Situasi  berbeda  terjadi  pada  hutan  berkarakteristik  CPRs.  Menurut  Ostrom
dan  Schlager  1996  sumber  daya  ini  memiliki  dua  ciri  utama,  yakni  pertama memerlukan pengorbanan sumber daya ekonomi untuk membangun kelembagaan
dalam  memperoleh  aliran  manfaat
public  goods
dan  kedua  penggunan  unit sumber  daya  mengakibatkan  pihak  lain  tidak  dapat  memperolehnya
private goods
. Unit sumber daya adalah lahan di dalam hutan lindung. Menurut jenis tipe barang  oleh  Vincent  Ostrom  dan  Elinor  Ostrom  1977  dalam  Ostrom  2005,
CPRs  merupakan  perpaduan  dua  ciri  utama  barang,  yakni  memiliki  tingkat kesulitan
excludability
dan
substactibility
tinggi. Kedua karakteristik  tersebut  terjadi pada  kedua  hutan lindung, baik  HLSW
maupun DAS Manggar.  Kedua kawasan hutan lindung  secara
de  jure
ditetapkan pemerintah  sebagai  hutan  negara  berfungsi  lindung.  Menurut  rezim
property rights,
hutan  negara  disebut
state  property
.  Namun  fakta
de  facto
telah  dikuasai individu  atau  kelompok  masyarakat,  dengan  karakteristik  penguasaan  tenurial
yang  berbeda Tabel  14. Menurut Ostrom dan Schlager 1996, idealnya
bundle of  rights
yang  relevan  pada  level  operasional  tingkat  tapak  adalah
access
dan
withdrawal
.  Namun,  hasil  penelitian  menunjukkan  fakta  berbeda.  Masyarakat Wain Luar dan DAS Manggar memiliki dan mengimplementasikan hak
aleination
, baik secara formal legal maupun informal ilegal.
Lebih lanjut,  Bassey 2003 berpendapat hutan dalam konteks atau lingkup daerah  merupakan  obyek
property  rights
bersifat
open  access
.  Sehingga,  situasi tenurial  kedua  kawasan  hutan  akan  berimplikasi  langsung  terhadap  strategi
pencapaian tujuan. Sebagai contoh, dapat dilihat dari tren perubahan tutupan lahan DAS  Manggar  yang  didominasi  semak  belukar  berubah  menjadi  pertanian
bercampur  Gambar  8  dan  10.  Kondisi  berbeda  terjadi  di  HLSW.  Berdasarkan tren  perubahan  tutupan  lahan,  HLSW  didominasi  tutupan  lahan  hutan  sekunder
dan  primer.  Meskipun  terdapat  jenis  tutupan  lahan  pertanian  bercampur  di  areal HKm  seluas  1.400  ha  Gambar  7  dan  10.  Situasi  ini  memperkuat  argumen,
pendekatan  strategi  berbeda  diperlukan  guna  menyiasati  masalah  tenurial  dalam kerangka pencapaian tujuan pengelolaan hutan lindung.
Menurut  Nurrochmat  2012  yang  lebih  penting  adalah  mengakomodasi “keterlanjuran”  masyarakat  yang  telah  membuka  ladang  atau  kebun  di  hutan
Pemkot
Masya- rakat
Masya- rakat A
Masya- rakat B
Pemkot
HLSW DAS Manggar
87 lindung  sebagai  bagian  kegiatan  pemanfaatan  hutan  lindung.  Hal  ini  tidak  perlu
dianggap  rumit  karena  pada  dasarnya  bukan  sesuatu  yang  baru  dalam  praktik kehutanan.  Bertolak  dari  pandangan  tersebut,  akomodasi  masyarakat  bukan  hal
mustahil untuk diterapkan. Mengingat lahan yang dimiliki atau diklaim berfungsi ganda  sebagai  bagian  perlindungan  sistem  air  baku  dan  sumber  penghidupan
masyarakat.  Masyarakat  setempat  harus  dipahami  dan  dimaknai  sebagai  subyek bukan  hanya  sekedar  obyek  pengelolaan.  Masyarakat  HLSW  dan  DAS  Manggar
wajib  dilibatkan  secara  aktif,  ditingkatkan  kapasitasnya  serta  diperhatikan masukannya guna mencapai tujuan pengelolaan bersama masyarakat.
Tabel 14  Karakteristik tenurial dan masyarakat di lokasi penelitian
Lokasi Karakteristik arena
tenurial
Bundle of powers
Karakteristik masyarakat setempat 1.
HLSW -
De jure
:
state property
-
De facto
:
state property
dan
private property
di  areal HKm
-
Access
-
Withdrawal
-
Management
-
Aneination informal
- Masyarakat  km.20-24  Wain  Luar
mayoritas  petani  yang  bergantung terhadap  lahan  baik  di  dalam
maupun luar kawasan HLSW. -
Perolehan  lahan  dengan  merambah lahan atau jual beli secara informal
- Terdiri  masyarakat  yang  berdomisili
di sekitar HLSW dan pendatang
-
Masyarakat  km.15  Wain  Dalam tidak
menggantungkan hidup
terhadap lahan di kawasan HLSW
2. DAS
Manggar -
De jure:  state property
-
De facto: private property dan state
property
di lokasi yang dibebaskan
pemkot -
Access
-
Withdrawal
-
Management
-
Exclusion
-
Aneination formal dan
informal -
Masyarakat DAS Manggar mayoritas petani  yang  mengolah  lahan,  baik  di
dalam dan luar kawasan HLSW eks transmigran swakarsa tahun 1965
- Terdiri  masyarakat  yang  berdomisili
di sekitar kawasan dan pendatang
-
Mayoritas mengklaim
memiliki tanda  penguasaan,  pemilikan  lahan
sertifikat, segel
dan bukti
pembayaran  PBB,  baik  secara formal dan informal
Sumber:   data dan informasi yang diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014
Nurrochmat  2012  mengingatkan  masalah  tenurial  akan  ada  sepanjang hidup, selama manusia tergantung terhadap lahan. Clover dan Eriksen 2009 juga
memperingatkan  tanpa  keadilan  dan  kesetaraan,  kejelasan  dan  kepastian  hak penggunaan  hutan  tidak  akan  efektf  dalam  menjamin  keberlanjutan  lingkungan
Tabel  15.  Mengingat  faktanya  tidak  ada  lahan  yang  tidak  bertuan,  khususnya DAS  Manggar.  Terhadap  pemilik  lahan  yang  menguasai  atau  mengklaim  lahan,
apabila  memenuhi  kriteria  tertentu  dapat  diberikan  insentif.  Sebagai  bentuk kompensasi  penyederhanaan  dan  kejelasan  tenurial  masyarakat.  Tenurial  lahan
tidak  bersifat  statis,  dinamis  sesuai  dengan  konteksnya.  Kejelasan  tenurial bermanfaat bagi pengelolaan oleh pelaksana di tingkat tapak.
Apabila  ditinjau  dari  pengaturan  ruang  daerah,  Pasal  39  huruf  d  angka  4, Perda  No.12  Tahun  2012  tentang  RTRW,  pada  prinsipnya  rencana  perwujudan
pengembangan  kawasan  hutan  lindung  adalah  mencegah  alih  fungsi  lahan  dari fungsi lindung menjadi budidaya. Artinya menekankan pada keberlanjutan fungsi
lahan sebagai fungsi lindung. Selama alokasi formasi hak tenurial yang diberikan masih  mempertahankan  fungsi  kawasan  lindung,  maka  alternatif  pemberian  hak
dasar
bundle  of  rights
penguasaan  lahan  secara  terkendali  sangat  mungkin diimplementasikan.  Argumen  ini  merujuk  pendapat  Resosudarmo
et  al
.  2014
yang  menyatakan  dibalik  ketidakpastian  tenurial
tenure  insecurity
terdapat pilihan  mengurangi  persoalan  melalui  fasilitasi  pemahaman  masyarakat  terhadap
sistem  hukum,  mendukung  mekanisme  resolusi  serta  menyederhanakan  dan memperjelas instrumen kepemilikian tenurial.
Senada  pendapat  Resosudarmo  di  atas,  kajian  Agrawal  dan  Ostrom  2001
di  India  dan  Nepal  memberikan  pelajaran  penting  tentang  skema  desentralisasi kehutanan.  Pemerintah  seharusnya  melibatkan  masyarakat  setempat  secara  aktif
dalam pengelolaan, baik pengambilan keputusan pemanfaatan aliran manfaat serta pengaturan eksklusi aliran manfaat hutan. Pada saat bersamaan, Pemerintah wajib
mengimplementasikan  pengelolaan  efektif  serta  menegakkan  kepastian  tenurial lahan.  Maknanya,  Pemerintah  wajib  memberikan  kesempatan  kepada  subyek
masyarakat terdampak kebijakan, turut serta dalam pengelolaan dan memberikan kepastian lahan. Pengelola sebagai wakil Pemerintah harus bertindak secara hati-
hati  dengan  memperhatikan  karakteristik  tipologi  tenurial  masing  masyarakat sekitar  dan  hutan  yang  dinamis.  Oleh  karena  itu  kepastian
tenure  security
atas ketidakpastian  sistem  penguasaan  tenurial  yang  terkendali,  mampu  mengurangi
pengaruh  negatif  terhadap  keseimbangan  sistem  perlindungan  hutan  dalam memberikan keadilan sosial masyarakat sesuai konteks ruang, waktu dan pelaku.
Peraturan  Bersama  Menteri  Dalam  Negeri,  Menteri  Kehutanan,  Menteri Pekerjaan  Umum  dan  Kepala  BPN  masing-masing  melalui  Nomor  70Tahun
2014;  PB.3Menhut-II2014;  17PRTM2014;  dan  8SKBX2014  tanggal  17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di
Dalam Kawasan Hutan, memberikan peluang alokasi lahan bagi masyarakat yang telah  ada  sebelum  dan  sesudah  penetapan  kawasan  hutan.  Namun,  khusus  bagi
masyarakat yang telah ada sebelum penetapan kawasan hutan, arah kebijakannya cenderung  mengeluarkan  areal  yang  dikuasai  masyarakat  dari  kawasan  hutan.
Melalui penegasan dan pengakuan hak masyarakat, sehingga fungsi kawasan akan berubah.  Peraturan  bersama  berimplikasi  terhadap  keberadaan  hutan  lindung,
seperti  HLSW    DAS  Manggar.  Kedua  kawasan  hutan  lindung  dimaksud  tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup masyarakat Balikpapan. Mengingat
fungsi  dan  lokasi  strategis  HLSW    DAS  Manggar  sebagai  penyuplai  air  baku masyarakat.  Kebijakan  tersebut  kurang  cocok  diimplementasikan  di  DAS
Manggar. Seharusnya, kebijakan ini tidak hanya semata-mata mengakomodir hak- hak masyarakat melalui pemberian hak atas tanah. Namun yang jauh lebih penting
adalah  bagaimana  kolaborasi  pengelolaan  kawasan  hutan  lindung  dengan memperhatikan keberlanjutan fungsi kawasan yang mampu memberikan keadilan
bagi masyarakat sekitar hutan.
89 Tabel 15  Makna kepastian
tenure security
para pihak dalam pengelolaan hutan lindung
Para pihak Makna kepastian
tenure security
Kendala yang membatasi 1.
Pemerintah Kota
Badan PengelolaUP
HLSW    DAS Manggar
- Pencapaian  tujuan  pengelolaan
yang  bermanfaat  dan  berkeadilan sosial
- Komitmen
dan konsistensi
stakeholder
dalam  pengelolaan hutan lindung
- Kapasitas
pengelola untuk
mewujudkan  tujuan  pengelolaann yang berkeadilan
2. Masyarakat
Wain Dalam -
Akses pembangunan pendidikan, kesehatan,  akses  kepada  pasar
dalam pemasaran
komoditas, ketersediaan
air baku,
dan penyediaan fasilitas umum
- Konsistensi
Pemerintah dan
stakeholder
dalam mempertahankan
kelestarian lingkungan di masa mendatang
3. Masyarakat
Wain Luar -
Akses  dan  kepastian  ekstraksi aliran manfaat lahan areal HKm
- Kapasitas
dan pengetahuan
kelompok  tani  HKm  terhadap keseimbangan  manfaat  ekonomi
dan  kelestarian  lingkungan  yang baik
4. Masyarakat
DAS Manggar -
Pengakuan  kepemilikian  atau penguasaan  lahan  DAS  Manggar
dapat memberikan
kepastian masyarakat
dalam mengelola
lahan -
Perbedaaan kepentingan dan sudut pandang
pemerintah dan
masyarakat  atas  aliran  manfaat hutan
- Pemerintah  belum  menegakkan
hak  dasar  masyarakat  terhadap klaim
kepemilikan atau
penguasaan  lahan  di  kawasan DAS Manggar
Sumber: data dan informasi diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan, 2014
                