25 narasumber  adalah  individu  di  instansi  pemerintah  daerah  dan  masyarakat  di
sekitar  kawasan,  antara  lain:  pejabat  daerah,  tokoh  masyarakat,  LSM,  akademisi dan  masyarakat  yang  menggantungkan  hidup  kepada  hutan.  Narasumber
merupakan pelaku yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pengelolaan hutan lindung, baik langsung maupun tidak langsung, serta terlibat dalam implementasi
kebijakan  pengelolaan  hutan  lindung.  Khusus  analisis  wacana  dilakukan wawancara  teks  kebijakan.  Bertujuan  memahami  bagaimana  narasi  kebijakan
diproduksi dan dipengaruhi atau mempengaruhi pengetahuan
stakeholder
.
b. Review dokumen
Review  dokumen  untuk  memperoleh  gambaran  atau  informasi  yang mendukung  pemahaman  detail  suatu  obyek  penelitian.  Dokumen  berupa  naskah
kebijakan  pemerintah  daerah,  seperti  Perda  No.11  Tahun  2004,  SK  Walikota, turunan peraturan lainnya maupun hasil kajian instansi terkait.
c.
Observasi lapangan
Teknik  ini  untuk  memperoleh  gambaran  wajar  mengenai  kondisi  yang sebenarnya.  Observasi  diharapkan  mampu  memberikan  gambaran  lugas,  untuk
menggali  informasi  serta  menegaskan  informasi  hasil  wawancara.  Dalam pandangan  Creswell  2010  observasi  adalah  mengamati  perilaku  dan  aktivitas
individu.  Observasi  dilakukan  secara  bersamaan  dengan  wawancara  terhadap narasumber.  Observasi  objek  penelitian  penting  untuk  mendapatkan  deskripsi
utuh  dan lugas  tentang  kondisi  riil  lapangan.  Berguna  dalam  menggali  informasi dan uji silang fakta lapangan.
Analisis Data
Analisis  data  merupakan  proses  mencari  dan  mengatur  secara  sistematis data dan informasi  untuk memahami fenomena penelitian  serta  menjawab tujuan
berupa  temuan  penelitian
riset  findings
.  Creswell  2010  menjelaskan pendekatan  analisis  data,  yakni:  1  Mengolah  dan  mempersiapkan  data;  2
Membaca  keseluruhan  data;  dan  3  Menganalisis  lebih  detail  dengan  menyusun kode  suatu  data.  Proses  ini  untuk  mengetahui  reliabilitas  dan  validitas  yang
diperoleh melalui pendokumentasian prosedur penelitian secara cermat. Penelitian berfokus pada tiga kajian penelitian, yakni: mengenai keragaan wacana kebijakan
pengelolaan hutan lindung, kinerja pengelolaan hutan lindung ditinjau dari aspek tenurial  dan  kelembagaan,  serta  formulasi  strategi  kebijakan  tenurial  dalam
kerangka evaluasi kebijakan daerah. a.
Kajian keragaan wacana kebijakan pengelolaan hutan lindung
Sebelum  memahami  kesenjangan  kebijakan,  terlebih  dahulu  dilakukan analisis wacana. Sutton 1999 dan IDS 2006 mengungkapkan proses pembuatan
kebijakan  selalu  melibatkan  tiga  unsur  yang  saling  terkait,  yakni;  narasi  atau diskursus, aktor atau jaringan dan kepentingan dibangun sebagai produk kebijakan.
Dalam  kajian  ini,  obyek  analisis  adalah  peraturan  daerah  tentang  pengelolaan hutan  lindung.  Berguna  dalam  menjelaskan  bagaimana
how
pemaknaan  narasi kebijakan.
Menurut Van Dijk  1996
discourse
lebih  sebagai  nilai  sumber daya sosial yang membentuk kekuatan
power
yang distribusi akses tidak merata.
Discourse
mempengaruhi  pemikiran  orang  yang  akan  dikonstruksikan  sebagai
knowledge
,
attitudes
,
norms
,
values
dan
ideologies
,  bahkan  mempengaruhi  kelompok  yang dominan.  Kelompok  dominan  ini  meliputi  masyarakat  perambah  dan  pemerintah
daerah. Pandangan Van Dijk dalam Eriyanto 2001 mengungkapkan model analisis
wacana,  lebih  melihat  narasi  kebijakan  sebagai  teks,  kognisi  sosial  dan  konteks sosial  Tabel  4.  Penelitian  wacana  menurut  pemikiran  Van  Dijk,  tidak  cukup
hanya mendasarkan pada analisis teks. Namun, harus melihat teks diproduksi dari praktik  maupun  berdasarkan  nilai-nilai  masyarakat,  disebut  kognisi  sosial.
Kognisi  sosial  merupakan  pendekatan  yang  menjelaskan  struktur  dan  proses terbentuknya teks. Sedangkan konteks sosial lebih melihat konstruksi wacana atas
permasalahan  di  masyarakat.  Analisis  menggabungkan  ketiga  dimensi  di  atas guna memperoleh analisis komprehensif.
Analisis dilakukan melalui tiga tahapan utama, yakni: i menyusun
framing
, ii menyusun sistem kategori, dan iii menyusun
koding
. Uraian masing-masing tahapan analisis wacana disajikan di bawah ini.
1. Menyusun
framing
dalam analisis wacana
Scheufele  1999  mendefinisikan
framing
sebagai  konsep  yang  melekat  di dalam  konteks  yang  lebih  luas.  Menurut  IDS  2006,  agenda  kebijakan
merepresentasikan  kesepakatan  bersama  terhadap  topik  tertentu.  Dalam  konteks kajian  ini,
framing
bertujuan  mengkonstruksikan  ruang  lingkup  analisis  sesuai tujuan  yang  hendak  dicapai.  Selain itu,  menjadi  konsep  untuk melihat isi  naskah
kebijakan  dari  sudut  pandang  lebih  luas  Tabel  4.  Ditinjau  dari  sisi  penyusun kebijakan dan implikasi kebijakan bagi pihak lain. Lebih lanjut pengetahuan yang
diadopsi pengambil kebijakan digunakan dalam mempengaruhi opini pihak lain.
Tabel 4
Framing
komponen analisis kebijakan daerah dalam pengelolaan hutan lindung
Dimensi  diskursus  Struktur wacana  Hal yang diamati 1.
Teks -  Struktur makro  -  Makna  dan  kesesuaian  kebijakan  daerah
terhadap tematopik
pengelolaan hutan
lindung -  Struktur meso
-  Konstruksikerangka  dari  bagian  narasi kebijakan  yang  diskemakan  dengan  tema
pengelolaan hutan lindung -  Struktur model  -  Representasi
sosial individumasyarakat
dalam memahami masalah pengelolaan hutan lindung
2. Konteks sosial
-  Struktur praktik kekuasaan
-  Bentuk penguasaan
pemerintah yang
mempengaruhi sikap
dan pengetahuan
masyarakat -  Struktur akses
mempengaruhi wacana
-  Mekanisme  akses  yang mempengaruhi
perilaku pemerintah atau masyarakat
Sumber: diadaptasi dari Eriyanto 2001
27
2. Membangun sistem kategori
Pengembangan sistem kategori analisis wacana untuk mengelompokkan unit analisis  dalam  kategori  atau  sub-kategori  tertentu  Tabel  5  yang  merefleksikan
tujuan analisis. Seluruh artikel dan pernyataan terkait kebijakan pengelolaan hutan lindung, selanjutnya dianalisis untuk mengetahui dan memahami karakteristiknya
Ekayani  2012.  Data  yang  digunakan  merupakan  produk  kebijakan  daerah  yang mempengaruhi  implementasi  pengelolaan  hutan  lindung.  Termasuk  pernyataan
stakeholder
yang menggambarkan kepentingan pihak terkait. Tabel 5  Sistem kategori kebijakan daerah dalam pengelolaan hutan lindung
Unit analisis Kategori
Sub-kategori Artikel
- Informasi formal
naskah kebijakan
1.
Coder
2.
Nomor artikelparagraf
3.
Nama produk kebijakan
4.
Tanggal penyusunan
5.
Penulis Pernyataan
- Aktor kebijakan
1.
Pemerintah kota
2.
LSM
3.
Masyarakat
4.
Akademisi
5.
Lainnya -
Posisi kepentingan
1.
Posisi utama primer
2.
Posisi pendukung sekunder
3.
Posisi kunci -
Evaluasi risiko
1.
Potensial mempengaruhi kebijakan
2.
Potensial mengakibatkan kerusakan hutan
- Skema solusi masalah
1.
Solusi ekonomi
2.
Solusi sosialhukum -
Skema pernyataan
3.
Solusi ekologi 1.
Perumusan kebijakan 2.
Kelembagaan pengelolaan 3.
Peran serta masyarakat
stakeholder
- Instrumen solusi
1.
Pengaturan akses
2.
Pengaturan manajemen -
Kerangka
1.
Kelembagaan pengelolaan hutan
2.
Proses pengambilan kebijakan daerah
3.
Efektivitas implementasi kebijakan
Sumber: Modifikasi dari Ekayani 2012
3. Menyusun
coding
Unit  analisis  dari  pengembangan  sistem  kategori,  diidentifikasi  dalam struktur
coding
yang  relevan.  Bertujuan  agar  informasi  mampu  mendeskripsikan secara lugas dan tepat. Kegiatan ini akan mentransformasikan data mentah secara
sistematis  berdasarkan  konsep  atau  teori,  guna  menjawab  pertanyaan  mengenai keragaan wacana kebijakan daerah dalam pengelolaan hutan lindung.
b. Kajian kinerja pengelolaan hutan lindung
Hasil  analisis  komprehensif  kajian  wacana,  dilanjutkan  evaluasi  kinerja pengelolaan hutan lindung. Kerangka kriteria ini diadopsi dari
Forest Governance
PROFOR –FAO 2011 dan PROFOR 2012. PROFOR 2012 disusun oleh Kishor
dan  Rosembaum.  Kriteria  ini,  pada  prinsipnya  mengacu  prinsip  utama
good governance
UNDP  1997,  meliputi:
accountability,  effectiveness    eficiency, fairnessequity,  participation
dan
tranparency
.  Kerangka  kriteria
forest governance
dipilih  karena  berfokus  terhadap  tata  kelola  tenurial,  akses  sumber daya  hutan  dan  peran
stakeholder
.  Sesuai  konsep  atau
framing
yang  dibangun dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, kerangka kriteria untuk melihat dan menganalisis lebih dalam tentang  institusi  dan  interaksi  antar  sektor  yang  mengatur  bentuk  dan  alternatif
tata  kelola  kehutanan.  Terminologi  institusi  konsep  ini  adalah  mengenai  siapa yang  mengakses  dan  memperoleh  manfaat  keberadaan  hutan.  Termasuk  yang
dapat  mengatur  hak  dan  kewajiban  pihak  lain.  Konsep  dalam  kriteria
forest governance
berpijak  pada  tiga  pilar  utama  Tabel  6.  Evaluasi  kinerja dikolaborasikan pendekatan konsep akses Ribot dan Peluso 2003.
Tabel 6 Pilar  dan  komponen  utama
forest  governance
dalam  evaluasi  kinerja pengelolaan HLSW
Pilar utama Komponen utama
1.
Policy, legal institutional and regulatory framework
1. Kualitas  kebijakan  dan  pengaturan  kehutanan
daerah 2.
Kerangka  kerja  perlindungan  hutan  yang berkaitan dengan tenurial dan
property rights
3. Peran  dan  fungsi  kerangka  kerja  utama
kelembagaan 4.
Instrumen  insentif  keuangan  dan  ekonomi
payoff
untuk pemerataan aliran manfaat hutan 2.
Planning and decision
–
making process
1. Partisipasi
stakeholder
di dalam
kegiatan pengelolaan sumber daya hutan
2. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
hutan 3.
Kapasitas  dan  tindakan
stakeholder
dalam pengelolaan hutan
3.
Implementation enforcement and complience
1. Penatausahaan sumber daya hutan
2. Penegakan kebijakan hutan
3. Penatausahaan tenurial dan
property rights
Sumber: Diadaptasi dari PROFOR dan FAO 2011  PROFOR 2012
Stakeholder
Mayers  2005  merupakan  pihak  yang  memiliki  hak  atau kepentingan dalam sistem tertentu. Konsep
stakeholder
untuk memahami peranan dan kepentingan aktor, terkait pencapaian tujuan pengelolaan hutan lindung yang
berkeadilan sosial. Pemaknaan
stakeholder
berfokus tiga prinsip utama, yaitu:   Mengidentifikasi peranan
stakeholder
dalam situasi spesifik.   Mengeksplorasi pengaruh dinamika
stakeholder
berkaitan dengan interaksi interdependensi
stakeholder
.   Pengembangan strategi manajemen
stakeholder
.