Makna teks kebijakan pengelolaan HLSW

d Koherensi teks kebijakan Menurut Eriyanto 2001 koherensi merupakan elemen yang mampu menggambarkan bagaimana peristiwa dapat dihubungkan atau dipandang saling terpisah. Koherensi menjadi penting saat menghubungkan berbagai fakta di lapangan untuk menyusun storyline yang utuh. Seperti uraian paragraf berikut. “ Kondisi obyektif tersebut mengantarkan pada suatu realitas bahwa untuk menjaga fungsi kawasan HLSW agar tetap lestari dibutuhkan upaya pengelolaan terpadu yang konsisten, terencana dan profesional dengan melibatkan semua pemangku kepentingan secara bertanggungjawab, terbuka dan demokratis sehingga dapat memberikan manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan yang akan datang ”. Paragraf 6, penjelasan Perda No.11 Tahun 2004. Kata hubung “sehingga” menghubungkan kalimat penurunan kualitas dan kuantitas HLSW yang perlu pengelolaan terpadu serta kalimat manfaat HLSW. Penggunaan kata hubung tersebut dapat menghubungkan kedua fakta tentang perlunya pengelolaan hutan lindung yang memberikan manfaat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Implikasinya memperkuat maksud yang hendak dicapai oleh penyusun kebijakan. b. Kognisi sosial dalam proses produksi kebijakan pengelolaan HLSW Analisis wacana berdasarkan konsep van Dijk tidak terbatas dalam analisis struktur teks, tetapi juga bagaimana teks diproduksi Eriyanto 2001. Lebih lanjut Eriyanto mengungkapkan “setiap teks” pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan tertentu atas peristiwa. Teks kebijakan pengelolan hutan lindung dikonstruksikan melalui pembahasan yang aktif dan dinamis antar pemangku kepentingan. Merupakan kontestasi pengetahuan dan kepentingan para pihak Gambar 14. Terdapat dua pandangan utama dalam diskusi, yakni “pandangan pendukung konservasi ” dan “pendukung pemberdayaan masyarakat sekitar hutan” yang subsisten terhadap hutan. Menurut Wittmer dan Birner 2005 pendukung konservasi disebut dengan istilah konservasionis, sedangkan pendukung pemberdayaan masyarakat disebut dengan eko-populis. Lebih lanjut Wittmer dan Birner menjelaskan konservasionis lebih melihat manusia sebagai sebuah ancaman keberlangsungan sumber daya alam, sehingga harus diekslusi dari sumber daya. Sedangkan eko-populis melihat manusia sebagai salah satu komponen utama dalam mencapai tujuan untuk mempertahankan sumber daya alam. Kontestasi dido minasi “peranan” aktor kebijakan, yakni LSM dan akademisi. Naskah kebijakan Perda No.11 Tahun 2004 dan produk turunannya merupakan “hasil kompromi” kedua pandangan. Artinya, dalam pengelolaan hutan, masyarakat yang terlanjur bergantung terhadap hutan tetap diberikan alokasi mengusahakan lahan. Mekanismenya diatur melalui perizinan yang dibatasi maksimal 2 haKK. Hal ini menjadi nilai dan tantangan tersendiri dalam pengelolaan hutan lindung yang berusaha memperhatikan keberlangsungan dan keselarasan perlindungan hutan dan masyarakat subsisten. Apakah bisa dijalankan atau hanya sekedar menjadi wacana kebijakan semata. 53 Sebelumnya, guna memperkuat pengetahuan masyarakat luas dilakukan sosialisasi, yang menjadi gerakan pengelolaan HLSW. Salah satunya dilakukan oleh Yayasan Bina Mandiri Lingkungan YBML yang mengedukasi masyarakat mengenai arti penting pengelolaan HLSW. Strategi yang digunakan, pengelolaan diletakkan sebagai masalah bersama, bukan hanya masalah internal YBML. Serta mengajak pihak yang memiliki pandangan dalam kampanye penyelamatan hutan lindung Susdinarjanti et al . 2002. Sumber: Data diolah, 2014 Gambar 14 Kontestasi aktor kebijakan dalam ajang diskusi pembahasan kebijakan pengelolaan HLSW Rumusan pengelolaan HLSW disampaikan kepada masyarakat melalui tahapan public hearing dan mekanisme konsultasi publik. Bertujuan menjaring dan memperhatikan masukan masyarakat. Pemilihan mekanisme konsultasi publik merupakan bentuk “adaptasi pengetahuan” penyusun kebijakan guna memperoleh “legitimasi” dan “dukungan” kuat masyarakat. Lebih lanjut diketahui pengetahuan dimaksud tidak terlepas dari peran dan dukungan lembaga donor yang memiliki perhatian dalam advokasi kebijakan publik. c. Kontestasi wacana dalam produksi kebijakan Wacana merupakan bagian isu yang berkembang di masyarakat, oleh karenanya diperlukan pemahaman tentang bagaimana kebijakan pengelolaan hutan lindung diproduksi dan dikonstruksikan dalam konteks sosial masyarakat. Van Dijk 2006 menekankan “ contexts are not „ objective ‟ or „ deterministic ‟ constraints of society or culture at all, but subjective participant interpretations, constructions or definitions of such aspects of the social environment ”. Lebih lanjut van Dijk mendefinisikan konteks sebagai konstruksi aspek mental dari situasi sosial yang relevan. Menurut van Dijk dalam Eriyanto 2001, analisis mengenai masyarakat, terdapat dua hal utama yakni: kekuasaan dan akses. Lebih lanjut Eriyanto menjelaskan titik krusial terletak pada bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Dalam analisis ini, kedua hal dimaksud dikaitkan dengan proses produksi wacana kebijakan.

1. Praktik kekuasaan

Van Dijk dalam Eriyanto 2001 mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan kelompok dalam mengontrol kelompok lain. Kekuasaan berdasar pada sumber yang bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Selain itu, kekuasaan dapat berbentuk persuasif, yakni tindakan yang secara tidak langsung mengontrol cara mempengaruhi kondisi mental antara lain kepercayaan, sikap dan pengetahuan. Apabila ditinjau dari kelompok stakeholder Ekawati et al . 2012 berdasarkan posisi kepentingan dalam proses pembahasan kebijakan dapat dikategorikan dalam 3 kelompok utama, yakni: stakeholder primer, sekunder dan kunci. Stakeholder primer meliputi masyarakat atau pihak lain yang terdampak langsung kebijakan, stakeholder sekunder meliputi LSM dan akademisi serta terakhir stakeholder kunci yang memiliki otoritas kebijakan, yakni pemerintah kota Tabel 10. Dominansi stakeholder sekunder terhadap stakeholder kunci dapat ditinjau dari proses pengajuan rancangan kebijakan sampai dengan rancangan disetujui dan disahkan pejabat berwenang. Hal ini diketahui dari matriks rancangan kebijakan hingga pengesahan. Perubahan dari rancangan menjadi dokumen resmi merepresentasikan dominansi stakeholder sekunder dalam proses pembahasan maupun penetapan kebijakan. Merujuk pandangan Pielke 2007, peran civil society lokal yang diperankan stakeholder sekunder ini dikategorikan ke dalam golongan “ science arbiter ”. S takeholder sekunder berperan sebagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, memberikan jawaban faktual bagi pertanyaan pengambil keputusan yang dianggap relevan. Lebih lanjut Pielke berpendapat stakeholder sekunder seharusnya menjadi honest broker of policy alternative , ketika mereka mampu berperan memberikan informasi dasar terhadap alternatif pilihan kebijakan yang berbeda, membuat langkah atau setidaknya menjelaskan lingkup dari pilihan tersebut, serta menyerahkan kepada pembuat keputusan untuk menghadapi tantangan mengurangi lingkup pilihan berdasarkan nilai preferensi tersebut. Tabel 10 Klasifikasi stakeholder berdasarkan kategori pernyataan dalam pembahasan pengelolaan HLSW Stakeholder Kategori pendapat aktor kebijakan Perumusan kebijakan Kelembagaan pengelolaan Peran serta masyarakat stakeholder Jumlah n n N n 1. Stakeholder primer 12 11 4 10 13 54 29 16 2. Skakeholder sekunder: 85 76 35 83 10 42 130 73 a. LSM 56 50 17 40 9 38 82 46 b. Akademisi 25 22 15 36 1 4 41 23 c. Lain-lain 4 4 3 7 7 4 3. Stakeholder kunci 15 13 3 7 1 4 19 11 Total 112 100 42 100 24 100 178 100 Sumber: data diolah, 2014 Rincian perubahan rancangan dan dokumen resmi kebijakan, baik Perda No.11 Tahun 2004, SK No.13 Tahun 2004, SK No.14 Tahun 2004 maupun SK No.15 Tahun 2004 disajikan dalam Lampiran 4. Begitu juga dominansinya 55 terhadap stakeholder primer, masyatakat sekitar hutan. Akomodasi kepentingan masyarakat sekitar HLSW, khususnya Wain Luar dan Wain Dalam dalam produk kebijakan merupakan kompromi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan bersama. Mengingat sulit untuk menghindarkan masyarakat yang sudah terlanjur menguasai lahan di kawasan hutan. Melalui “status” dan “pengetahuan”, aktor kebijakan dapat menginduksi proses penyusunan wacana kebijakan. Merujuk Gambar 14 dan Tabel 10 dapat diketahui aktor kebijakan yang paling dominan dalam diskusi pembahasan tematik kebijakan adalah LSM, baik “pro konservasi” maupun “pro pemberdayaan masyarakat ” serta akademisi. Lebih lanjut diketahui melalui pengetahuan dan jaringannya, LSM dan akademisi dapat mempengaruhi isi dan pilihan skema kebijakan yang dikemukakan sebagai alternatif solusi pengelolaan HLSW. Proses diskusi pembahasan tema strategis pengelolaan hutan didominasi oleh kedua aktor tersebut. Dengan tidak memarjinalkan peran serta aktor yang lain, namun pada kenyataannya kedua aktor tersebut telah menjadi komponen utama civil society lokal. Meskipun pemerintah merupakan stakeholder kunci memiliki kewenangan dan otoritas formal yang penting dan melekat pada jabatannya sebagai aparat pemerintahan. Melalui penguasaan kewenangan dalam mengajukan rancangan peraturan daerah dan penyusunan peraturan turunannya. Oleh karenanya stakeholder sekunder harus mendukung dan memperkuat stakeholder primer, mengingat stakeholder primer merupakan leading sektor implementasi pengelolaan hutan. Stakeholder yang tidak kalah penting adalah stakeholder primer, yakni masyarakat sekitar hutan. Mereka memiliki kekuasaan berbentuk status masyarakat subsisten yang terdampak langsung kebijakan pengelolaan hutan dan secara de facto menguasai lahan di dalam kawasan hutan lindung.

2. Akses yang mempengaruhi wacana

Akses yang dimiliki aktor kebijakan membuatnya lebih berkuasa dan mempunyai kesempatan besar mempengaruhi kesadaran masyarakat. Termasuk menentukan topik dan isi wacana yang didiskusikan oleh masyarakat Eriyanto 2001. Namun, dalam sistem pengelolaan yang baik, setiap aktor seharusnya memiliki peranan masing-masing dalam skema pengelolaan hutan bersama. Aktor kebijakan menjalankan peranan serta mengomunikasikan kepentingan secara selaras melalui mekanisme kerja sama dan perdebatan yang konstruktif dalam mencapai tujuan bersama. Tanpa kesepahaman aktor kebijakan, sangat mustahil kebijakan pengelolaan HLSW dapat diwujudkan, bahkan sulit diimplementasikan di tingkat tapak. Akses berkaitan dengan praktik kekuasaan aktor kebijakan. Kedua komponen saling mengisi satu dengan yang lain. LSM memiliki akses ke beberapa pihak, termasuk aktor kebijakan lain. Dominansi juga dilihat dari aksesibilitas kepada lembaga donor yang memberikan advokasi kebijakan publik Gambar 14 dan Tabel 10. Termasuk proses penyusunan tema wacana pengelolaan HLSW. Mengacu pendapat Ribot dan Peluso 2003 akses tersebut merupakan mekanisme akses struktural dan relasional structural and relational mechanism . Selanjutnya, mekanisme akses aktor kebijakan dapat ditinjau dari keterlibatannya dalam perumusan dan penyusunan draft kebijakan. Senada dengan praktik kekuasaan, akses yang mempengaruhi wacana memberikan deskripsi yang sama. Kinerja Pengelolaan HLSW dan DAS Manggar a. Struktur kebijakan daerah tentang pengelolaan HLSW dan DAS Manggar Perda No.11 Tahun 2004 merupakan pilihan kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan bidang kehutanan yang diambil Pemkot Balikpapan. Dinamika politik nasional berimplikasi terhadap alokasi kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Perubahan konteks kebijakan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menganulir UU No.32 Tahun 2004 telah merealokasi kewenangan kabupatenkota dalam pengelolaan hutan lindung kepada pemerintah provinsi. Pergeseran makna UU No.23 Tahun 2014 memperkuat cekaman pusat terhadap kewenangan dan otoritas daerah sebagai otonom yang mandiri. Lampiran BB. nomor 1, huruf e, UU No.23 Tahun 2004 secara eksplisit menarik kewenangan pengelolaan hutan lindung dari kotakabupaten. Seharusnya, pergeseran pelimpahan memperhatikan bentuk karakteristik biofisik hutan di daerah, seperti hutan lindung di Kota Balikpapan. Sehingga tidak langsung dicabut, tanpa didukung argumentasi logis yang memperhatikan kesejarahan pengelolaan, karakteristik masyarakat dan biofisik hutan. Sebenarnya, pengaturan desentralisasi kehutanan memberikan peluang bagi daerah untuk mengelola hutan lindung dalam Pasal 5 huruf e, PP No.62 Tahun 1998. Lebih lanjut, Perda No.11 Tahun 2004 pada prinsipnya mengatur penataan dan pemanfaatan hutan, perlindungan dan pengamanan kawasan, hak dan kewajiban masyarakat, kelembagaan pengelolaan, pendanaan, pengawasan dan evaluasi, sanksi administrasi dan ketentuan pidana. Pengaturan tersebut disusun dalam 14 Bab yang terdiri 28 Pasal Tabel 11. Selain itu, penetapan dan pengelolaan kawasan hutan lindung telah diperkuat Perda No.12 Tahun 2012 tentang RTRW sebagai kawasan yang berfungsi lindung. Pengaturan teknis sebagai turunan Perda ditetapkan dalam bentuk SK Walikota, yakni: SK No.13 Tahun 2004 tentang Penataan dan Pemanfaatan Hutan pada Kawasan HLSW, SK No.14 Tahun 2004 tentang Pembentukan BP –HLSW dan SK No.15 Tahun 2004 Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Kegiatan pada HLSW. SK No.14 Tahun 2004 telah beberapa kali dirubah, terakhir berdasarkan SK No.188.45-082014 tentang Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain dan DAS Manggar Kota Balikpapan Tahun 2014. Perda No.11 Tahun 2004 secara spesifik mengatur tentang fungsi HLSW. Pasal 4 ayat 1 menyatakan “HLSW mempunyai fungsi pokok sebagai daerah perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan sedimentasi serta memelihara kesuburan tanah ”. Selain fungsi pokok, kawasan HLSW memiliki fungsi khas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 2 bahwa “... fungsi khas yaitu sebagai daerah pelestarian keanekaragaman hayati jenis tumbuhan dan satwa beserta 57 ekosistemnya”. Kedua fungsi tersebut merupakan pernyataan yang mendukung wacana pelestarian keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Selanjutnya, SK Walikota No.188.45-2452007 menetapkan pembentukan BP –HLSW DAS Manggar Kota Balikpapan. Intinya adalah menggabungkan pengelolaan kedua hutan lindung di bawah rentang kendali BP –HLSW DAS Manggar 5 . Keputusan ini merupakan suatu keniscayaan apabila ditinjau dari arti penting DAS Manggar bagi masyarakat Balikpapan, khususnya sebagai penyedia sumber air baku masyarakat. Badan Pengelola memiliki tugas, fungsi dan wewenang pengelolaan yang merujuk pada struktur Perda Pengelolaan HLSW. Meski disadari oleh Pemkot, perda tersebut secara spesifik untuk pengelolaan HLSW yang memiliki karakteristik biofisik, sosial kemasyarakatan dan kesejarahan penetapan hutan yang berbeda. Implikasinya pengelola harus segera menyusun rencana strategis yang sesuai dengan karakteristik DAS Manggar. Tabel 11 Struktur Perda No.11 Tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW No Struktur Perda Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum 1 pasal 2 Bab II Asas dan Tujuan 2 pasal 3 Bab III Fungsi Hutan Lindung Sungai Wain 1 pasal 4 Bab IV Penataan dan Pemanfaatan Hutan 6 pasal 5 Bab V Perlindungan dan Pengamanan Kawasan 1 pasal 6 Bab VI Hak dan Kewajiban Masyarakat 2 pasal 7 Bab VII Kelembagaan Pengelolaan 7 pasal 8 Bab VIII Pendanaan 1 pasal 9 Bab IX Pengawasan dan Evaluasi 1 pasal 10 Bab X Ketentuan Penyidikan 1 pasal 11 Bab XI Sanksi Administrasi 1 pasal 12 Bab XII Ketentuan Pidana 1 pasal 13 Bab XIII Ketentuan Peralihan 1 pasal 14 Bab XIV Ketentuan Penutup 1 pasal Catatan: Dasar penerbitan SK Walikota No.15 Tahun 2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Kegiatan pada HLSW Pasal 6, 7, 10 ayat 1 dan 2 serta Pasal 12; Dasar penerbitan SK Walikota No.13 Tahun 2004 tentang Penataan dan Pemanfaatan Hutan pada Kawasan HLSW Pasal 5 ayat 3; dan Dasar penerbitan SK Walikota No.14 Tahun 2004 tentang Pembentukan BP-HLSW yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui SK Walikota No.188.45-082014 tentang BP- HLSW DAS Manggar Kota Balikpapan Tahun 2014 Pasal 14. 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam ketentuan penutup, Pasal 100 menyatakan “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan BupatiWalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini”. Implikasinya, meski penetapan pengelolaan hutan lindung DAS Manggar kepada BP HLSW DAS Manggar hanya berlandaskan ketetapan dalam SK Walikota No.188.45-2452007, namun penetapan tersebut harus dimaknai sebagai sebuah peraturan tertulis yang memuat norma dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dhi. Walikota.