Gambar 4.1 Debit Andalan vs Kehandalan Sagala, 2012
4.2.2 Pendapatan
Pendapatan pembangkit selama 1 satu tahun ditunjukkan oleh Persamaan 2.10. PLTM ini direncanakan on grid atau tersambung dengan jaringan PLN pembangkit Jawa-
Bali dan merupakan pembangkit tegangan menengah. Keputusan Menteri yang tertuang dalam Permen ESDM 269-1226600.32008, mengatur HPP dengan kondisi di mana
HPP untuk pembangkit on grid adalah = 0,8 x BPP-TM Biaya Pokok Produksi- Tegangan Menengah di mana untuk PLTM Cikidang, Banten HPP adalah Rp 682,-
kWh. BPP ini dikeluarkan oleh PLN sesuai provinsi, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada penelitian ini HPP = Rp 656,- kWh dengan asumsi bahwa tetap
terbuka peluang untuk harga maksimal sesuai ketentuan, yakni Rp 682,-kWh. Hal ini disebabkan karena pembangunan PLTM Cikidang mengalami keterlambatan, sehingga
belum beroperasi hingga dikeluarkannya Permen ESDM no.4 tahun 2012 pasal 2 yang mengubah HPP menjadi Rp 656kWh x F, di mana F adalah faktor insentif sesuai lokasi,
yakni untuk Jawa dan Bali = 1. Faktor kapasitas atau CF merupakan kesepakatan antara pihak swasta sebagai
penyedia pembangkit listrik dengan PLN berdasarkan fakta di lapangan dan hitungan PLN. Tetapi untuk pembangkit hidro, dari pembangkit yang sudah melakukan perjanjian
Universitas Sumatera Utara
pembelian listrik, CF biasanya berkisar antara 0,75 sd 0,85. Hal ini bisa kita lihat pada tabel proyek yang sudah berjalan di Lampiran 2.
4.2.3 Biaya Total Investasi
Biaya total investasi adalah penggabungan dari biaya langsung direct cost, biaya teknik dan administrasi engineering and administrasion, biaya pajak dan biaya
kontingensi. Biaya teknik dan administrasi sebesar 12,5 dari biaya langsung, biaya pajak VAT, Value added tax yakni sebesar 10 dari total biaya langsung ditambah
biaya teknik dan administrasi serta biaya kontingensi. Biaya kontingensi diestimasikan sebesar 20 dari total ketiga biaya di atas, dan sudah terhitung sebagai overhead cost
tetapi belum terhitung sebagai overrun cost. Head cost adalah biaya operasional lapangan dan perusahaan. Sedangkan overrun cost adalah pembengkakan biaya, misalnya karena
kenaikan harga material atau karena keterlambatan. Biaya total investasi ini merupakan estimasi bahwa durasi pengerjaan proyek
sampai dengan menghasilkan adalah selama 24 bulan. Durasi pelaksanaan proyek hingga 24 bulan dianggap belum mengalami beban biaya bunga selama pengerjaan atau IDC
interest during construction, karena diasumsikan bahwa proyek mendapat grace period untuk pinjaman jangka panjang.
Jika diestimasi bahwa proyek pembangkit ini belum dapat operasional hingga 30 bulan, maka dampaknya secara langsung akan dialami oleh kenaikan biaya langsung.
Estimasi yang dipakai adalah bahwa jika durasi pengerjaan mengalami keterlambatan hingga 12 bulan, maka biaya langsung sudah termasuk pajak dan kontingensi
diperkirakan akan mengalami eskalasi sebesar 20. Angka eskalasi sebesar 20 ini merupakan estimasi berdasarkan penelitian Muzayanah 2008, di mana besar eskalasi
proyek kontruksi berkisar 2,5 sd 3 kali nilai inflasi. Proyek ini terbagi dalam 2 tahap dengan alokasi dana yang relatif sama, sehingga metode perhitungan eskalasi dalam
setahun adalah bertahap artinya bahwa estimasi eskalasi 10 untuk keterlambatan selama 6 bulan. Apabila keterlambatan mencapai 12 bulan maka eskalasi tahap pertama 10 dan
tahap kedua eskalasi 10 atau mengalami eskalasi rerata 15.
Universitas Sumatera Utara
Eskalasi biaya konstruksi ini ditambah dengan biaya lainnya yakni biaya bunga atau IDC. Besar IDC diasumsikan adalah sebesar rerata JIBOR Jakarta Inter Bank
Offered Rate yakni sebesar 7,86 ditambah 300 basis poin sehingga IDC =
10,86tahun. Pada umumnya, dana pinjaman proyek konstruksi tidak langsung dipinjamdicairkan semua pada awal akad kredit. Dana pinjaman dicairkan sesuai
kebutuhan ownerkontraktor sesuai dengan perkembangan proyek. Pinjaman seperti ini disebut kredit rekening koran.
4.3 Analisa Finansial 4.3.1 Perhitungan dengan Metode Deterministik