59
Gambar 4.8
Grafik perbandingan cumulative values distribusi ukuran
serbuk Barium heksaferit di bawah 10
m pada dengan penambahan B
2
O
3
4.2 True Density
Pengukuran true density dari serbuk Barium heksaferit yang digiling selama 0, 12, 24, dan 48 jam, menggunakan prinsip piknometer mengunakan
cairan pembanding yaitu aquades. Hasil pengukuran true density diperlihatkan pada Gambar 4.9. Gambar 4.9 diperlihatkan bahwa nilai true density serbuk
Barium heksaferit digiling selama 0, 12, 24 dan 48 jam adalah berkisar antara 4.37 - 4.76 gcm
3
. Semakin lama serbuk Barium heksaferit digiling true density juga
meningkat hal ini dapat disebabkan karena pengecilan ukuran distribusi partikel. Pengecilan ukuran partikel memperlihatkan adanya proses densifikasi ukuran
partikel sehingga serbuk Barium heksaferit menjadi lebih padat dan menyebabkan nilai true density juga meningkat.
0, 74.04 0.5, 81.76
1, 88.26 2, 86.29
72 76
80 84
88 92
0.5 1
1.5 2
C u
m u
lat ive
V alu
es
B
2
O
3
berat
Universitas Sumatera Utara
60
12 24
36 48
4.3 4.4
4.5 4.6
4.7 4.8
T ru
e D
e n
sit y
g cm
3
Waktu Milling jam
Gambar 4.9 Grafik
true density serbuk Barium heksaferit digiling selama 0, 12, 24, dan 48 jam
Pengukuran true density dari bahan Barium heksaferit dengan penambahan B
2
O
3
sebanyak 0, 0.5, 1.0, dan 2.0 berat yang digiling selama 48 jam diperlihatkan pada Gambar 4.10. Dari Gambar 4.10 diperlihakan bahwa dengan
penambahan B
2
O
3
nilai true density masing-masing 4.76, 4.82, 4.89, dan 4.97 gcm
3
. Vidyawathi pada tahun 2002 telah melihat efek penambahan B
2
O
3
sebanyak 0 – 0.6 berat terhadap Barium heksaferit diperoleh nilai true density
berkisar 3.41 - 3.51 gcm
3
, artinya hasil penelitian ini telah lebih baik dari penelitian sebelumnya.
Gambar 4.10 Grafik true density Barium heksaferit
dengan penambahan B
2
O
3
Universitas Sumatera Utara
61
4.3 Karakteristik Sintering Menggunakan Dilatometer DIL
Untuk mendapatkan material dengaan karakteristik tertentu, diperlukan suatu pengontrolan struktur mikro seperti pertumbuhan butir dan batas butir yang
terjadi bersamaan dengan penyusutan rongga-rongga butir serbuk dari material yang digunakan. Proses sintering merupakan proses yang kompleks dan saling
berkaitan antara masing-masing parameternya seperti karakteristik serbuk awal, kondisi pencetakan, suhu pemanasan, distribusi dan kondisi sintering itu sendiri
J.J.Neumeier., et.al, 2008. Oleh karena itu, pengontrolan kondisi sintering menentukan kualitas produk akhir.
Gambar 4.11 Hubungan waktu, temperatur dan susut bahan pada pengujian Dilatometer serbuk Barium heksaferit
komersil.
Hasil analisa dilatometer dari material Barium heksaferit undopped ditunjukkan pada Gambar 4.11 sebagai hubungan antara waktu proses, pemberian
suhu dan efek penyusutannya. Sejalan dengan peningkatan suhu yang diberikan ukuran pelet tidak mengalami penyusutan yang signifikan hingga suhu 1050
o
C. Setelah suhu tersebut, diperoleh kurva lengkung penyusutan atau kurva sintering.
Hal ini menunjukkan bahwa proses sintering mulai berlangsung pada suhu
200 400
600 800
1000 1200
1400 0.00
0.04 0.08
0.12 0.16
Shrinkage Waktu
Temperatur oC
Sh rinkag
e
40 80
120 160
Wak tu me
n it
Universitas Sumatera Utara
62
1050
o
C. Semakin tinggi suhu yang diberikan, gradient garis lengkungnya semakin besar yang menunjukkan bahwa proses sintering semakin aktif. Titik tengah dari
kurva sintering merupakan suhu optimal sintering yang memiliki kecepatan densifikasi paling signifikan pada suhu serendah mungkin. Hasil ini menunjukkan
bahwa material Barium heksaferit dapat disinter pada suhu 1050
o
C, dengan optimal sintering berkisar pada suhu 1100 - 1200
o
C. Suhu sintering dimungkinkan dapat mempengaruhi perubahan fasa dari
material yang disinter. Oleh karena itu, karakteristik sintering sangat berguna untuk mendesain dan mengontrol proses sintering yang dibutuhkan agar material
yang disinter dapat diperoleh dengan baik.
4.4 Scanning Electron Microscope SEM-EDX
Scanning Electron Microscope SEM-EDX yang merupakan suatu sistem analisis yang menggabungkan SEM dan EDX menjadi satu unit. Scanning
Electron Microscope adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang
menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis, sedangkan Energy Dispersive X-ray EDX analisis
identifikasi komposisi kimia sampel.
4.4.1 Scanning Electron Microscope SEM
Setelah dilakukan serangkaian proses penghalusan, pencampuran dan sintering
maka sampel dilakukan pngujian SEM-EDX untuk mengetahui morfologinya dan untuk ukuran butir, distribusinya, unsur-unsur yang terkandung
dalam sampel dan mendeteksi keberadaan aditif yang ditambahkan pada Barium heksaferit. Pengujian akan dilakukan untuk sampel serbuk maupun pelet.
Pada hasil SEM diperoleh hasil gambar hitam putihgelap terang, hasil gambar hitam putihgelap terang ini dipengaruhi oleh unsur penyusunnya. Unsur
logam penyusun dengan nomor atom lebih tinggi akan menghasilkan warna yang lebih terangputih dari pada unsur logam penyusun dengan nomor atom yang lebih
rendah. Misalnya unsur Fe yang mempunyai nomor atom 26 akan menghasilkan gambar lebih terangputih dari pada unsur Ba yang mempunyai nomor atom 14.
Universitas Sumatera Utara
63
Gambar 4.12 Foto morfologi dari bahan magnet serbuk Barium heksaferit komsersil.
Gambar 4.13 Foto morfologi dari serbuk Barium heksaferit setelah penggilingan selama 48 jam
Universitas Sumatera Utara
64
Gambar 4.14 Foto morfologi dari serbuk Barium heksaferit setelah pemberian imbuhan B
2
O
3
sebesar 0.5 berat.
Gambar 4.12 merupakan hasil scanning morfologi serbuk Barium heksaferit komersil. SEM mikrograf mengungkapkan Barium heksaferit original
tampak mempunyai ukuran partikel terkecil 0.75 µm dan ukuran partikel terbesar 2.75 µm. Barium heksaferit komersil memiliki bentuk partikel yang tajam dan
runcing. Hasil pengujian SEM serbuk Barium heksaferit yang digiling selama 48
jam ditunjukkan pada Gambar 4.13 memiliki ukuran partikel berada di kisaran 0.62
– 2.25 µm partikel tampak lebih dekat dan lengket satu sama lain, sudah tidak terdapat butir yang runcing yang sebelumnya terdapat pada serbuk
orisinilnya sudah tidak ada. Pada Gambar 4.14 merupakan serbuk Barium heksaferit setelah pemberian B
2
O
3
sebesar 0.5 berat yang digiling selama 48 jam, ukuran partikel mengecil hingga berada di kisaran 0.375
– 1.5 µm. Pengamatan morfologi serbuk Barium heksaferit menjelaskan bahwa
waktu milling dan penambahan aditif B
2
O
3
mempengaruhi bentuk dan ukuran butir dari serbuk Barium heksaferit. Hasil ini mendukung hasil pengamatan
pengukuran distribusi partikel menggunakan particle size analyzer PSA. a
Universitas Sumatera Utara
65
Gambar 4.15 Foto morfologi dari pelet Barium heksaferit komsersia disinter pada suhu 1100
o
C
Gambar 4.16 Foto morfologi dari pelet Barium heksaferit setelah penggilingan selama 48 jam disinter pada suhu
1100
o
C.
Universitas Sumatera Utara
66
Gambar 4.17 Foto morfologi dari pelet Barium heksaferit dengan aditif B
2
O
3
sebesar 0.5 berat disinter pada suhu 1100
o
C.
Gambar 4.15 merupakan hasil pengamatan Scanning Electron Microscope SEM untuk sampel pelet hasil kompaksi dan telah disinter pada suhu 1100
o
C pelet Barium heksaferit komsersial, diperlihatkan untuk sampel pelet Barium
heksaferit komsersial memiliki butir yang lebih kecil dibandingkan dengan Barium heksaferit setelah proses milling selama 48 jam pada Gambar 4.16,
sedangkan Barium heksaferit setelah pemberian B
2
O
3
sebesar 0.5 berat disinter pada suhu 1100
o
C pada Gambar 4.17 memiliki jumlah butir yang dominan kecil dari semua sampel.
4.4.2 Energy Dispersive X-ray EDX
Pengujian EDX pada suatu titikspot pada sampel menghasilkan keluaran dalam bentuk persentase unsur bukan senyawa seperti yang dihasilkan dari
pengujian XRD. Pengujian EDX ini dilakukan untuk memastikan bahwa senyawa yang terbentuk dalam paduan alumunium adalah Ba
2
Fe
12
O
19
, berdasarkan hasil EDX adanya unsur Ba, Fe dan O dan Sr persentase sangat
Universitas Sumatera Utara
67
sedikit pada semua sampel Barium heksaferit. Sehingga dapat diindikasikan bahwa terdapat unsur-unsur penyusun suatu fasa Ba
2
Fe
12
O
19
. Indikasi adanya fasa dapat diprediksi dengan memakai metode EDX, yang dapat mengeluarkan hasil
berupa unsur-unsur penyusun fasa. Namun untuk lebih memperkuat hipotesa awal tersebut maka dilakukan pengujian XRD pada sampel, XRD ini akan
menunjukkan hasil berupa puncak peak senyawa penyusun sampel. Hasil pengujian XRD pada sampel ditunjukan pada Gambar 4.21 dan 4.22.
Tabel 4.1 Persen atomik unsur-unsur yang diperoleh dari hasil Scanning
Electron Microscope SEM dengan Energy Dispersive X-ray EDX
Element Barium
heksaferit komersil
Barium heksaferit milling
48 jam Barium heksaferit + B
2
O
3
0.5 berat milling 48 jam Atomik
Atomik Atomik
O 60.24
58.99 65.17
Fe 36.36
37.54 31.19
Sr 0.5
0.52 1.02
Ba 2.9
2.94 2.62
Persen atomik unsur-unsur yang diperoleh dari hasil Scanning Electron Microscope
SEM dengan Energy Dispersive X-ray EDX ditunjukan dalam Tabel 4.1, dari tabel tersebut diperlihatkan persentase unsur-unsur penyusun Ba
dan Fe dari BaFe
12
O
19
masih dalam batas-batas harapan, jika disederhanakan perbandingan Ba:Fe:O masih dalam batas wajar 1:12:20. Jumlah atomik oksigen
meningkat, hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh oksidasi pada proses milling Pada serbuk Barium heksaferit dengan B
2
O
3
unsur boron tidak ditampilkan hal ini dikarenakan Boron jika diindikasi pada pencarian EDX akan
menunjukkan hasil yang bernilai minus, ini terjadi karena ketidakpastian pada analisis pengukuran unsur EDX untuk jumlah unsur yang dilibatkan pada
campuran yang tidak mencapai 10 berat dari total berat campuran. Pada Gambar 4.18 menunjukkan sebaran masing-masing unsur pada
serbuk Barium heksaferit dengan aditif B
2
O
3
, untuk serbuk Barium komersil dan setelah milling dapat dilihat pada LAMPIRAN C. Jumlah persen atomik Boron
yang tidak terdeteksi sebelumnya dapat dilihat posisi atau keberadaannya.
Universitas Sumatera Utara
68
Keberadaan Boron ditunjukkan dengan warna cokelat muda, bintik-bintik cokelat muda yang terlihat adalah Boron yang sudah merata menyebar pada seluruh
bagian serbuk meskipun dengan intensitas yang rendah.
B Ba
Fe O
MIX SEI
Gambar 4.18 Hasil SEM-EDX indikasi keberadaan sebaran unsur pada serbuk Barium heksaferit + B
2
O
3
0.5 berat
Universitas Sumatera Utara
69
Gambar 4.19 Hasil SEM-EDX a Serbuk Barium heksaferit
original b Barium heksaferit milling 48 jam c Barium heksaferit
+ B
2
O
3
a
b
c
Universitas Sumatera Utara
70
4.5
X-Ray Fluorescene XRF.
Untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung pada bahan baku maupun diuji dengan menggunakan X-Ray Fluorescene XRF. Dari hasi pengujian
dengan XRF untuk bahan Barium heksaferit BaFe
12
O
19
menunjukkan adanya unsur pengotor yaitu Mn = 0.17, Ti = 0.13 dan Sb = 0.17 dalam berat, seperti
ditunjukkan pada Tabel 4.2. Umumnya unsur Zn dan Ti dalam berat yang terkandung pada magnet BaFe
12
O
19
berfungsi untuk menurunkan nilai koersivitas. Besarnya nilai koersivitas yang dimiliki oleh BaFe
12
O
19
diduga dipengaruhi oleh unsur-unsur pengotor lain yang terdapat pada magnet BaFe
12
O
19
tersebut.
Tabel 4.2 Hasil pengujian XRF serbuk Barium hexaferrite komersil
Unsur berat
Fe 48.39274109
ba 9.398590211
Sr 2.009698545
Mn 0.179973004
Sb 0.179973004
V 0.139979003
Ti 0.139979003
Cd 0.030995351
Zr 0.0219967
Ag 0.0119982
LE 39.49407589
Total 100
4.6 Analisa
X-Ray Diffraction XRD
Hasil analisa X-Ray Diffraction XRD serbuk Barium heksaferit original menghasilkan fasa tunggal BaFe
12
O
19
gambar 4.18. Dari tabel hanawalt dengan file number
43-0002, diperoleh bahwa serbuk yang telah dikalsinasi tersebut mempunyai struktur kristal hexagonal, latticenya primitif dengan space group
P63mmc 194. Fasa BaFe
12
O
19
ini mempunyai parameter kisi a = b ≠ c dengan
Universitas Sumatera Utara
71
nilai a = 5,892 Å, c = 23,183 Å dan volume sel 696,406 Å
3
. Tiga puncak tertinggi pada struktur BaFe
12
O
19,
masing-masing pada sudut 2θ sebesar 32.24, 34.16, dan
56.66. Terbentuknya fasa tunggal dari BaFe
12
O
19
sangat dipengaruhi komposisi dan suhu perlakuan, sesuai dengan teori.
Hasil analisa X-Ray Diffraction XRD serbuk Barium heksaferit setelah digiling selama 48 jam dan dengan penambahan B
2
O
3
0.5 berat ditunjukkan pada Gambar 4.21. Serbuk original Barium heksaferit setelah proses penggilingan
selama 48 jam fasa yang terbentuk adalah fasa BaFe
12
O
19
dan Fe
2
O
3.
Amorphization merupakan hal yang paling sering terjadi pada mechanical alloying
pada proses mixing metalurgi serbuk Suryanarayana, 2001 Hasil analisa XRD dari serbuk Barium heksaferit dengan penambahan
B
2
O
3
0.5 berat bahwa dengan penambahan boron pada Barium heksaferit terbentuknya fasa minor BaB
2
O
4
dan Fe
2
O
3
sedangkan fasa utamanya adalah BaFe
12
O
19
, dengan perbandingan kuantitatif berdasarkan puncak tertinggi masing-
masing adalah 57.6, 17.9, dan 27.5 . Hal ini dapat terjadi karena adanya reaksi kinetik BaFe
12
O
19
dan B
2
O
3
membentuk BaB
2
O
4
dan Fe
2
O
3
.
Gambar 4.20 Pola XRD dari serbuk Barium heksaferit dan B
2
O
3
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 4.22 Pola XRD a Barium heksaferit setelah pemberian aditif B
2
O
3
sebesar 0.5 b . berat pelet Barium
heksaferit komsersial Gambar 4.21 Pola XRD a serbuk Barium heksaferit komsersial,
b setelah penggilingan selama 48 jam, dan c setelah pemberian imbuhan B
2
O
3
sebesar 0.5 berat.
a
c b
a
b
Universitas Sumatera Utara
73
Pada Gambar 4.21 ditunjukkan hasil analisa X-Ray Diffraction XRD dari magnet Barium heksaferit komersil dan setelah pemberian aditif B
2
O
3
sebesar 0.5
berat yang kemudian disinter pada suhu 1100
o
C dengan penahanan satu jam, dimana hasilnya hanya terdapat fasa tunggal BaFe
12
O
19.
Serbuk Barium heksaferit setelah penggilingan selama 48 jam menunjukkan terdapat fasa pengotor, data
kecocokan puncak XRD dapat dilihat di LAMPIRAN D. Serbuk setelah proses sintering
terbentuk pelet fasa pengotor sudah hilang, ini disebabkan karena adanya proses rekristalisasi oleh proses sintering. Proses sinter menyebabkan
bersatunya partikel-partikel, sehingga menyebabkan kepadatannya bertambah. Selama proses ini akan terbentuk batas-batas butir yang merupakan tahap
permulaan rekristalisasi. Selama proses sintering serbuk meleleh dan berdifusi serbuk terurai akan terjadi proses kristalisasi serbuk amorph dan self-reduction
hingga terbentuk produk akhir proses. Proses dekomposisi umumnya dilakukan hingga dicapai suhu sekitar 800
o
C dan proses terus berlangsung hingga diperoleh
komposisi yang stabil pada suhu tinggi.
Analisis struktural dan data magnetik mengungkapkan bahwa evolusi magnetisasi berkorelasi dengan evolusi jumlah dan kristalinitas BaFe
12
O
19
, seperti yang terlihat dari analisis X-ray pada gambar 4.18 sampel dengan sifat magnetik
terbaik dicapai memiliki fase tunggal BaFe
12
O
19
dengan puncak yang tajam. Akibatnya, salah satu alasan peningkatan nilai kuat magnet yang paling mungkin
karena perbaikan pada kemurnian fasa BaFe
12
O
19.
4.7 Porositas