Pengertian Cerai Gugat dan Khulu’

pakaian. 24 Dihubungkannya kata khulu‟dengan perkawinan karena dalam Al qur‟an disebutkan bahwa suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat Al Baqarah ayat 187: مت ا م “Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka” Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa ki tab fiqh khulu‟ diartikan dengan: ع ا ا اط ا ظ ب ض عب ف “Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau khulu ’. 25 Dalam buku Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha, Aris Bintania menyebutkan bahwa khulu‟menurut istilah fiqh berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar tebusan kepada pemilik akad suami dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu‟. Khulu‟ merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya. K hulu‟ disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau 24 Ibnu Manzur, Lisanul Arab juz 4, Beirut: Darehie Al Tourath Al- Arabi, t.th h. 178. Dan juga A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia . Pentashih, Ali Ma‟sum Zainal Abidan Al Munawwir, ed. 12Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, h. 360. 25 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2009, h. 231. pengganti yang diberikan istri kepada suami disebut dengan iwadh.Iwadh dapat berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati kedua suami istri. 26 Sedangkan menurut pasal1 huruf i Kompilasi Hukum Islam, khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya. Menurut pasal 124 Kompilasi Hukum Islam khulu‟ harus berdasarkan atas alasan perceraian Untuk maks ud yang sama dengan kata khulu‟ itu ulama menggunakan beberapa kata, yaitu: fidyah, shulh, mubaraah. 27 Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dalam dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Khulu‟ hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar kebolehannya terdapat di dalam Al Qur‟an dan terdapat pula dalam hadist Nabi. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 229: ف ا ح ي ي اأ مت خ ف ب تفا يف ي ع ج ا “Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami istri tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya. ” Dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, istilah khulu‟ ini tidaklah ditemukan,Pengadilan 26 Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha,Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2012,h. 134. 27 Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah, maka disebut dengan khulu’.Bila ganti rugi adalah separoh dari mahar, disebut shulh. Bila ganti rugi lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 231. Agama hanya mengenal adanya dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara permohonan cerai talak dan perkara cerai gugat. Dalam perkara cerai gugat disebutkan bahwa jika istri ingin memutuskan ikatan perkawinan dengan suaminya ia bisa menggugat cerai suaminya melalui pengadilan yang akan memutuskan hubungan perkawinan keduanya. 28 Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Disini terlihat bahwa Undang-Undang tersebut tidak membedakan antara cerai gugat dan khulu‟ sehingga mereka tidak menjelaskan pasal-pasal mengenai hal tersebut. Berbeda halnya dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI membedakan antara cerai gugat dengan khulu’.Jika sebelumnya istri ingin memutuskan hubungan perkawinan dengan suaminya mengajukan gugat, maka dalam KHI seorang istri juga bisa mengajukan pe rceraian dengan jalan khulu‟ talak tebus kepada dan dengan persetujuan suaminya. Namun berlakunya acara p erceraian dengan cara khulu‟ talak tebus tidak melahirkan jenis perkara perceraian yang baru di Pengadilan Agama, khulu‟ menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan putusan mengenai tebusan yang harus dibayar oleh istri dan perceraian menjadi dengan jatuhnya talak khulu’ dari suami. Akan tetapi perceraian dengan jalan khulu‟ talak tebus tidak justru mempermudah seorang istri untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan 28 Aris Bintaria, Hukum Acara Peradilan Agama dalam, h. 133. suaminya, ia harus tetap memiliki alasan-alasan sebagaimana yang harus juga ia buktikan dalam cerai gugat biasa, bahkan konsekuensinya ia harus membayar tebusan kepada suaminya. Dari paparan diatas terlihat adanya persamaan dan perbedaan di antara keduanya dalam pandangan KHI. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai sama-sama berasal dari pihak isteri dan alasan- alasan cerai gugat maupun khulu‟ pun harus sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam pasal 116 KHI.Sementara perbedaannya: pertama, dilihat dari wajibnya disediakan iwadh oleh istri, dalam khulu‟ iwadh harus ada, sementara pada cerai gugat tidak perlu membayar uang iwad uang tebusan. 29 Kedua, dari bentuk putusannya, cerai gugat biasanya putusannya berbentuk talak satu ba‟in sughra, dan kalau cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak dengan talak satu khul’i. Sementara pada khulu‟ apapun alasannya putusannya berbentuk talak satu khul’i. 30 Ketiga, hak istri untuk menerima nafkah iddah, pada khulu‟ istri tidak berhak atas nafkah selama masa iddah yang ia jalani, pada cerai gugat selama menjalani masa iddah ia akan tetap memperoleh nafkah iddah dari mantan suaminya. 31 Melalui cerai gugat atau khulu‟ ini, maka perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam institusi perkawinan yang dapat membebaskan istri dari 29 Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam,h.144. 30 Mahkamah Agung, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama,Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Buku IIJakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010, h.155. 31 Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam,h.144. tekanan yang dialaminya. 32 Hanya saja yang perlu dikritisi adalah bentuk penerapan cerai gugat ini masih terdapat sebuah ketidakadilan jika dibandingkan dengan talak. Apabila si istri mengajukan cerai gugatnya ke pengadilan, maka yang harus terlebih dahulu disiapkan adalah biaya untuk menebus dirinya. Dibandingkan dengan cerai talak, di mana sang suami tanpa sebuah tebusan untuk dirinya.

B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat dan Khulu’ di Pengadilan

Agama Salah satu azas-azas hukum perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah azas mempersukar atau mempersulit proses perceraian, yang disebut juga dengan azas preventif. 33 Azas mempersulit proses hukum perceraian juga terkandung dalam pasal 39 ayat [2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan imperatif bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri. Kemudian ketentuan imperatif dalam pasal 39 ayat [2] UU Nomor 1 Tahun 1974 telah dijabarkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menentukan alasan-alasan hukum perceraian. 34 32 Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian,h. 33. 33 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah Jakarta: Penamadani,2004, h. 222. 34 Alasan-alasan perceraian tersebut yaitu : 1Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan . 2 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat lagi setelah perkawinan berlangsung.4Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain . 5Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau Pasal 19 Peraturan Pemerintah diatas diulangi dalam Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan yang sama, hanya menambahkan dua anak ayatnya, yaitu: 1. Suami melanggar taklik talak. 35 2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang dibacakan suami setelah akad nikah. Kalau suami melanggar janji yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela bisa mengadu ke pengadilan untuk mengajukan perceraian. Jadi taklik talak sebagai sebuah ijtihad baru sangat penting untuk melindungi hak-hak wanita. 36 Pada prinsipnya taklik talak adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara istri. 6Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 35 Taklik talak ini telah lazim diperjanjikan dalam perkawinan dewasa di Indonesia, dimana setiap mempelai laki-laki setelah akad nikah mengucapkan ijab kabul, mengucapkan lagi ikrar taklik talak yang berbunyi sebagai berikut:“apabila saya suami meninggalkan istri saya 6 bulan berturut- turut, tanpa memberi kabar dan memberi nafkah kepada is tri saya”, atau “apabila saya suami memukul menyakiti istri saya melampaui batas dan berbeka s”, atau “ apabila saya suami menambah istri saya, maka apabila istri saya tidak ridho datang kepada saya atau pihak yang berwajib atau Kantor Urusan Agama atau mesjid dan membayar uang iwadh sebesar yang ditentukan, maka jatuhlah talak saya suami s atu”. Lebih lanjut baca Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, h. 141. Memang tidak jelas kapan metode perceraian taklik talak ini pertama kali dipraktekkan, sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Lukito dalam bukunyaseorang ilmuan belanda, Jan Prins, sudah mengklaim pada tahun 1951 institusi taklik ini cenderung untuk mempertahankan beberapa hak tradisional istri, berasal dari dekret yang dikeluarkan oleh seorang raja Mataram pada abad ketujuh belas Masehi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu terhadap institusi taklik talak ini, membuktikan adanya percampuran elemen-elemen yang diderivasikan dari hukum adat dan hukum Islam. Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islamdan Adat di Indonesia Jakarta: INIS, 1998 h. 78. 36 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh No 11974 sampai KHIJakarta: Kencana, 2004, h. 22. suami istri. Secara prinsipil pernyataan dalam taklik talak berupa ikrar dari suami dan hanya mengikat pada suami istri itu sendiri. Lembaga taklik talak disamping untuk menjaga kerukunan hubungan suami istri juga untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Undang-Undang Perkawinan tidak menyinggung murtad sebagai alasan perceraian sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam murtad dijadikan alasan perceraian. Artinya jika salah satu keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 39 dan pasal 40. 37 Pasal 115 KHI menegaskan bunyi Pasal 39 UU Perkawinan yang sesuai dengan konsep KHI, yaitu orang Islam: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dengan aturan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum. 38 Menurut pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami, istri, dan kuasanya kepada pengadilan yang daerah 37 Pasal 39 UU Perkawinan:1 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3 Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang- undangan tersendiri. 38 Yayan Sopyan, Islam – Negara, h. 193.