Akibat Cerai Gugat KAJIAN TEORITIS TENTANG CERAI GUGAT

ba‟da dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami KHI Pasal 158. 50 Sementara cerai gugat adalah percer aian dengan kehendak istri, maka ia tidak berhak atas mut‟ah Ketiga, tidak dapat ruju‟. Cerai Gugat putusannya berupa talak ba‟in sughra. Talak ba‟in sugra adalah talak satu atau dua disertai dengan iwadh dari istri kepada suami yang dengan akad nikah baru suami dapat kembali kepada istrinya. 51 Sementara KHI dalam Pasal 119 ayat 1 menjelaskan bahwa talak ba‟in sughra adalah 50 Terdapat perbedaan dalam pendapat para ulama mazhab tentang wanita yang berhak mendapatkan mut‟ah. Pertama, Mazhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Alaudin Al Kasani berpendapat: a wajib apabila terjadi perceraian sebelum dukhul qabla dukhul yang tidak disebut mahar sewaktu akad nikah dan penyebab perceraiannya adalah dari laki-laki, b Mustahabbah, apabila terjadi talak dalam keadaan selain tersebut pada point a di atas. Kedua , Mazhab Syafi‟i dan Ibnu Taimiyah berpendapat, wajib bagi semua perempuan yang ditalak kecuali yang berhak menerima separuh mahar. Baik penyebab perceraian dari laki-laki maupun penyebab dari perempuan. Ketiga, Umar, Ali Husein bin Ali mengatakan wajib mut‟ah bagi perempuan yang ditalak secara mutlak, tanpa kecuali. Lihat lagi Mudatsir Roci,”Seputar Masalah Mut‟ah, “ Suara Uldilag VII, no 4 Maret 2004: h. 88 Abu Bakar Al Jashash dalam kitab Tafsirnya sebagaimana yang dikutip oleh Edi Riadi menguraikan perbedaan pendapat ulama salaf dan khalaf tentang hukum pemberian mut‟ah dari laki- laki kepada mantan istrinya. Para ulama salaf dan khalaf dalam menyikapi hukum mut‟ah terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Abu Zainal, Abi Laila dan Al Laits berpendapat memberikan mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya sunnah bukan wajib, sehingga suami tidak dapat dipaksa untuk memberi mut‟ah kepada bekas istrinya. Kelompok kedua berpendapat, suami memberi mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya wajib. Kelompok kedua ini walaupun sepakat hukum memberikan mut‟ah wajib, akan tetapi mereka terbagi kepada lima varian. Pertama, suami yang mentalak istrinya wajib memberikan mut ‟ah kepada mantan istrinya secara mutlak, pendapat ini dipelopori oleh Ali ra. Kedua , wajib memberikan mut‟ah, terbatas untuk mantan istri yang ditalak apabila si istri tersebut belum diberi mas kawin dan belum disenggama, demikian pendapat Syuraih, Ibrahim dan Al Hasan. Ketiga , Ibnu Abbas dan Nafi‟ berpendapat wajib memberi mut‟ah untuk istri yang ditalak, sudah diberi mahar tapi belum disenggama oleh suaminya. Keempat, pendapat Muhammad Bin Ali, mut‟ah wajib untuk mantan istri yang belum diberi mahar baik sudah disenggama maupun belum disenggama. Kelima , pendapat Abu Amar, beliau berpendapat mut‟ah wajib untuk seorang istri yang ditalak, akan tetapi mantan istri yang sudah diberi mahar belum disenggama hanya berhak mut‟ah sebanyak ½ jumlah mahar. Abu Bakar Al Jashash sendiri berpendapat pemberian mut‟ah wajib secara mutlak untuk istri yang ditalak. Lihat lagi, Edi Riadi, “ Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian Study Banding Hukum Normatif di Negara Turki, Tunisia, Mesir dan Iran , Suara Uldilag II, no 6April 2005: h. 67. 51 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011 h. 29. talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Sementara ayat 2 nya menyebutkan bahwa bentuk talak ba‟in tersebut berupa: a talak yang terjadi qabla al-dukhul, b talak dengan tebusan khulu‟, c talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Sedangkan dalam hal-hal lain tidak ada perbedaan akibat hukum antara cerai gugat dan talak seperti dalam hal harta bersama dan hadhanah. Terhadap harta bersama diatur dalam pasal 37 UU Perkawinan.Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa mengenai harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama, hukum adat atau hukum yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa UU No 1 Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang berlaku. Menurut penjelasan Mohd. Idris Ramulyo sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Syaifuddin, dalam hukum Islam apabila terjadi putus hubungan perkawinan, baik karena cerai talak atau cerai gugat, maka harta bersama yang diperoleh selama perkawinan itu harus dibagi antara suami istri menurut pertimbangan yang sama. 52 Dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam ditentukan bahwa akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 97 yang memuat 52 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 428. ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 53 Adapun akibat hukum perceraian terhadap anak diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 sebagaimana yang disebutkan di atas. Pasal ini merupakan suatu wujud normatif dari upaya negara untuk melindungi hak-hak anak setelah terjadiperceraian dari kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi negara hukum melindungi dan mengakui HAM. 54 Menurut Ahmad Rafiq dalam bukunya Hukum Islam Di Indonesia menanggapi pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 adalah adanya perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material, dan tanggung jawabpengasuhan. Jika ketentuan pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 tersebut lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika mampu, namun disisi lain apabila terjadi suami tidak mampu maka pengadilan dapat menentukan lain. 55 Kompilasi Hukum Islam mengaturnya secara lebih rinci dalam pasal 105 sebagai berikut: Dalam hal terjadinya perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 53 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 429. 54 Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, h. 375. 55 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, h. 248. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak merupakan tanggung jawab dari ayah, besar nominal kebutuhan si anak dalam hal pemeliharaan dan pendidikan ditetapkan oleh hakim setalah perkawinannya dinyatakan putus di muka pengadilan, besarnya juga disesuaikan dengan kemampuan finansial si ayah. Berdasarkan pertimbangan hakim hal ini bisa disimpangi apabila si ayah menurut pandangan hakim dalam kenyataannya tidak cukup finansial untuk memenuhi semua kebutuhan si anak, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 56 Jika menurut pandangan hakim baik ibuataupun ayah dianggap sama-sama tidak mampu, maka pengadilan dapat mengangkat seorang wali berdasarkan Pasal 50 UU No 1 Tahun 1974. 57 56 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994 h.374. 57 Pasal 50 UU No 1 Tahun 1974 ayat 1 anak yang belum mencapai umur 18 delapan belastahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2 Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. 41

BAB III HAK PEREMPUAN MEMPEROLEH NAFKAH IDDAH

A. Pengertian Nafkah Iddah

Konsekuensi logis dari adanya akad nikah dalam Islam adalah terdapatnya sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, suami dan istri. 58 Kewajiban salah satu pihak merupakan hak bagi pihak yang lain. Salah satu dari kewajiban itu adalah masalah nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami kepada istrinya. 59 Diantara rahmat yang diberikan oleh Islam kepada kaum perempuan untuk memelihara hak-hak mereka adalah hukum-hukum yang terdapat pada masa iddah masa menunggu ketika ia ditalak atau ditinggal mati suaminya. Pada masa iddah yang b 60 oleh diruju‟ atau dalam keadaan hamil, baik dalam masa iddah talak raj‟i atau talak ba‟in, perempuan berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. 61 Nafkah iddah berasal dari dua kata yang masing-masingnya memiliki makna tersendiri, yaitu nafkah dan iddah. Kata nafkah secara etimologi berasal dari kata yang berarti yang berarti berkurang. Juga berarti yang berarti 58 Peunoh Daly dalam bukunya menambahkan bahwa keharusan suami memberikan nafkah kepada istrinya ialah apabila mereka sudah tinggal sekamar dan watha‟, bukan karena sudah terjadi akad nikah saja. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara- Negara Islam Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005 h. 99. 59 Zubair Ahmad, ”Nafkah Istri dalam Islam.” Sri Mulyati,ed.,Relasi Suami Istri dalam Islam Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004 h.61. 60 Ibnu Manzur, Lisanul Arab Juz 14, h. 242 61 Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer Jakarta: Ghalia Indonesia, t.th, h. 112. hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberi nafkah membuat harta yang dimiliki menjadi sedikit karena telah dilenyapkan atau dipergikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung artisesuatu yang dikeluarkan dari harta untuk kepentingan istri sehingga menyebabkan harta menjadi berkurang. 62 Di dalam Al qur‟an secara jelas ditemukan bahwa suami berkewajiban memenuhi nafkah bagi istrinya, sebagaimana firman Allah berikut ini. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya “ Al-Baqarah : 233 Kata rizki dalam ayat tersebut dijelaskan oleh para ahli tafsir diantaranya Quraih Shihab dalam Tafsir Al Misbah sebagai kebutuhan makanan pangan. 63 Sementara kata kiswah dipahami sebagai pakaian. 64 Dari ayat tersebut jelas bahwa tanggung jawab nafkah dibebankan kepada suami, termasuk jika istri adalah orang yang memiliki kekayaan. 62 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 165. 63 M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Vol 1 Jakarta: Lentara Hati, 2002 h. 504 64 Hal ini juga terdapat dalam Surat At thalaq ayat 7 “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ” Sementara iddah adalah masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami. Iddah ini hanya berlaku bagi istri yang telah didukhul. Sedangkan bagi istri yang belum didukhul qabla dukhul dan putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa iddah. 65 Dari definisi nafkah dan iddah diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang telah diceraikannya baik berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Waktu pemberian nafkah tersebut adalah selama masa iddah dan jika mantan istri telah lewat masa iddahnya, berarti tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah sudah selesai. Bentuk nafkah yang diberikan oleh suami selama masa iddah adalah makanan, minuman, tempat tinggal, uang atau lainnya.Dalam hal ini perlu ditegaskan bentuk pemberian nafkah pada istri adalah kebutuhan material, bukan kebutuhan bathiniah termasuk sex dan lainnya. Bentuk dan besarnya pemberian nafkah tersebut pada dasarnya tidak ditegaskan secara jelas, akan tetapi hanya secara umum. Dalam pemberian bentuk dan besarnya nafkah lebih ditentukan atas dasar kemampuan pihak suami. 66 65 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.242. 66 Hanif Bagus Azhar ,” Nafkah Iddah bagi Mantan Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Analisis Putusan Perkara Nomor 1038pdt.G2008PA.Jt,” Skripsi S1Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 21.