Pengertian Nafkah Iddah HAK PEREMPUAN MEMPEROLEH NAFKAH IDDAH

Sementara iddah adalah masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami. Iddah ini hanya berlaku bagi istri yang telah didukhul. Sedangkan bagi istri yang belum didukhul qabla dukhul dan putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa iddah. 65 Dari definisi nafkah dan iddah diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian nafkah iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang telah diceraikannya baik berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Waktu pemberian nafkah tersebut adalah selama masa iddah dan jika mantan istri telah lewat masa iddahnya, berarti tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah sudah selesai. Bentuk nafkah yang diberikan oleh suami selama masa iddah adalah makanan, minuman, tempat tinggal, uang atau lainnya.Dalam hal ini perlu ditegaskan bentuk pemberian nafkah pada istri adalah kebutuhan material, bukan kebutuhan bathiniah termasuk sex dan lainnya. Bentuk dan besarnya pemberian nafkah tersebut pada dasarnya tidak ditegaskan secara jelas, akan tetapi hanya secara umum. Dalam pemberian bentuk dan besarnya nafkah lebih ditentukan atas dasar kemampuan pihak suami. 66 65 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.242. 66 Hanif Bagus Azhar ,” Nafkah Iddah bagi Mantan Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Analisis Putusan Perkara Nomor 1038pdt.G2008PA.Jt,” Skripsi S1Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 21.

B. Nafkah Iddah menurut Fuqaha Mazhab

Suami diwajibkan untuk memberi nafkah pada masa iddah ini, karena selama pada masa ini istri masih belum memiliki kebebasan diri dan masih dilarang melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain. Namun demikian hak nafkah yang harus diterima istri tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku dalam ikatan pernikahan.Bentuk nafkah yang diterima istri tergantung pada bentuk perceraiannya. Pertama , jika suami istri bercerai dalam bentuk talak raj‟i maka diwajibkan untuknya nafkah dengan berbagai jenisnya yang berbeda, yang terdiri dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal, menurut kesepakatan fuqaha, karena perempuan yang tengah menjalani masa iddah adalah masih dianggap sebagai istri selama berada pada masa iddah. 67 Hal ini berdasarkan firman Allah swt: “tempatkanlah mereka para istri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”QS Ath thalaq :6 Kedua , jika dia berada pada masa iddah talak ba‟in, baik bain sugra ataupun ba‟in kubra, dan dia tengah berada dalam kondisi hamil, maka diwajibkan untuk nafkah secara utuh. Hal ini berdasarkan firman Allah swt: “dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin”. QSAth thalaq:6 67 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu,Jilid 9,Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani,dkk, Jakarta: Darul Fikir, 2011, h. 563 Jika suami istri bercerai dalam bentuk talak ba‟in dan istri tidak dalam keadaan hamil, maka ulama berbeda pendapat yang dikelompokkan atas 3 bagian yaitu: Pertama, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut berhak memperoleh nafkah secara utuh dengan syarat dia tidak meninggalkan rumah yang disediakan suami yang menceraikannya. 68 Akibat tertahannya dia pada masa iddah demi hak suami. 69 Mereka berdalil dengan keumuman perintah firman Allah swt dalam QS Ath thalaq :6. مك ج م مت ثيح م ا “tempatkanlah mereka para istri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”Ayat tersebut mewajibkan semua suami yang menceraikan istrinya tanpa membedakan bentuk perceraiannya agar menyediakan tempat tinggal buat istri. Ketika syariat mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal kepada istri, maka menjadi kewajiban suami pula untuk memberi nafkah yang lainnya. 70 Pendapat ini diikuti oleh Muhammad Ali al-Shabuni bahwa ayat tersebut bentuk lafaznya umum meliputi perempuan yang ditalak raj‟i, talak ba‟in, dan talak khulu‟. 71 Begitu pula dengan pendapat Umar bin Khattab, Tsauri dan Umar bin Abdul Aziz. 72 68 Tihami Sohari Sahrani, Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2009, h. 174. 69 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu ,h. 563. 70 Ibrahim Muhammad Al Jamal, Fiqhu al- Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah S.Ziyad „Abbas, Fiqh Wanita Islam Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991, h. 118. Lihat juga, Tihami Sohari Sahrani, Kajian Fiqh Nikah Lengkap...h. 174. 71 Edi Riadi, “ Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian Study Banding Hukum Normatif di Negara Turki, Tunisia, Mesir dan Iran , Suara Uldilag II, no 6April 2005: h. 69 72 Sayyid Sabiq, Fiqhun Sunnah . Penerjemah Moh Thalib, Fiqih Sunnah 7 Bandung: PT Al maarif, 1986, h.79. Kedua, Mazhab Hambali berpendapat tidak diwajibkan nafkah dan tempat tinggal untuknya.Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan Ishaq. Pendapat ini juga disampaikan dari Ali, Ibnu Abbas, Jabir, Hasan, Atha‟ dan Mazhab Imamiyah. 73 Mereka menyandarkan pendapatnya pada hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Fatimah binti Qais yang mengatakan : , ث اث َط ا يف ا ى ي : tentang perempuan yang ditalak tiga , Rasulullah bersabda: tidak ada hak baginya, tempat tinggal dan tidak juga nafkah. 74 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Rasulullah saw bersabda أ ى ا ا ا ج ا ي ج ك ا sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri jika suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya. 75 Ketiga , Menurut Mazhab Maliki dan Syafi‟i hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS At Thalaq: 6 مت ثيح مtempatkanlah mereka para istri di mana kamu bertempat tinggal. Dia diwajibkan untuk memberi si istri tempat tinggal saja tanpa mempedulikan apakah si istri dalam keadaan hamil atau tidak. 76 Bagi mereka tidak diwajibkan untuk nafkah makanan dan pakaian, karena itu khusus diberikan kepada istri yang sedang hamil. Para ulama berbeda pendapat tentang kadar nafkah yang menjadi kewajiban suami. Iman Ahmad mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan 73 Sayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 3 Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011 h. 445 74 Sayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. 3.h. 445 75 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, h. 563. 76 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, h. 563. Dan lihat jugaSayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. 4. h. 136