Putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati tentang Nafkah Iddah Pada
                                                                                No Bulan
Faktor Dominan Penyebab Perceraian
Tidak Ada Tanggung
Jawab Pengania
yan berat Cemburu  Ekonomi
Tidak ada keharmoni
san Gangguan
pihak ketiga
1 Januari
12 -
- 1
9 3
2 Februari
6 -
1 4
11 3
3 Maret
9 -
1 8
6 3
4 April
4 -
2 3
7 3
5 Mei
8 -
- 2
9 7
6 Juni
11 -
1 2
9 1
7 Juli
6 1
1 -
8 5
8 Agustus
14 5
- -
8 6
9 September
6 1
- 1
6 6
10 Oktober
10 -
- -
8 8
11 November
7 -
- 5
8 8
12 Desember
6 -
- 1
11 11
Apabila  suatu perceraian telah berkekuatan hukum tetap suami tidaklah bebas berpisah begitu saja, antara keduanya masih terikat dengan berbagai kewajiban yang
harus  dilakukan  dan  hak  yang  harus  diterima  sebagai  akibat  dari  perceraian  yang mereka  lakukan.  Karena  perceraian  dapat  terjadi  dalam  beberapa  bentuk  dengan
berbagai macam penyebab, maka hak dan kewajiban pun berbeda, tergantung  bentuk dan penyebab perceraiannya.
Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan bahwa apabila istri mengajukan cerai gugat, mak
a hakim akan memutuskan perkara tersebut dengan talak ba‟in, yang mana akibat dari talak ini adalah istri tidak berhak memperoleh nafkah iddah  dan mut‟ah.
Hal  ini  dikarenakan  istri  yang  mengajukan  cerai  gugat  dinilai  istri  yang  nusyuz sehingga  pantas  untuk  tidak  mendapatkan  hak  nafkah  iddah.  Faktanya  dalam
kehidupan  ketika  menjalani  rumah  tangga  banyak  ditemui  alasan-alasan  yang menyebabkan  istri  mengajukan  gugatan  cerai  terhadap  suaminya  diantaranya  sikap
atau  perbuatan  suami  yang  tidak  bisa  ditoleransi  oleh  istri,  seperti  suami  ringan tangan kepada istri atau yang lebih dikenal dengan  istilah KDRT, menelantarkan atau
menyengsarakan  keluarga  dan  melakukan  poligami  liar,  sedangkan  istri  sudah  tidak sanggup lagi untuk menahan penderitaan tersebut.
Pada pembahasan ini akan fokus menyoroti hak nafkah iddah bagi  istri  yang mengajukan cerai gugat karena mengalami KDRT dan atau poligami liar. Dari sekian
putusan perkara cerai gugat, diambil 12 data yang akan dianalisis, diantara 12 putusan tersebut 7 putusan yang berupa KDRT dan 5 putusan berupa poligami liar.
Setelah  mempelajari  12  salinan  putusan  tersebut  ditemukan  bahwa  tidak  ada satu putusan pun yang  menghukum suami untuk membayar hak nafkah iddah kepada
istri yang akan menjalani masa iddah talak ba‟in dan istri tidak dalam keadaan hamil.
Padahal  terdapat  beragam  alasan  yang  menyebabkan  istri  mengajukan  gugat  kepada suaminya yang salah satunya adanya kekerasan atau kekejaman dari suami.
Dari  penelitian  yang  dilakukan  penulis,  juga  tidak  ditemukan  putusan  cerai gugat  atau  khulu‟  yang  dikomulasikan
94
dengan  tuntutan  agar  suami  membayar nafkah iddah. Padahal untuk mendapatkan hak tersebut istri bisa mengajukan gugatan
perceraian  yang dikomulasikan dengan tuntutan  hak  nafkah iddah. Ketika istri tidak melakukan hal ini maka ia tidak akan mendapatkan hak-hak pasca perceraian. Akan
tetapi  dalam  perkara  tertentu  jika  istri  mengajukan  gugatan  cerai  yang  tidak dikomulasikan  dengan  hak  nafkah  iddah,  dan  alasan  gugatan  cerai  tersebut  adalah
adanya  kekerasan  dan  kekejaman  suami,  maka  sebagaimana  yang  disebutkan  dalam Buku  II  Pedoman  Pelaksanaan  Tugas  dan  Administrasi  Peradilan  Agama,  maka
hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah.
94
Komulasi  Gugatan  dikenal  dengan    istilah  penggabungan  gugatan.  Penggabungan  gugatan diatur dalam RV. Pasal 135 dan 135 RV mengatakan, apabila satu pengadilan ada 2 perkara yang satu
sama  lain  saling  berhubungan,  lebih-lebih  apabila  kedua  perkara  tersebut    berlangsung  antara penggugat  dan  tergugat  yang  sama,  salah  satu  pihak  atas  keduanya  dapat  mengajukan    permohonan
kepada  majlis  agar  kedua  perkara  tersebut  digabungkan.    MohTaufik  Makarao,  Pokok-Pokok  Hukum Acara Perdata Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004 h. 90.
Selanjutnya  Abdul  Manan  menambahkan  dalam  bukunya,  bahwa  apabila  penggugat mengajukan  lebih dari satu objek gugatan dalam  satu perkara sekaligus, ini disebut dengan  komulasi
Objektif. Sementara apabila penggabungan terjadi pada subjeknya  baik penggugat maupun tergugat, ini  disebut  komulasi  subjektif.  Dalam  praktik  Pengadilan  Agama,  komulasi  objektif  ini  dapat  terjadi
dalam  perkara  perceraian  yang  digabungkan  sekaligus    dengan  tuntutan  nafkah  selama  ditinggal, nafkah  anak  selama  ditinggal  dan  yang  akan  datang,  pemeliharaan  anak  dan  nafkah  iddah.  Objek
gugatan  tersebut  dapat  dituntut  sekaligus  bersamaan  dengan  gugat  cerai,  karena  hal  ini  akan memudahkan  proses  berperkara,  menghemat  waktu  dan  tenagaserta  biaya.  Lihat  Abdul  Manan,
Penerapan Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Peradilan Agama h. 28.
Sudikno  Mertokusumo  menambahkan  dalam  bukunya,  komulasi  berbeda  dengan  konkursus, yang  mana  konkursus  adalah  kebersamaan  adanya  beberapa  tuntutan  hak.  Konkursus  terjadi  apabila
seorang  penggugat    mengajukan  gugatan  yang  mengandung  beberapa  tuntutan    yang  kesemuanya menuju kepada satu akibat hukum yang sama. Dengan dipenuhi dan dikabulkannya salah satu tuntutan,
maka tuntutan lainnya sekaligus terkabul. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia
Yogyakarta:Liberti Yogyakarta, 1998, h. 77.
Berikut akan dipaparkan hasil penelitiannya. Ini dibedakan menjadi dua point penting.
1. Cerai Gugat dengan alasan istri mengalami KDRT
Diantara 12 salinan tersebut terdapat 7 putusan yang diajukan istri yang faktor penyebabnya  adalah  kekerasan  suami  kepadanya.  Yaitu  Putusan  Nomor
0157Pdt.G2012PA.LK, 0168 Pdt.G2012PA.LK, 0170 Pdt.G2012PA.LK, 0175 Pdt.G2012PA.LK,  0201  Pdt.G2012PA.LK,  0231  Pdt.G2012PA.LK,  dan  0236
Pdt.G2012PA.LK.
Setelah  mempelajari  ke  7  putusan  tersebut  ditemukan  bahwa    istri  tidaklah istri  yang  nusyuz  kepada  suaminya.  Alasan  mereka  mengajukan  cerai  gugat
dikarenakan tidak sanggup lagi  menahan sikap suami  yang sudah semena-mena dan tidak  menghargainya  sebagai  seorang  istri.  Pertengkaran-pertengkaran  yang  terjadi
kadang diiringi dengan tamparan maupun pukulan kepada istri sampai meninggalkan bekas dan luka ditubuh istri.  Seperti pada perkara Nomor 0170  Pdt.G2012PA.LK,
hanya  karena  persoalan  kecil  suami  menendang  istri  tatkala  istrinya  sedang  hamil sehingga sang anak yang dalam kandungan meninggal dunia. Tidak hanya itu, suami
juga sering memukul, mencekik dan tidak segan-segan mematahkan ibu jari sang istri hanya  dikarenakan  istri  tidak  sengaja  menyenggolnya  dengan  payung.  Hal  ini
dibenarkan oleh saksi dalam pernyataannya,  bahkan dalam pertimbangannya hakim juga  menyebutkan  bahwa  suami  sering  melakukan  kekerasan.  Akan  tetapi  dalam
putusannya  hakim  tidak  menghukum  suami    secara  ex  officio  untuk  membayar  hak nafkah iddah kepada istri.
Begitu  juga  dengan  perkara  nomor    0168  Pdt.G2012PA.LK  dan  0175 Pdt.G2012PA.LK. Dalam perkara yang pertama, ketika terjadi pertengkaran  suami
memukul  dan  mendorong  kepala  istri  ke  dinding,    pertengkaran  disebabkan  suami tidak mau mengajak anaknya bermain ketika istri sedang mengurus pekerjaan rumah.
Suami  memukul  istrinya  hampir  disetiap  pertengkaran  yang  terjadi.  Istri  telah bersabar selama 7 tahun untuk mempertahankan rumah tangga. Dan puncaknya pada
tahun 2011 dimana suami meminta istri untuk melakukan hubungan suami istri, tetapi istri  menolak  karena  dia  dalam  kondisi  sakit,  suami  yang  tidak  menerima  alasan
tersebut,  sehingga  terjadilah  pertengkaran,  suami  memukul  istri  sampai  bibir  dan matanya memar serta kuku terkelupas.  Berdasarkan hal  demikian istri merasa tidak
sanggup  lagi  untuk  mempertahankan  kondisi  rumah  tangganya.  Sementara  dalam perkara  nomor  0175  Pdt.G2012PA.LK,  pertengkaran  terjadi  karena  suami  tidak
suka  mendengar  suara  tangisan  anaknya  dan  langsung  marah  kepada  istri,  suami menampar  telinga  sang  istri  sampai  tuli,  lalu  suami  pergi  selama  2  bulan.  Setelah
kembali  lagi,  terjadi  pertengkaran  karena  suami  tidak  memberikan  nafkah  kepada istrinya  samapai  beras  yang  dimasak  pun  tidak  ada,  padahal  ia  bekerja.  Dalam
pertengkaran tersebut suami kembali memukul istri. Pertengakaran berikutnya terjadi ketika  anak  pertama  ingin  menggunakan  sepeda  motor  untuk  pergi  bekerja,  namun
suami  tidak  mengizinkannya,  meskipun  demikian  sang  anak  tetap  membawa  dan
suami  marah  kepada  istrinya  serta  memukul  istri  dengan  kayu,  untungnya  sang  istri cepat menghindar sehingga kayu tersebut tidak melukai dirinya. Dua perkara tersebut
juga dikuatkan oleh keterangan saksi dan juga disebutkan dalam pertimbangan hakim. Namun  dalam  putusannya  hakim  tetap  tidak  menghukum  suami  atau  tergugat  untuk
membayar hak nafkah iddah kepada istri.
2. Cerai Gugat dengan alasan suami melakukan poligami liar
5 putusan lainnya berupa putusan cerai gugat dengan alasan suami melakukan poligami
liar, yaitu:
Putusan Nomor
0176 Pdt.G2012PA.LK,
0187 Pdt.G2012PA.LK,  0194  Pdt.G2012PA.LK,  0228  Pdt.G2012PA.LK  dan  0212
Pdt.G2012PA.LK. Dari ke 5 lima perkara tersebut tak ada satu pun putusan yang menghukum  suami  untuk  memberi  nafkah  iddah.  Istri  mengajukan  gugatan
perceraian karena suami melakukan poligami liar dan juga kekerasan kepada istrinya. Poligami  liar  ini  tidak  hanya  sekali,  tetapi  beberapa  kali  dilakukan  suami  dengan
selingkuhannya  yang  lain.  Bahkan  suami  tidak  segan-segan  untuk  membawa  istri mudanya  tinggal  di  kediaman  bersama  dengan  istri  pertama.  Seperti  putusan  nomor
0176  Pdt.G2012PA.LK,  ketika  istri  bertanya  tentang  selingkuhan-selingkuhan suaminya, suami langsung manampar istri, lalu meninggalkan anak dan istri selama 3
tahun.  Hal  ini  juga  dibuktikan  oleh  keterangan  saksi  dan  juga  dicantumkan  dalam pertimbangan  hakim.  Dalam  perkara    ini  pun,  hakim  tetap  tidak  menghukum  suami
untuk  membayar  hak  nafkah  iddah.  Padahal  disini  istri  tidak  hanya  diduakan  tetapi juga mendapat kekerasan, sehngga ia sangat menderita lahir bathin
Sementara  dalam  perkara  nomor  0194  Pdt.G2012PA.LK,  semenjak  suami melakukan poligami liar, pertengkaran sering terjadi, hal ini disebabkan suami tidak
adil  dalam  pembagian  waktu  dan  juga  nafkah,  sehingga  istrilah  yang  bekerja  untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun sudah dijadwal ketika suami di rumah istri
lama,  istri  baru  sering  menelpon  dan  menyuruh  pulang  ke  rumahnya.  Suami  akan langsung  pulang  ke  rumah  istri  barunya.  Hal  ini  terjadi  berkali-kali  sehingga  istri
pertama  merasa  tersiksa  lahir  bathin,  ia  sudah  bersabar  dan  menasehati  suami  agar merubah sikapnya, apalagi mereka memiliki tiga orang anak yang akan melihat sikap
ayahnya seperti
itu. Lain
halnya dalam
kasus pada
perkara nomor
228Pdt.G2012PA.LK,  setelah  hidup  rukun  selama  13  tahun,  penggugat  mendapat kabar  bahwa  tergugat  mempunyai  hubungan  khusus  dengan  seorang  wanita  yang
merupakan  karyawan  yang  bekerja  pada  penggugat  dan  tergugat.  Dan  pada  tahun 2010  hubungan  tergugat  dengan  selingkuhannya  semakin  dekat,  sehingga
menyebabkan  tergugat  dan  penggugat  pisah  ranjang,  namun  masih  serumah.  Pada bulan  Februari  2011  tergugat  menyuruh  kakak  tergugat  untuk  mengantarkan
penggugat  ke  rumah  orang  tuanya  karena  penggugat  sudah  sakit-sakitan  dan  tidak bisa berbuat apa- apa semenjak tahun 2010.setelah penggugat berada di rumah orang
tuanya, tergugat tidak pernah datang menjenguk, mereka telah berpisah selama lebih kurang  1  tahun  5  bulan,  dan  selama  berpisah  pun  tergugat  tidak  pernah  memberi
nafkah  kepada  penggugat.  Dan  semenjak  2011  tergugat  ternyata  sudah  menikah secara  resmi  dengan  selingkuhannya  tersebut.  Dalam  perkara  ini  memang  sang  istri
tidak mendapat kekerasan secara fisik, akan tetapi secara bathin pasti mereka tersiksa, akan  tetapi  sang  hakim  dalam  putusan  tetap  tidak  menghukum  tergugat  untuk
membayar hak nafkah iddah kepada tergugat.
Apabila dilakukan analisis, semua  putusan  Pengadilan Agama Tanjung Pati Tahun  2012  yang  tidak  menghukum  suami  untuk  membayar  nafkah  iddah  kepada
bekas istri  yang ditalak  ba‟in dan dalam keadaan tidak hamil adalah sesuai dengan peraturan-peraturan yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana yang
diatur  dalam  Pasal  119  bahwa  istri    yang  mengajukan    cerai  gugat  akan  dihukum dengan  talak  ba‟in.  Dilanjutkan    pasal  149  mengatur  istri  yang  ditalak  ba‟in  yang
tidak  dalam  keadaan  hamil,  tidak  berhak  menerima  nafkah  iddah.  Akan  tetapi  jika melihat  kepada  alasan  atau  faktor-  faktor  terjadinya  perceraian  tidak  bisa  semua
putusan  yang  dijatuhkan  talak  ba‟in  mengakibatkan  istri  tidak  berhak  menerima nafkah  iddah.  Karena  belum  tentu  istrilah  yang  menjadi  penyebab  perceraian  dalam
artian istri nusyuz,  sehingga ia berhak tidak menerima nafkah iddah. Apabila terbukti suami yang menjadi penyebab perceraian, apakah disini akan menjadi suatu keadilan
bagi istri jika ia juga dihukum dengan tidak mendapat hak nafkah iddah.
Disini  penulis  akan  memaparkan  beberapa  pertimbangan:  Pertama, seharusnya  tidak  semua  istri  yang  mengajukan  cerai  gugat  harus  kehilangan  hak
memperoleh nafkah iddah. Ketika seorang istri mengajukan cerai gugat karena tidak dapat menahan beban psikis maupun fisik yang telah dilakukan suaminya, padahal ia
adalah  istri  yang  tidak  nusyuz.  Suatu  ketidakadilan  jika  ia  juga  harus  menerima hukuman  untuk  tidak  mendapat  hak  nafkah  iddah.  Pasal-pasal  yang  telah  diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam tadi akan lebih cocok jika diterapkan pada kasus istri yang mengajukan cerai gugat sementara suami tidak terbukti melakukan kekejaman.
Kedua,  berpedoman  kepada  Yurisprudensi  Mahkamah  Agung  RI  Nomor 137KAG2007  dan  Nomor  276KAG2010.  Kedua  putusan  Mahkamah  Agung
tersebut  memberikan  nafkah  iddah  bagi  istri  yang  mengajukan  gugat  cerai.  Dalam pertimbangan  putusan    itu  disebutkan  bahwa    sesuai  ketentuan  Pasal  41  huruf  c
Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  jo  Pasal  149  huruf  b  Kompilasi  Hukum Islam,  meskipun  gugatan  diajukan  oleh  istri  akan  tetapi  tidak  terbukti  istri  telah
berbuat  nusyuz,  maka  Mahkamah  Agung  berpendapat  Termohon  Kasasi  harus dihukum  untuk  memberikan  nafkah  iddah  kepada  Pemohon  Kasasi,  dengan  alasan
istri harus menjalani masa iddah dan tujuan dari iddah itu antara lain unt uk istibra‟,
yang mana istibra‟ tersebut menyangkut kepentingan suami.
Ketiga,    merujuk  kepada  pendapat  Imam  Hanifah  dan  pengikutnya  bahwa perempuan  yang  ditalak
ba‟in  dan  tidak  dalam  keadaan  hamil,  berhak  memperoleh nafkah  secara  utuh  dengan  syarat  dia  tidak  meninggalkan  rumah  yang  disediakan
suami  yang  menceraikannya.  Akibat  tertahannya  dia  pada  masa  iddah  demi  hak
suami. Berdalil dengan keumuman perintah firman Allah swt dalam QS Ath thalaq :6. ح  م
ا مك  ج   م  مت   ثي
“tempatkanlah  mereka  para  istri  di  mana  kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” Ayat tersebut mewajibkan semua suami
yang  menceraikan  istrinya  tanpa  membedakan  bentuk  perceraiannya  agar menyediakan  tempat  tinggal  istri.  Ketika  syarat  mewajibkan  suami  untuk
menyediakan tempat tinggal kepada istri, maka menjadi kewajiban suami pula untuk memberi nafkah yang lainnya.
Keempat,  Buku  II  Pedoman  Teknis  Pengadilan    Agama  ditentukan  bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim
secara  ex  officio  dapat  menetapkan  nafkah  iddah,  dan  nafkah  iddah  itu  diberikan kepada  istri  yang  mengajukan  gugat  cerai  karena  kekejaman  dan  kekerasan  suami.
Dalam buku tersebut memang tidak dijelaskan apakah itu mencakup kekejaman fisik semata  atau  juga  kekejaman  psikis.  Menurut  penulis  makna  kekejaman  tersebut
mencakup kekejaman fisik dan psikis. Istri yang mengajukan gugat cerai karena tidak sanggup  menahan  beban  psikis  rumah  tangga  kadang  kala  ini  disebabkan  oleh
perilaku suaminya, padahal istri sudah menjalankan kewajibannya dengan baik, maka ia berhak diberikan nafkah iddah.
                