Komparasi antara Pendapat Fuqaha Mazhab dan Peraturan Perundang-
                                                                                menjalani  masa  iddah.
83
Akan  tetapi  dari  sisi  lain  dapat  pula  dipahami  bahwa Kompilasi  Hukum  Islam  menentukan  tidak  ada  hak  nafkah  maupun  hak  tempat
tinggal bagi perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil.
Dalam  hal  ini  terlihat  bahwa  para  perumus  Kompilasi  Hukum  Islam  di Indonesia hanya melakukan kodifikasi dalam bentuk takhayyur.
84
Adanya takhayyur atau  penyeleksian  berbagai  pendapat  mazhab  ini  dapat  dilihat  dalam  perbedaan
pendapat ulama mazhab mengenai hukum perempuan yang ditalak ba‟in dan dalam keadaan tidak hamil. Misalnya Imam Abu Hanifah, menyebutkan bahwa perempuan
yang ditalak b a‟in dalamkeadaan tidak hamil berhak memperoleh nafkah secara utuh
dengan  syarat  dia  tidak  meninggalkan  rumah  yang  disediakan  suami  yang menceraikannya  selama  masa  iddah.
Sedangkan  Imam  Maliki  dan  Imam  Syafi‟i berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil hanya
berhak  memperoleh  tempat  tinggal.  Berbeda  lagi  dengan    Imam  Ahmad  dan  Imam Ja‟far  Shadiq dari Syi‟ah yang berpendapat tidak ada nafkah dalam bentuk apapun
buat perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil. Dari  paparan  tersebut  tampak  bahwa,  pemahaman  perempuan  yang  ditalak
ba‟in  dalam  keadaan  tidak  hamil  hanya  memperoleh  hak  tempat  tinggal  selama menjalani  masa  iddah.  Sesungguhnya  ketentuan  tersebut  merupakan  pendapat  yang
selaras  dengan  pendapat Imam  Syafi‟i.  Di  sini  tampak  bahwa  perumus  Kompilasi
83
KHI Pasal 81 ayat 1
84
Takhayyur  adalah  proses  penyeleksian  berbagai  pendapat  mazhab  secara  elektika. Selengkapnya lihatAhmad Tholabie Kharlie dan Asep  Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di dunia
Islam Kontemporer Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011, h. 21.
Hukum  Islam  hanya  sekedar  menegaskan  aturan  fiqh  menjadi  aturan  perundang- undangan negara,tampak tidak ada keberanjakan dalam aturan tersebut.
Berbeda  dengan  pemahaman  yang  menyatakan  bahwa  Kompilasi  Hukum Islam  di  Indonesia  tidak  memberikan  hak  nafkah  maupun  hak  tempat  tinggal  bagi
perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil. Jika pemahaman ini yang dipakai  oleh  perumus  Kompilasi  Hukum  Islam,  berarti  perumus  KHI  tersebut  telah
melakukan  pembaruan  hukum  Islam  dalam  bentuk  takhayyur.  Mereka  memilih berbagai  pendapat  Imam Mazhab, dan  telah beranjak dari aturan  Imam
Syafi‟i yang pada umumnya dilaksanakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Sementara  aturan  nafkah  iddah  yang  ditetapkan  dalam  Buku  II  Pedoman Pelaksanaan  Tugas  dan  Administrasi  Peradilan  Agama  Edisi  Revisi  2010  hanya
diberikan  apabila  istri  telah  tidak  terbukti  berbuat  nusyuz  dan  cerai  gugat  dengan alasan adanya kekerasan atau kekejaman suami. Aturan ini didasarkan dengan tujuan
lil  istibra’.  Pada  pendapat  Imam  Mazhab  kekerasan  suami  pada  istrinya  tidaklah menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan istri berhak mendapat nafkah iddah.
Lain  halnya  dengan  kedua  Yurisprudensi  Mahkamah  Agung  No  137 KAG2007  dan  No  276  KAG2010.  Dalam  anotasi  Putusan  Mahkamah  Agung
menggunakan pendapat  Imam Hanafi dan pengikutnya bahwa istri yang ditalak raj‟i
maupun  ditalak  ba‟in,  baik  dalam  keadaan  hamil  maupun  tidak  hamil,  maka  istri berhak  mendapat  nafkah  iddah  berupa  maskan,  kiswah  maupun  nafkah  untuk
keperluan  sehari-hari  selama  masa  iddah.  Karena  istri  dibebani  agar  diam  di  rumah mantan  suaminya  selama  masa  iddah.  Nafkah  tersebut  dianggap  utang  yang  terang
atas mantan suaminya dan harus diputuskan oleh pengadilan. Utang tersebut menjadi gugur  setelah  dilunasi.Dikuatkan  dengan  pendapat  Sudikno  Mertokusumo
sebagaimana yang disebutkan dalam Anotasi putusan bahwa ilmu pengetahuan dapat dijadikan  sumber  hukum  dalam  memutus  suatu  perkara,  asalkan  ilmu  pengetahuan
tersebut telah diikuti dan didukung oleh pengikut-pengikutnya.
85
b. Masa Penerimaan nafkah pasca perceraian
Baik  ulama  mazhab  maupun  Kompilasi  Hukum  Islam  sama-sama menentukan  bahwa  nafkah  iddah  wajib  disediakan  bekas  suami  selama  istrinya
menjalani masa iddah. Kewajiban ini gugur jika sang istri melakukan nusyuz. Terdapat  perbedaan  dalam  menentukan  batasan  nusyuz  yang  dapat
menghilangkan  hak  perempuan  menerima  nafkah  iddah.  Imam-Imam  Mazhab  Fiqh menjelaskan  secara  detail  kriteria  atau  batasan-batasan  nusyuz  istri  yang  dapat
menghilangkan  hak  mereka  untuk  mendapatkan  hak  nafkah  iddah.  Menurut  Imam Hanafi  batasan  yang  menyebabkan  hilangnya  hak  istri  mendapatkan  nafkah  iddah
adalah apabila perempuan keluar dari rumah yang telah disediakan tanpa seizin bekas suaminya.
Sementara  fuqaha  dari  kalangan  Syafi‟i  dan  Hambali  menambahkan apabila istri keluar bukan untuk kepentingan suami, meskipun seizin suaminya, maka
haknya menerima nafkah menjadi gugur. Sementara bagi Jumhur ulama apabila istri tidak  memberikan  kesempatan  bagi  suami  untuk  berkhalwat  dan  menyetubuhinya
tan pa alasan yang dibenarkan syara‟, maka istri dipandang nusyuz yang tidak berhak
memperoleh nafkah dari suaminya.
85
Badan Penelitian dan Pengembangan,Yurisprudensi Mahkamah Agung, h. 284.
Lain halnya dengan Kompilasi Hukum Islam, di KHI yang dimaksud dengan istri  yang  nusyuz  adalah  istri  yang  tidak  mau  berbakti  kepada  suami  dalam  batas-
batas  yang  dibenarkan  oleh  hukum  Islam  tanpa  alasan  yang  sah.  Selanjutnya  KHI tidak  memberikan  rincian  yang  jelas  atau  bentuk-bentuk  nusyuz  tersebut.  Dalam
pasal-pasal  yang  membahas  nusyuz,
86
tidak  terdapat  uraian  mengenai  maksud persoalan  tersebut.  Hal  ini  dapat  menimbulkan  berbagai  pandangan  yang  cukup
beragam.  Kompilasi  Hukum  Islam  dinilai  memberikan  batasan  yang  lebih  longgar dari  aturan  fiqh  mengenai  batasan  nusyuz  istri  yang  dapat  menghilangkan  haknya
menerima nafkah iddah.
87
c. Kadar Nafkah Iddah
Penjelasan  mengenai  kadar  hak  nafkah  iddah  perempuan  yang  dicerai,  baik para  ulama  mazhab  maupun  peraturan  perundang-undangan  di  Indonesia  tidak
menentukan secara jelas kadar nafkah iddah yang wajib diberikan oleh mantan suami. Hanya saja,semuanya berlandaskan kepada status sosial ekonomi suami istri.
Menurut  Iman  Ahmad  yang  dijadikan  ukuran  dalam  menetapkan  nafkah adalah status  sosial-ekonomi suami dan istri secara bersama-sama. Sementara  Imam
86
Pasal 80  nomor7 tentang  kewajiban suami,  pasal 84  tentang kewajiban istri,  pasal 149 huruf b  dan Pasal 152 tentang  akibat talak,
87
Batasan  nusyuz  istri  adalah  istri  yang  tidak  mau  menjalankan  kewajibannya.  Adapun kewajiban  istri  adalah:  a  Bersikap  taat  dan  patuh  terhadap  suami  dalam  segala  sesuatunya  selama
tidak    merupakan  hal  yang  dilarang  Allah.  b  Memelihara  kepentingan  suami  berkaitan  dengan kehormatan dirinya. c Menghindari  segala sesuatu  yang akan  menyakiti  hati  suami seperti bersikap
angkuh,  menampakkan  wajah  cemberut  atau  penampilan  buruk  lainnya.  Lihat  Selengkapnya,  Amir Syarifuddin, Hukum PerkawinanIslam di Indonesia, h.185. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban
istri terhadap suaminya dijelaskan dalam Pasal 83 yaitu: 1 kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. 2 Islam
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Abu  Hanifah  dan  Imam  Malik  mengatakan  bahwa  yang  dijadikan  standar  adalah kebutuhan  istri.  Lain  pula  halnya  dengan  Imam  Syafii  dan  pengikutnya  yang
dijadikan  standar  dalam  ukuran  nafkah  istri  adalah  status  sosial  dan    kemampuan ekonomi suami. Begitu juga dengan Syi‟ah Imamiyah.
Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam,  kadar  nafkah  yang  dapat  diterima    oleh perempuan  selama  masa  iddah  disesuaikan  dengan  penghasilan  suami.  Dari  sini
tampak  jelas,  bahwa  aturan  Kompilasi  Hukum  Islam  hanya  menegaskan  salah  satu dari  pendapat  Imam  Mazhab,  yaitu  Im
am Syafi‟i, yang mana mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia.
Dalam  Yurisprudensi  Mahkamah  Agung    No  137  KAG2007  dan  No  276 KAG2010.  Hakim  menetapkan  kadar  nafkah  iddah  sesuai  dengan  kemampuan
suami.  Hal  ini  sesuai  dengan  aturan  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  dan  pendapat Imam Syafi‟i.
59
                