Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
mu„asyarah bil ma’ruf atau memperlakukan pasangan dengan sopan Q.S. An Nisa‟4: 19
Memelihara prinsip perkawinan adalah kewajiban bersama suami-istri. Dengan demikian peran untuk membangun dan mempertahankan keluarga bahagia
menjadi kewajiban kolektif suami-istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dalam suatu lembaga perkawinan setiap pasangan tidak hanya
dituntut untuk melakukan serangkaian kewajiban, tetapi setiap pasangan juga memiliki sejumlah hak.
5
Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan waktu akad nikah. Ikatan janji yang terbentuk antara suami istri tersebut
bukanlah sembarang janji. Wahyu Ilahi menyebutnya bukan pula menggunakan kata- kata yang biasa seperti
ع atau kata ع yang keduanya berarti ikatan janji, tetapi kata yang digunakan adalah
ثيم yakni suatu istilah yang khusus dipakai untuk ikatan janji yang penting seperti perjanjian dua kaum atau dua bangsa, dan untuk
perjanjian suci seperti perjanjian antara Allah swt dan hamba-hambaNya.
6
Melihat begitu pentingnya ikatan antara suami dan istri itu, wahyu ilahi memakai istilah
ثيم ظي غ ikatan yang kuat.
7
5
Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 4.
6
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995 h. 53
7
Satria Efendi menambahkan dalam bukunya bahwa kalimat ijab kabul adalah kalimat sangat mudah untuk diucapkan oleh calon suami dan wali calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh
Rasulullah disebut sebagai Khafifatani „alal lisan tsaqilatani fil mizanringan untuk diucapkan oleh
lidah, tetapi berat pada timbangannya. Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan perhatian yang serius dan terus-
menerus.Satria Efendi M Zein, Problema Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah, Jakarta:Preanada Kencana, 2004, h. 97.
Namun terkadang dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan dan pertentangan. Hal ini sering terjadi
karena pernikahan merupakan pertemuan antara dua jiwa yang berbeda latar belakang, adat istiadat, pendidikan, prilaku dan kebiasaan, sehingga manakala satu
dengan yang lainnya sudah tidak ada saling pengertian dalam perbedaan- perbedaan tersebut, maka muncullah masalah dalam rumah tangga.
8
Permasalahan yang muncul dalam keluarga biasanya adanya diawali dengan percekcokan.Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga. Tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.
9
Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini, ada pasangan yang dapat mengatasinya, dalam artian mereka mereka bersabar dan
sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Namun ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi problematika ini sehingga berakibat adanya konflik, masing-
masing pihak tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah, dan upaya rekonsiliasi pun gagal ditempuh, pada kondisi ini perceraian tidak dapat dihindarkan.
Melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang sama sekali tidak bisa dihindari dalam kehidupan perkawinan, maka Islam memberikan legislasi
akan adanya perceraian meskipun sangat diajurkan untuk ditinggalkan. Hal ini tampak pada sabda Nabi:
اط ا ها ى ع اح ا ضغبأ “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian
”. Dengan demikian perceraian adalah jalan terakhir yang
8
Adil Samadani, Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan, h. 2.
9
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan, h.173.
dapat diambil oleh suami-istri jika tidak ada upaya lain demi menghindari bahaya yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang menegaskan bila
seseorang dihadapkan pada suatu dilema, maka akan dibenarkan untuk memilih melakukan kemudharatan yang paling ringan diantara beberapa kemudaratan yang
sedang dihadapinya.
10
Perceraian menurut hukum agama Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam Pasal
14 sampai Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mencakup cerai talak dan cerai gugat.
11
Dalam memahami kasus cerai gugat atau talak ini, pemahaman yang paten berlaku adalah ketika perceraian itu
diajukan oleh suami, maka jenis perkaranya cerai talak, di mana suami mohon izin untuk ikrar t
alak raj’i di muka sidang Pengadilan Agama. Sementara ketika perceraian itu diajukan oleh pihak istri, maka jenis perkaranya cerai gugat, di mana
istri meminta hakim untuk memutus perkawinannya, selajutnya putusan itu berbentuk ba’in sughra.
Terdapat perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat, sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 149,
12
dalam pasal-pasal tersebut
10
Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 6.
11
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, Jakarta:Sinar Grafika, 2013, h. 7.
12
Pasal 149, diantaranya: 1 Bekas suami wajib memberikan mut‟ah yang layak kepada
bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali qabla al-dukhul. 2 Memberikan nafkah, maskan, dan kiswah pakaian kepada bekas istri selama masa iddah menunggu kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz. 3 Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo
apabila qabla dukhul. 4 Memberikan biaya hadhanah untuk ank-anaknya yang belum mencapai
terlihat adanya perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat, adalah dimana cerai talak
sang istri berhak mendapat mut‟ah dan hak nafkah iddah,maskan serta kiswah dari suami, kecuali jika ia nusyuz KHI pasal 152
13
, sementara pada cerai gugat aturan tersebut tidak ada.
Mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat membolehkan terjadinya perceraian, yang mana itu menjadi acuan hakim ketika memutuskan perkara
perceraian, terdapat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, baik dalam KHI, PP No 9 Tahun 1975 pasal 19, maupun Pedoman dalam Pelaksanaan Teknis
Peradilan lainnya. Sehingga dengan adanya aturan ini dapat memperkecil terjadinya perceraian antara suami-istri. Akan tetapi permasalahan yang dihadapi di lapangan
tidak bisa semua disamaratakan atau diputuskan dengan aturan hukum yang sudah ada. Sebagian besar aturan tersebut belum melindungi pihak perempuan ketika ia
mengajukan cerai gugat dikarenakan penyebab-penyebab yang ada pada suaminya. Sementara ia tidaklah termasuk kepada golongan istri yang nusyuz. Akan tetapi
menurut Undang-Undang Perkawinan mereka tetap digolongkan kepada istri yang nusyuz, sehingga tidak berhak atas hak nafkah iddah dan hak-hak pasca perceraian
lainnya. Masalah nafkah iddah menjadi salah satu hal menarik untuk dikaji terutama
dalam perkara cerai gugat. Hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang pasti dan
umur 21 tahun. Lihat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2003, h. 69.
13
Pasal 152 berbunyi: bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari suaminya, kecuali ia nusyuz.
tegas dalam menetapkan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat, sehingga sebagian hakim tidak berani mengambil keputusan di luar aturan yang ada, akan
tetapi hakimMahkamah Agung telah berani melakukan improvisasi hukum,dengan menetapkan uang hak nafkah iddah kepada istri yang mengajukan cerai gugat. Hal ini
terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137KAG2007 dan No 276KAG2010. Kedua yurisprudensi tersebut menetapkan adanya hak nafkah iddah
bagi istri yang mengajukan cerai gugat dimana dalam proses persidangan ia tidak terbukti telah berbuat nusyuz. Tentu hal ini bertentangan dengan pasal 149 KHI yang
menyatakan bahwa tidak ada mut‟ah dan nafkah iddah bagi istri yang mengajukan cerai gugat dan khulu‟, karena ia dinilai melakukan nusyuz, di sini sang hakim
menggunakan Hak ex officionya untuk menciptakan adanya keadilan bagi istri atau pemenuhan minimal hak-hak istri pasca perceraian.
Di dalam buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara
ex officio dapat menetapkan nafkah iddah. Pengadilan Agama Tanjung Pati adalah salah satu pengadilan yang berwenang
dalam memutus perkara cerai gugat di Kab 50 Kota. Menurut Laporan Perkara yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Pati pada tahun 2012 terdapat
617 perkara. Dari 617 perkara tersebut 421 perkara adalah dalam bentuk perkara cerai gugat dan 196 perkara dalam bentuk perkara cerai talak. Berdasarkan data tersebut
peneliti tertarik untuk meneliti bentuk putusan perkara di Pengadilan Agama Tanjung
Pati dalam perkara cerai gugat, dalam artian apakah Pengadilan Tanjung Pati ini mempraktekkan yurisprudensi tersebut atau tidak.
Berdasarkan uraian singkat di atas penulis tertarik untuk membahas masalah ini dan merumuskannya ke dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan
judul
“HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT DAN IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI”