Nafkah Iddah menurut Fuqaha Mazhab

Kedua, Mazhab Hambali berpendapat tidak diwajibkan nafkah dan tempat tinggal untuknya.Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan Ishaq. Pendapat ini juga disampaikan dari Ali, Ibnu Abbas, Jabir, Hasan, Atha‟ dan Mazhab Imamiyah. 73 Mereka menyandarkan pendapatnya pada hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Fatimah binti Qais yang mengatakan : , ث اث َط ا يف ا ى ي : tentang perempuan yang ditalak tiga , Rasulullah bersabda: tidak ada hak baginya, tempat tinggal dan tidak juga nafkah. 74 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Rasulullah saw bersabda أ ى ا ا ا ج ا ي ج ك ا sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri jika suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya. 75 Ketiga , Menurut Mazhab Maliki dan Syafi‟i hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS At Thalaq: 6 مت ثيح مtempatkanlah mereka para istri di mana kamu bertempat tinggal. Dia diwajibkan untuk memberi si istri tempat tinggal saja tanpa mempedulikan apakah si istri dalam keadaan hamil atau tidak. 76 Bagi mereka tidak diwajibkan untuk nafkah makanan dan pakaian, karena itu khusus diberikan kepada istri yang sedang hamil. Para ulama berbeda pendapat tentang kadar nafkah yang menjadi kewajiban suami. Iman Ahmad mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan 73 Sayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin, Fikih Sunnah 3 Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011 h. 445 74 Sayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. 3.h. 445 75 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, h. 563. 76 Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, h. 563. Dan lihat jugaSayid Sabiq, Fiqhun Sunnah. 4. h. 136 nafkah adalah status sosial-ekonomi suami dan istri secara bersama-sama. Jika keduanya kebetulan berstatus sosial-ekonomi yang berbeda, maka diambil standar menengah diantara keduanya. Yang menjadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga itu merupakan gabungan antara suami dan istri. 77 Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan istri, dengan landasan firman Allah Surat Al Baqarah ayat 233. ف ع ا ب َ ت ك َ ر ا ى ع “kewajiban suami untuk menanggung biaya hidup dan pakaian secara patut” 78 Imam Syafii dan pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah status sosial dan kemampuan ekonomi suami. pendapat ini juga berlaku di kalangan ulama Syi‟ah Imamiyah. Landasannya adalah firman Allah QS Ath-Thalaq ayat 7. ي ا فِ ي ا ا تاء َ م ي ف ر ي ع ر م تع م ع تاء م َاِ ي ع عب ها ع ي “Orang yang berkemampuan hendaklah memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. Barang siapa yang rezkinya sudah diqadarkan Allah hendaklah memberi nafkah dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah tidak memikul beban seseorang kecuali sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan yang dirasakannya. “ 77 Amir Syarifuddin, Hukum PerkawinanIslam di Indonesia, h. 170 78 Amir Syarifuddin, Hukum PerkawinanIslam di Indonesia, h. 170. C. Nafkah Iddah dalam Aturan Perundang-Undangan di Indonesia. Ketentuan tentang hak perempuan memperoleh nafkah setelah perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf c dan Kompilasi Hukum Islam pasal 81, 149, 152 dan 162. Khusus bagi perempuan yang memiliki suami berstatus sebagai Pegawai Negeri atau yang dipersamakan, haknya untuk memperoleh nafkah iddah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf c yang berbunyi ”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”, dalam pasal ini tidak dijelaskan secara rinci apa saja bentuk nafkah yang dapat diterima oleh istri pasca perceraian, begitu juga Undang-Undang ini tidak pula mengatur secara tegas berapa lama istri berhak memperoleh nafkah iddah. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam Kompilasi Hukum Islam ini perihal mengenai nafkah iddah diatur secara rinci. Dalam KHI pasal 149 disebutkan bahwa diantara kewajiban suami terhadap istrinya adalah memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Disamping itu, KHI juga menjelaskan bahwa tidak semua bekas istri yang menjalani masa iddah berhak memperoleh nafkah, tempat tinggal dan pakaian dari bekas suami yang menceraikannya. Nafkah, tempat tinggal dan pakaian hanya diberikan kepada bekas istri yang sedang menjalani masa iddah talak raj‟i dan dia tidaklah nusyuz atau bekas istri yang sedang menjalani masa iddah talak ba‟in dan sedang hamil serta tidak melakukan nusyuz. Kemudian bagi istri yang sedang menjalani masa iddah talak ba‟in yang tidak hamil dan tidak pula nusyuz aturan yang di muat dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai hal tersebut tidaklah disebutkan secara tegas dalam pasal-pasal KHI, sehingga hal ini melahirkan pemahaman yang berbeda, karena pasal-pasal mengenai hal tersebut disebutkan secara umum saja diantaranya: a. Keumuman pasal 81 KHI, yang menyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri dalam masa iddah, hal ini bisa ditakhsishkan oleh Pasal 149 huruf b bahwa nafkah, maskan dan kiswah diberikan kepada isteri selama masa iddah, kecuali bekas istri tersebut telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Sehingga bekas istri tersebut tidak berhak memperoleh nafkah,tempat tinggal ataupun pakaian. b. Keumuman pasal 149 huruf b KHI, yang menyatakan bahwa bekas istri yang ditalak ba ‟in dan tidak hamil adalah tidak berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan pakaian ditakhsish oleh pasal 81 yang menyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi bekas istri yang masih dalam masa iddah. Sehingga bekas istri tersebut berhak memperoleh tempat tinggal, nafkah dan pakaian. Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan berapa jumlah pasti nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri maupun bekas istrinya. Menurut pasal 80 ayat 4 KHI, suami wajib memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal tersebut sesuai dengan penghasilannya. Dan menyangkut perlengkapan tempat tinggal, selain mempertimbangkan kemampuan suami harus pula disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggal, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 81 ayat 4. Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, khusus bagi suami yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan yang dipersamakan, yang melakukan perceraian diwajibkan pula untuk tunduk terhadap ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 79 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 pasal 1 ayat 4 Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan jika alasan perceraian disebabkan karena istri berzina, atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir ataupun bathin terhadap suami, istri menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, atau istri telah meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin suami atau tanpa alasan yang sah. 79 Aturan tersebut memuat tentang pembagian gaji setelah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan resmi bercerai, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 ayat 1, apabila perceraian terjadi atas kehendak suami yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka dia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. ayat 2,pembagian gaji tersebut adalah sepertiga untuk suami, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak-anaknya. Apabila dalam perkawinan itu tidak ada anak juga di atur dalam ayat 3, yaitu bagian gaji yang wajib diserahkan oleh suami kepada istrinya adalah setengah dari gajinya. Gaji yang diterima oleh bekas istri Pegawai Negeri tersebut hanya dapat diterima selama ia belum menikah lagi. Apabila yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi, sebagaimana yang diatur dalam ayat 7 Sebaliknya jika perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan bekas suaminya. 80 Ketentuan ini tidak berlaku apabila istri minta cerai karena dimadu, atau suami berzina, atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir ataupun bathin terhadap istri, suami menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, atau suami telah meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin istri atau tanpa alasan yang sah. Hal ini diatur dalam ayat 6 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Ketentuan tentang hak perempuan untuk memperoleh hak nafkah iddah setelah perceraian juga diatur pada Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi 2010 diantaranya, di sana dinyatakan pada point f bahwa Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang istrinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz. Selanjutnya pada point j juga disebutkan bahwa cerai gugat dengan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah lil is tibra’. Berdasarkan aturan ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan yurisprudensi dengan menetapkan uang hak nafkah iddah kepada istri yang mengajukan cerai gugat. Hal ini terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137 KAG2007 dan No 80 PP Nomor 10 tahun 1983 pasal 8 ayat 4 lama, atau pasal 8 ayat 5 baru setelah diubah oleh PP Nomor 45 Tahun 1990. 276 KAG2010. 81 Kedua yurisprudensi tersebut menetapkan adanya hak nafkah iddah bagi istri yang mengajukan cerai gugat dimana dalam proses persidangan ia tidak terbukti telah berbuat nusyuz. 82

D. Komparasi antara Pendapat Fuqaha Mazhab dan Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia tentang Hak Nafkah Iddah. Berdasarkan pemaparan tentang hak perempuan memperoleh nafkah iddah baik dalam aturan fiqh maupun aturan perundang-undangan di Indonesia, dapat dibandingkan dalam 3 hal: 81 Yurisprudensi adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung RI yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaedah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup peradilan pidana, perdata, tata usaha negara, agama yang dikualifikasi. Lihat Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 317. Hakim tidak boleh terikat pada putusan Yurisprudensi, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of president” jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau masih sesuai dengan keadaan masyarakat. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Peradilan Agama Jakarta: yayasan Al Hikmah, 2000 h. 7. Lebih lanjutnya Titik Triwulan menyebutkan dalam bukunya bahwa seorang hakim dalam menangani suatu perkara disatu pihak memperoleh keterikatan, sedangkan dipihak lain mempunyai kebebasan. Kebebasan tersebut dibatasi dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri dalam putusan. Pertimbangan –pertimbangan tersebut tidak dapat melepaskan dari ketentuan undang-undang yang berlaku. Bagi Hakim, suatu yurisprudensi digunakan sebagai alat hakim di dalam memberikan suatu perkara-perkara yang muncul dalam hal tersebut tidak dapat penyelesaiannya di dalam undang-undang yang mengatur. Maka disinilah Yurisprudensi sebagai urgensi Mahkamah Agung. Akan tetapi Yurisprudensi tersebut tidak bersifat tertulis dalam hukum dan bersifat otonom, dan menjadi suatu hukum kebiasaan di pengadilan. Lihat Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem, h. 326. 82 Mahkamah Agung Dalam kedua yurisprudensi tersebut menyebutkan dalam putusannya bahwa menghukum TergugatTermohon Kasasi supaya memberikan nafkah iddah kepada Penggugat Pemohon Kasasi, walaupun Pemohon Kasasi Penggugat tidak memuat petitum tentang pemberian nafkah bagi penggugat. Lihat selengkapnya Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010 Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010 h. 283. a. Perempuan yang berhak menerima nafkah setelah perceraian Semua mazhab fiqh sepakat menyatakan bahwa perempuan yang ditalak raj‟i maka diwajibkan untuknya nafkah secara utuh, yang terdiri dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal, karena perempuan yang tengah menjalani masa iddah adalah masih dianggap sebagai istri selama berada pada masa iddah. Begitu juga dengan perempuan yang di talak ba‟in dalam keadaan hamil fuqaha sepakat menyatakan bahwa suami yang mentalaknya berkewajiban memberi nafkah secara utuh. Kesepakatan para ulama mazhab ini diikuti oleh perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Ini terlihat dalam aturan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 yang mengatur bahwa perempuan yang ditalak raj‟i dan perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan hamil berhak memperoleh nafkah secara penuh. Dalam hal ini tampak bahwa perundang-undangan perkawinan yang berlaku di Indonesia hanya menegaskan pendapat ulama mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh menjadi hukum perundang-undangan negara. Sementara dalam hal perempuan yang ditalak ba‟in dan dalam keadaan tidak hamil. Aturan ulama mazhab dalam kitab-kitab fiqh berbeda satu sama lainnya. Begitu pula dengan Kompilasi Hukum Islam, disana tidak ada ketegasan yang jelas mengenai hal ini sehingga menimbulkan pemahaman yang ambigu, dari satu sisi dapat dipahami bahwa, menurut Kompilasi Hukum Islam, perempuan yang ditalak ba‟in dan dalam keadaan tidak hamil memperoleh hak tempat tinggal selama menjalani masa iddah. 83 Akan tetapi dari sisi lain dapat pula dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam menentukan tidak ada hak nafkah maupun hak tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil. Dalam hal ini terlihat bahwa para perumus Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hanya melakukan kodifikasi dalam bentuk takhayyur. 84 Adanya takhayyur atau penyeleksian berbagai pendapat mazhab ini dapat dilihat dalam perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai hukum perempuan yang ditalak ba‟in dan dalam keadaan tidak hamil. Misalnya Imam Abu Hanifah, menyebutkan bahwa perempuan yang ditalak b a‟in dalamkeadaan tidak hamil berhak memperoleh nafkah secara utuh dengan syarat dia tidak meninggalkan rumah yang disediakan suami yang menceraikannya selama masa iddah. Sedangkan Imam Maliki dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil hanya berhak memperoleh tempat tinggal. Berbeda lagi dengan Imam Ahmad dan Imam Ja‟far Shadiq dari Syi‟ah yang berpendapat tidak ada nafkah dalam bentuk apapun buat perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil. Dari paparan tersebut tampak bahwa, pemahaman perempuan yang ditalak ba‟in dalam keadaan tidak hamil hanya memperoleh hak tempat tinggal selama menjalani masa iddah. Sesungguhnya ketentuan tersebut merupakan pendapat yang selaras dengan pendapat Imam Syafi‟i. Di sini tampak bahwa perumus Kompilasi 83 KHI Pasal 81 ayat 1 84 Takhayyur adalah proses penyeleksian berbagai pendapat mazhab secara elektika. Selengkapnya lihatAhmad Tholabie Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di dunia Islam Kontemporer Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011, h. 21.