Wawancara dengan Bapak Fa’atulo Manao

70 Keberadaan hombo batu sebagai destinasi wisata bagi para wisatawan telah membawa berbagai perbaikan dan perubahan di Nias Selatan. Salah satunya adalah akses jalan menuju ke Nias Selatan dari Kota Gunungsitoli, yang saat ini telah di perbaiki sehingga memudahkan bagi para wisatawan untuk menjangkau lokasi Desa Bawomataluo. Hal ini tentunya ini membawa perubahan yang positif bagi masyarakat di sekitar Nias selatan.

4.1.7.2 Wawancara dengan Bapak Fa’atulo Manao

Fa’atulo Manao laki-laki, 47 tahun merupakan Informan dari kalangan orangtua yang telah merantau yang dulunya berasal dari Desa Bawomataluo. Fa’atulo merupakan putra asli Desa Bawomataluo dan besar di sana. Fa’atulo meninggalkan desanya ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika itu ia pergi ke Jakarta dan melanjutkan kuliahnya di salah satu Universitas Theologia yang ada di kota tersebut. Setelah menyelesaikan studinya, ia pun saat ini telah menjadi seorang Pendeta BNKP atau Banua Niha keriso Protestan di salah satu gereja yang ada di Kota Medan. Di temui di tempat kediamannya yang berada di Tanjung Sari, Medan Selayang, beliau menuturkan bahwa ketika remaja ia juga pernah menjadi salah seorang langganan para wisatawan yang datang, dan diminta untuk menunjukkan kebolehannya melompati hombo batu. Tetapi karena orangtuanya menyuruhnya untuk kuliah dan melanjutkan pendidikannya ia pun meninggalkan Pulau Nias dan merantau ke Jakarta. Menurut Fa’atulo sesuai cerita yang diperoleh dari orangtuanya bahwa hombo batu dahulunya merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. 71 Karena di kampungnya sering terjadi perang, banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya Masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu, telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang, dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Hal ini juga yang membuat para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Di satu sisi, mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, namun di sisi lain mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. Bahkan ada juga yang meminta sampai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 sekali melompat, tergantung para wisatawan menawarnya. 72 Para pelompat telah mempunyai kelompok dan jaringan supaya tidak menjual murah. Sekarang ini harganya berkisar Rp 50.000 sekali melompat. Namun kalau wisatawan tidak menunjukkan minat dan menolaknya, para pelompat pun akhirnya dapat menerima harga yang lebih murah. Dari pada tidak dapat uang, lebih bagus melompat saja. Tradisi lompat batu yang telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler dan mampu membuat Pulau Nias dikenal oleh suku bangsa lain. Kelihatannya sudah kurang digemari oleh generasi baru karena tingkat kesulitan untuk menguasainya. Selain itu, atraksi lompat batu juga sudah berubah fungsi. Di daerah- daerah tujuan wisata, para pemuda baru mau melompat, kalau bayarannya sesuai. Sudah tidak ada lagi olah raga melompati hombo batu yang gratis, yang ada adalah lompat batu komersil. Karena itu, dikuatirkan, jika turisme mati, maka tradisi hombo batu akan punah. Hombo batu saat ini menjadi salah satu ikon wisata yang sangat memikat bagi para wisatan, untuk itu hal ini sangat memerlukan perhatian pemerintah daerah dan juga pusat, karena hombo batu merupakan kekayaan budaya yang di miliki oleh Bangsa Indonesia. Apa bila perhatian pemerintah tidak menunjukkan fungsinya, untuk terus menggiatkan anak muda untuk melestarikan budayanya, maka bisa saja suatu hari hombo batu yang sering kita banggakan saat ini punah, rumah adat rusak, megalit hilang dan dijual, nilai-nilai budaya masyarakat sebagai sosial yang luhur mati, semuanya hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang sulit diulang kembali dan akan berlalu begitu saja. 73 4.1.8 Wawancara dengan Fanya, Joandi Simanjuntak dan Lahomi Nazara Tentang Pendapat Wisatawan Mengenai Hombo Batu