29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian studi kasus case study ialah
suatu jenis penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik dari keseluruhan personalitas. Objek dari penelitian dapat
bermacam-macam misalnya individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Dalam hal ini, metode ini digunakan karena penelitian ini bertujuan melihat
masalah yang lebih spesifik. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lai-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah Moleong, 2005:6.
3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Pulau Nias dikenal banyak memiliki peninggalan bertradisi megalitik, dalam berbabagai bentuk termasuk pula adat. Seperti halnya dengan belahan lain
Nusantara, Pulau Nias dan pulau-pulau di sekitarnya juga mempunyai masa dimana sentuhan dengan bangsa dan budaya lain terjadi. Secara garis besar hal itu
terkait dengan masa-masa klasik Indonesia, masa kedatangan Islam dan kelak diikuti dengan masa pengaruh kebudayaan barat berikut agama Kristennya.
Perkampungan yang pada awalnya didirikan di bagian atas perbukitan kelak dipindahkan ke bagian di pinggir jalan yang kebanyakan berada di bagian
30 pinggang atau dasar bukit. Tindakan terakhir itu lebih dikaitkan dengan
memudahkan upaya pihak Belanda untuk memantau dan mengawasi aktivitas masyarakatnya. Sampai sekitar tahun 1950 an tradisi megalitik di Pulau Nias
masih dapat dikatakan living monument atau monumen yang masih hidup, dimana beberapa upacara besar yang dilakukan kelompok masyarakat dilanjutkan dengan
pendirian bangunan megalitik owasa, sekalipun ukurannya sangat kecil. Adapun manfaatnya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Pulau Nias
pada khususnya terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi, sosial dan ideologi dalam upaya pembentukan jati diri.
Jejak megalitik di Pulau Nias cukup banyak. Di berbagai pelosok Pulau Nias ditemui peninggalan peninggalan lama, yang sebagian tidak terawat. Batu
alam yang berukuran besar disusun dan dibuat menjadi berbagai bentuk karya budaya bertradisi megalitik. Gowe misalnya, adalah peninggalan yang memiliki
latar belakang historis yang sangat ritual. Hal itu berupa dua batu berukuran besar yang masing-masing berbentuk lonjong yang merupakan lambang laki-laki dan
bulat ceper yang melambangkan perempuan. Material yang digunakan dibawa dari sungai yang berada cukup jauh dari tempat upacara dilakukan. Ratusan orang
terlibat dalam pengangkutannya, dan tukang pahat berbakat mengerjakannya dengan serius.
Gowe didirikan sebagai peringatan bagi penduduk suatu wilayah kekuasaan pada zaman dahulu yang merupakan gabungan dari beberapa desa dan
kampung. Objek ini menjadi bukti bahwa leluhurnya pernah mengadakan owasa, sebuah pesta adat besar-besaran dengan jumlah hewan sembelihan yang cukup
banyak. Aktivitas itu bertujuan menaikkan derajat sosial sekaligus membuktikan
31 bahwa keluarga penyelenggara upacara tersebut memang memiliki kekuatan
sosial yang tinggi Zaluchu,1993:16. Bagi penduduknya keberadaan tradisi megalitik tetap menjadi dasar dalam
menyikapi sentuhan, pertukaran, penyerapan dan perubahan kebudayaan yang terjadi. Dinamikanya tetap meninggalkan jejak dalam sisa budaya materialnya.
Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang juga mengalami permasalahan yang sama dengan wilayah lainnya.
Berkenaan dengan upaya pengaturan hidup keseharian masyarakatnya, jauh sebelum Belanda memperkenalkan pengadilan dengan sistem hukum barat,
masyarakat Pulau Nias menerapkan hukum wilayah yang disebut banua. Pemerintahan-pemerintahan lokal dikepalai oleh seorang Sanuhe atau
Siulu yang dalam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tata hidup masyarakat, hukum dijalankan oleh sebuah lembaga disebut fondrako. Hal-hal
yang ditentukan atau diatur melalui fondrako mencakup aspek-aspek fondu atau kepercayaanagama, fangaso perekonomian, hao-hao atau ele-ele atau
kebudayaan, forara haofowanua atau hak dan kewajiban, serta bowo atau keadilan sosial. Adapun untuk kepentingan perluasan kekuasaan maka sanuhe atau salawa
mbanua membentuk perikatan yang disebut ori dan dikepalai oleh salah seorang yang dituakan atau berpengaruh yang disebut tuhenori dibantu oleh sanuhenori.
Dalam atauran tersebut merupakan kumpulan beberapa banua itu juga memanfaatkan kelembagaan fondrako bagi pengaturan hukum yang diberlakukan,
Sedangkan tempat untuk memutuskan dan pengambilan sebuah keputusan hukumperaturan berada di dalam rumah bale.
32
Gambar 3.1 Gedung Bale balai pertemuan.
Berada di bagian barat daya wilayah Provinsi Sumatera Utara, Pulau Nias berjarak sekitar 85 mil laut dari Pelabuhan Sibolga di daratan Pulau Sumatera.
Kepulauan Nias yang terdiri atas 132 buah pulau, Pulau Nias merupakan pulau terbesar dengan luas tidak kurang dari 5.449,70 km. Pulau Nias berbatasan dengan
Pulau Banyak di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di sebelah utara Pulau Mursala di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah timur, Pulau
Mentawai di wilayah Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan, sedangkan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Topografi Pulau Nias berupa bukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan yang memiliki ketinggian hingga 800 meter di atas permukaan laut.
Bagian wilayahnya yang berupa dataran rendah sampai bergelombang mencapai jumlahan 24, tanah bergelombang sampai berbukit 28,8 , sedangkan tanah
berbukit sampai pegunungan mencapai 51,2 dari luas dataran. Dataran rendah terdapat di bagian tepi pulau dan sebagian tepi Pulau Nias tersebut merupakan
33 tebing karang yang menyulitkan pencapaiannya dari arah laut. Daerah perbukitan
berada di bagian tengah pulau. Kepulauan Nias yang masih tercatat sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara ini, telah dimekarkan menjadi empat
kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Utara dan Kabupaten Nias Barat ditambah satu Kotamadya Gunung Sitoli.
Gambar 3.2 Peta Pulau Nias. 3.2.1 Kabupaten Nias Selatan
Kabupaten Nias Selatan merupakan kabupaten baru dari pemekaran Kabupaten Nias yang disahkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2003 dengan Ibukota Teluk Dalam. Luas wilayah 1.825,2 km2,
34 terletak di sebelah barat Pulau Sumatera, berjarak sekitar 92 mil laut dari Kota
Sibolga dengan perbatasan wiyalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara: Kabupaten Nias
2. Sebelah Selatan: Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat 3. Sebelah Timur: Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-Pulau Mursala,
Kabupaten Tapanuli Tengah 4. Sebelah Barat: Kabupaten Nias Barat
Sebelum pemekaran Pulau Nias menjadi beberapa kabupaten, daerah Kabupaten Nias Selatan dewasa ini adalah himpunan desa-desa yang ada di
daerah Kecamatan Teluk Dalam saat itu dan beberapa pulau yang terletak di bagian Selatan Pulau Nias. Menurut catatan yang diinformasikan oleh tim
Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan, leluhur orang Nias di daerah Teluk Dalam yang migrasi dari daerah Gomo saat itu ada empat orang dengan
daerah pendudukan mereka masing-masing yang disebut Ori, yakni: 1. Molo, keturunannya mendiami Ori Maenamolo saat ini
2. Lalu, keturunannya mendiami Ori Onolalu sekarang 3. Zino, keturunannya mendiami Ori Mazino dewasa ini
4. Ene, keturunannya mendiami Ori To’ene hingga kini. Dari keterangan ini jelas menggambarkan bahwa tradisi-tradisi Nias
Selatan dewasa ini bersumber dan identik dengan kebudayaan daerah Teluk Dalam yang berasal dari keempat nenek moyang tersebut di atas.
Teluk Dalam khususnya daerah Maenamolo terdiri atas sekitar 19 desa. Adanya hombo batu di ori Maenamolo pun kurang dari 12 desa. Dari dua belas
desa yang masih ada tradisi hombo batu, penelitian dilakukan di desa adat yang
35 masih kental dengan tradisi hombo batu dan rumah adat omo nifobawalasara
yang masih tertata dengan rapi, yakni di Desa Bawomataluo. Oleh karena daerah Maenamolo terus dimekarkan menjadi beberapa kecamatan sehingga terasa begitu
luas wilayahnya, keempat desa tersebut sudah berbeda kecamatan saat ini. Misalnya, Desa Bawomataluo dan Orahili Fau termasuk dalam Kecamatan
Fanayama, Desa Hiliamaetaniha tercatat di Kecamatan Luaha Gundre dan Desa Hili Simaetano masuk Kecamatan Mania Molo.
3.2.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Bawomataluo
Desa Bawomataluo saat ini termasuk dalam Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Luas area pedesaan ± 5 lima
hektar dan berada pada ketinggian sekitar 400 meter atau 1.313 kaki di atas permukaan laut. Nama Bawomataluo sering diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai “Bukit Matahari”. Dari nama ini sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini memang dibangun di atas perbukitan sehingga relatif aman
terhadap ancaman gelombang besar atau tsunami, meskipun jaraknya hanya sekitar 4 km dari tepi laut.
Wilayah Bawomataluo sendiri seluas 17.000 hektar dan berbatasan dengan beberapa desa berikut:
Sebelah utara: Desa Lahusa Fau dan Desa Siwalawa Sebelah selatan: Desa Hili Zihono dan Desa Sondege Asi
Sebelah timur: Desa Hili Geho dan Desa Hili Sondekha Sebelah barat: Desa Orahili Fau dan Desa Hili Simaetano.
Jarak Desa Bawomataluo dari Ibukota Kabupaten Nias Selatan yakni Kota Teluk Dalam sekitar 12 km. Desa ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua
36 maupun roda empat. Sarana transportasi jalur laut dapat dicapai ke Kota Teluk
Dalam dengan kapal Ferry dari Pelabuhan Teluk Bayur Sumatera Barat. Dari Kota Gunungsitoli yang merupakan Ibukota Kabupaten Nias, digunakan kendaraan
umum ke Kota Teluk Dalam yang berjarak sekitar 100 km dan ditempuh selama sekitar dua jam perjalanan. Untuk jalur penerbangan, sementara ini yang telah
beroperasi bandar udara Binaka yang berjarak 20 km dari Kota Gunungsitoli. Desa Bawomataluo merupakan perkampungan tradisional yang menjadi
aset pariwisata Pulau Nias, dimana orang dapat melihat atraksi hombo batu, yang pada masa lalu. Ini merupakan bagian dari rangkaian tradisi yang ditujukan
khusus bagi kaum remaja yang beranjak dewasa. Desa di gugusan perbukitan ini. Rumah penduduk berjajar rapat mengikuti jalan utama dengan orientasi tenggara-
barat laut. Di depan rumah-rumah tradisional itu sering diselenggarakan tari-tarian Pulau Nias, termasuk tari perang maena baluse yang dimainkan oleh puluhan
penari dalam nada dinamis dan demikian mempesona penontonnya. Karena itu, maka penelitian difokuskan di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama,
Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
3.2.3 Penduduk
Jumlah penduduk Desa Bawomataluo per Juni 2014 sebanyak 5.890 jiwa dengan 1.322 KK, yang terdiri atas laki-laki 2.730 jiwa dan perempuan 3.160
jiwa. Berikut ini tabel komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin: Jenis Kelamin
Jumlah Persentase
Laki-laki 2.730
46,35 Perempuan
3.160 53,65
Total 5.890
100 Sumber: Diadaptasi dari Monografi Desa Bawomataluo Periode Juni 2014.
37 Pemukiman Desa Bawomataluo terdapat sekitar 794 rumah yang terdiri
dari 142 omo hada rumah adat, 462 omo ndrawa rumah permanen biasa dan 192 rumah darurat atau rumah sangat sederhana. Menurut laporan bulanan di Desa
Bawomataluo, masih terdapat 300 KK yang belum memiliki rumah. Jumlah besar keluarga yang belum memiliki rumah ini biasanya keluarga baru menikah dan
masih tinggal dengan orang tua mereka. Ada juga keluarga yang memang tidak mampu memiliki tempat tinggal dan mereka biasanya menumpang di rumah sanak
saudara mereka yang memiliki rumah. Jumlah rumah adat omo hada di desa Bawomataluo yang hanya 142 unit,
memang tidak sebanyak rumah biasa lainnya. Namun rumah-rumah adat ini berada tepat di jantung kampung Bawomataluo. Berdasarkan ukurannya terdapat
3 jenis omo hada di desa ini yakni omo hada sebua rumah adat yang sangat besar milik raja di desa tersebut sebanyak 1 unit, omo hada sito’olo rumah adat
dengan ukuran agak besar sebanyak 15 unit, dan sisanya omo hada side-ide rumah adat ukuran kebanyakan.
Gambar 3.3 Rumah adat di Desa Bawomataluo: Rumah Raja, Rumah Bangsawan Tengah dan Rumah Masyarakat Kebanyakan.
38
3.2.4 Sarana Ibadah dan Pendidikan di Desa Bawomataluo
Di Desa Bawomataluo terdapat lima unit sarana ibadah berupa gereja sebab mayoritas penduduk desa ini menganut agama Kristen. Penganut agama
Katolik hanya sekitar 1.857 atau dari total jumlah penduduk di desa ini. Agama Protestan jauh lebih banyak dengan jumlah umat mayoritas yakni 4.015 orang
atau sekitar dari jumlah penduduk Desa Bawomataluo. Berikut ini tabel yang menunjukkan persentasi umat beragama di Desa Bawomataluo:
Sumber: Diadaptasi dari Laporan Bulanan Desa Bawomataluo Periode Juni 2014.
Sarana pendidikan di Desa Bawomataluo termasuk memadai sebab desa ini telah ada 1 satu Taman Kanak-Kanak, 2 dua lembaga Sekolah Dasar, 2
dua perguruan Sekolah Menengah Pertama, 1 satu Sekolah Menengah Atas, 1 satu Sekolah Menengah Kejuruan dan bahkan sudah terdapat kursus bahasa
Inggris di bawah pimpinan Petrus Zagoto dan asuhan Elmina Hura.
3.2.5 Sosial Ekonomi Desa Bawomataluo
Pengembangan pariwisata di Nias Selatan, khususnya di Desa Bawomataluo terus diupayakan. Utamanya pada empat tahun belakangan ini.
Desa Bawomataluo di bawah pimpinan Bapak Ariston Manao terus berbenah diri dalam pembangunan ekonomi berbasis pariwisata budaya. Bahkan sejak tahun
2009, Desa Bawomataluo telah didaftarkan menjadi salah satu warisan budaya Agama
Jumlah penganut Persentase
Kristen Protestan 4.015
68,17 Kristen Katolik
1875 31,83
Total 5890
100
39 dunia di UNESCO dan desa ini tidak patah semangat dalam memperkenalkan
budayanya ke seluruh nusantara, bahkan dunia. Perjuangan ini dapat dilihat dari kunjungan wisatawan yang melonjak
setiap tahunnya. Penyebabnya adalah ketika diadakannya suatu pagelaran budaya di desa ini yang biasa dinamakan “Festival Bawomataluo”. Kunjungan wisatawan
yang meningkat sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi berupa pendapatan daerah dan kesempatan kerja yang terbuka bagi masyarakat di Desa
Bawomataluo. Pertumbuhan perekonomian suatu dareah berkaitan erat dengan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya, sehingga pertumbuhan ekonomi di
harapkan bisa terjadi di setiap daerah. Banyak hal-hal yang unik dan menarik ketika berkunjung ke Desa Bawomataluo, diantaranya adalah seperti tampak pada
beberapa gambar berikut ini:
Gambar 3.4 Bawa Goli Ni Fobawa Lasara Patung Mulut Harimau di Gerbang Tangga Desa.
40
Gambar 3.5 Pintu Gerbang Menuju Desa Bawomataluo.
Gambar 3.6 Ewali Pekarangan Rumah di Desa Bawomataluo.
41
Gambar 3.7 Bale Balai Desa Sebagai Tempat Orahu Mbanua Atau Rapat Untuk Wadah Musyawarah Desa di Desa Bawomataluo.
Gambar 3.8 Rumah raja Omo Ni Folasara di Desa Bawomataluo, Tampak
Depan.
42
Gambar 3.9 Batu Va’ulu yang Tepat Berada di Depan Rumah Si’ulu di Desa Bawomataluo.
Gambar 3.10 Kantor Kepala Desa Bawomataluo.
43
Gambar 3.11 Pemandangan ke Pantai Sorake, Dilihat dari Puncak Pintu Gerbang Utama di Desa Bawomataluo.
Bebarapa gambar di atas merupakan dokumentasi penulis ketika meneliti di Desa Bawomataluo. Gambar tersebut menunjukkan bahwa daya tarik Desa
Bawomataluo, bukan hanya pada hombo batu yang begitu populer di desa ini, tetapi banyak hal lain yang mengagumkan yang bisa di nikmati para wisata ketika
berkunjung ke desa ini seperti. Omo sebua rumah adat milik raja desa setempat juga menjadi kebanggaan Desa Bawomataluo, Rumah adat yang masih tertata rapi
ba mboto mbanua pada kampung inti, batu megalit yang berumur ratusan tahun dan bawa goli ni fobawa lasara gerbang tangga desa yang dihiasi oleh patung
mulut harimau pada kedua sudut tangga masuk desa, terutama pada gerbang utama pintu masuk desa, letaknya yang berada di perbukitan, membuat desa ini
memiliki pemandangan yang menakjubkan. Ketika berada di puncak pintu gerbang masuk desa di sebelah barat, daya tarik pariwisata di Nias Selatan
sebagian besar terlihat, seperti Pantai Lagundri, Pantai Sorake, Kantor Kepala Desa Bawomataluo dan lainnya.
44
3.3. Teknik Pemilihan Informan
Teknik yang dilakukan dalam pemilihan informan pada hakekatnya sejalan dengan tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini, yang terkait dengan
pemaknaan hombo batu dari budaya tradisional menjadi budaya wisata. Untuk itu pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive, dengan
dasar pertimbangan bahwa informan yang dipilih adalah benar-benar memahami persoalan penelitian baik yang terlibat langsung dalam kegiatan hombo batu yang
menjadi topik penelitian maupun yang memiliki kompetensi dengan pokok permasalahan penelitian. Melalui teknik purposive ini informan dipilih
berdasarkan kriteria penilaian tertentu yang dipandang dapat mewakili data berkaitan dengan objek penelitian. Maka dalam penelitian ini, peneliti memilih
informan pelompat hombo batu dari Desa Bawomataluo maupun diluar yang masih berada di Nias selatan. Peneliti juga memilih informan yang dianggap
sebagi tokoh adat, masyarakat setempat dan wisatawan yang mengunjungi Desa Bawomataluo.
Pemilihan informan yang dilakukan juga didasarkan pada pengamatan yang dilakukan peneliti selama dalam proses penelitian. Oleh karena itu dalam
pemilihan informan juga harus diperhatikan mengenai faktor latar belakang informan maupun ketersediaan waktu dari informan dalam memberikan informasi
maupun penjelasan atas pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.
3.4. Teknik Pengumpulan Data