Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terkenal dengan keberagaman budaya yang dimilikinya, setiap daerah mempunyai ciri tersendiri dalam hasil budaya yang dimiliki. Keberagaman budaya ini merupakan kekayaan yang kita miliki sebagai masyarakat yang ada didalamnya. Beragam budaya Indonesia yang khas dan sangat menarik untuk kita ketahui, bahkan wisatawan asing juga tertarik untuk ikut menikmati pertunjukan budaya khas Indonesia tersebut, diantaranya: upacara Tabuik di Sumatera Barat, Makepung atau Balap Kerbau di masyarakat Bali, atraksi Debus di Banten, Karapan Sapi di Madura Jawa Timur, upacara Kasada di Bromo dan lain-lain. Pertunjukan budaya ini mempunyai makna disetiap gerakan, peralatan dan perlengkapan yang digunakannya. Ada yang dijadikan sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan, melatih kekuatan fisik, ketangkasan dan juga untuk ritual keagamaan. Salah satu budaya yang tidak kalah menarik dari sekian banyak budaya yang kita miliki saat ini selain beragam budaya di atas adalah ‘Hombo Batu’ atau lebih dikenal dengan Lompat Batu. Hombo batu merupakan budaya khas dari Kabupaten Nias Selatan yang telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Budaya hombo batu memiliki sejarah yang sarat oleh peperangan, patriotisme dan bersifat heroik. Seiring dengan perubahan zaman budaya hombo batu saat ini telah menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan lokal maupun wisatawan asing ketika berkunjung ke Kabupaten Nias Selatan yang terletak di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama. 2 Secara tidak langsung, masyarakat di Desa Bawomataluo telah menjadi bagian dari pariwisata di desa ini. Kegiatan para wisatawan selama berkunjung di Desa Bawomataluo yang terdorong oleh daya tarik hombo batu ikut mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat. Jasa angkutan, ojek atau RBT, jasa pemandu wisata, penjualan berbagai bentuk souvenir, penjualan makanan dan minuman merupakan beberapa contoh manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat setempat. Selain itu pendapatan secara ekonomis lainnya adalah kontribusi yang dikenakan kepada para pengunjung Desa Bawomataluo dengan pengelolaan lahan parkir, dimana sisi komersilnya dapat dikalkulasikan betapa signifikan pendapatan dari sektor ini. Pengenaan kontribusi terhadap pengunjung Rp. 5.000 per orang. Menurut data yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Bawomataluo, jumlah pengunjung pada tahun 2014 sebanyak 102.473 orang. Dengan demikian, pendapatan dari kontribusi yang dikenakan kepada pengunjung per tahunnya rata- rata sekitar Rp. 512.365.000. Dengan adanya pemasukan bagi masyarakat dan daerah, tentunya sangat menunjang terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Berdasarkan dokumen sejarah, Kepulauan Nias terkenal karena dibingkai oleh ragam pesona kebudayaan dan tempat pariwisatanya yang menarik beberapa diantaranya seperti, wisata air di Nias Selatan yaitu Pantai Lagundri dengan hamparan pasir putih yang luas. Pantai ini sering digunakan oleh wisatawan untuk berjemur sambil menikmati terik matahari dan ombak Samudera Hindia. Selain Pantai Lagundri, di Nias Selatan juga terdapat Pantai Sorake yang terkenal dengan ombaknya yang besar. Sangat cocok untuk para surfer tingkat dunia yang menyukai tantangan dengan ombak yang tinggi. 3 Gambar 1.1 Peselancar di Pantai Sorake. Berkunjung ke Kabupaten Nias Selatan, disini kita bisa mengunjungi Kecamatan Fanayama, di kecamatan ini terdapat salah satu desa adat yaitu Desa Bawomataluo. Desa Bawomataluo merupakan cagar budaya yang masih ada dan lestari sampai saat ini, karena desa ini merupakan sebuah potret sejarah dari perkembangan budaya di Kabupaten Nias Selatan yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Desa ini menyuguhkan kita deretan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Kabupaten Nias Selatan yang masih dihuni oleh penduduk, sebagaimana layaknya komplek perumahan. Berkunjung ke desa inilah kita bisa menyaksikan atraksi budaya hombo batu atau lompat batu yang pernah diabadikan di gambar salah satu mata uang rupiah, seperti tampak pada gambar dibawah ini. 4 Gambar 1.2 Hombo Batu Pulau Nias Pada Mata Uang Rp. 1000. Hombo batu merupakan dua suku kata dalam bahasa Nias, khususnya dialek Nias Selatan. Kata hombo sendiri tidak memiliki makna apa-apa atau tidak dapat berdiri sendiri bila tidak terdapat kata imbuhan atau suatu kata yang mengikutinya. Sama halnya kata layang dalam bahasa Indonesia yang sulit diartikan bila tidak terdapat kata imbuhan seperti melayang yang berarti terbang dengan sayap tidak bergerak atau terbang karena dihembus angin. Menurut penulis kamus Li Niha, Apollo Lase 2011:8, hombo merupakan kata dasar dari mohombo yang artinya terbang. Lase menjelaskan bahwa beberapa kata dalam bahasa Nias memang tak bisa sebangun dengan bahasa Indonesia. li niha bahasa Nias selalu atau hampir semua ditandai dengan awalan mo. Misalnya, mofano yang berarti pergi, berasal dari kata fano. Kata fano tidak memiliki arti dalam bahasa Nias. Demikian juga kata hombo sulit diartikan bila tidak terdapat imbuhan atau terdapat kata yang mengikutinya. Sedangkan batu merupakan dialek Nias Selatan dari kata kara dalam bahasa Nias Tengah dan Nias Utara yang memiliki arti sama dengan bahasa Indonesia yakni ‘batu’. Menurut kamus Nias-Indonesia yang 5 disusun oleh Sitasi Zagoto 2010:7, hombo batu diartikan sebagai olah raga tradisional di Nias, yaitu melompati batu bersusun yang tingginya 2,5 meter. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Lase, kata hombo juga tidak diterangkan oleh Zagoto. Dalam tulisannya, Zagoto hanya memberikan keterangan noun atau kata benda pada kata hombo namun tidak menjelaskan artinya. Dari kata hombo, Zagoto langsung menjelaskan beberapa kata yang berkaitan, seperti hombo batu, homboi lompati, lampaui, fahombo melompat tinggi, muhombo dalam dialek Nias Selatan sama dengan mohombo dalam dialek Nias Tengah dan Nias Utara yang berarti terbang. Nias Selatan memiliki dialek bahkan bahasa yang berbeda dengan Nias Utara atau Nias Tengah. Oleh karena itu, kamus li niha yang ditulis oleh Apollo Lase di atas lebih condong ke bahasa Nias Utara sedangkan kamus yang ditulis oleh Zagoto identik dengan dialek atau bahasa Nias Selatan li niha raya. Beberapa sumber seperti masyarakat Pulau Nias dan media massa mengatakan bahwa awalnya, budaya hombo batu ini diciptakan sebagai wadah untuk melatih fisik dan mental para remaja pria di Nias Selatan menjelang usia dewasa. Makna hombo batu saat ini mempunyai beberapa versi antara lain: a. Melatih ketangkasan dan kriteria untuk menjadi prajurit perang Masyarakat Nias Selatan dahulunya sering terjadi perang antar kampung, salah satu penyebabnya adalah untuk mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan kampungnya. Untuk itu, setiap kampung menyiapkan pemudanya untuk dilatih ketangkasan fisik dan mental sehingga bisa siap menjadi prajurit perang. Salah satu wadah latihannya adalah lompat batu atau hombo batu dimana bagi pemuda desa yang mampu melompati batu bersusun tersebut 6 secara berturut-turut sebanyak tiga kali, akan dipilih menjadi prajurit perang. Ketika telah menjadi prajurit, maka mereka berkesempatan untuk menjadi samu’i yakni prajurit perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan perang dan mampu membawa penggalan kepala musuh yang akan dipersembahkan kepada Si’ulu Pimpinan tertinggi atau raja di Nias Selatan. Dengan berhasilnya seorang prajurit di medan perang, dia akan diberikan fondrako penghargaan berupa rai ana’a mahkota yang terbuat dari emas dan dijamu dengan pesta yang sangat meriah. Sehingga setiap pemuda berlomba dan berusaha untuk bisa melewati ujian hombo batu tersebut. Gambar 1.3 Batu Yang Harus di Lompati. 7 b. Sarana olah raga bagi pemuda di Nias Selatan Bagi sebagian masyarakat Nias menganggap bahwa hombo batu hanya sebagai sarana olah raga bagi pemuda di Nias Selatan. Tidak ada bedanya dengan olah raga lainnya seperti sepak bola, voli ataupun tennis. Setiap desa memiliki pelompatnya masing-masing, dan telah dipersiapkan khusus untuk mengikuti lomba hombo batu. Seperti olah raga lain pada umumnya, yang sering di perlombakan, hombo batu juga rutin dipertandingkan dalam rangka menyambut hari raya ataupun hari besar agama. Pelompat-pelompat inilah yang akan ikut dalam turnamen hombo batu tersebut. Penilaiannya adalah ketinggian dan gaya yang ditampilkan oleh pelompat. Bagi pemenang akan mendapatkan hadiah dan hal ini merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga untuk kampung asalnya. c. Kesenian Selain untuk melatih ketangkasan olah raga, hombo batu juga merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana dalam upacara adat istiadat dan ritual dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan pada masa lalu. Kesenian kebudayaan hombo batu ini menyimpan sejumlah makna filosofi yang arif dan rasional. Biasanya pertunjukannya dilakukan ketika ada pesta penikahan ataupun kematian di keluarga Si’ulu raja dan juga kepada para perangkat desa di Nias Selatan. d. Menandakan kedewasaan dan syarat untuk menikah Salah satu makna yang hombo batu berkembang di luar Pulau Nias bahwa hombo batu merupakan patokan bagi seorang pemuda di Pulau Nias untuk bisa menikah, yang berarti bahwa syarat bagi seorang pemuda laki-laki 8 dikatakan sudah dewasa dan berhak untuk menikah adalah mereka yang sudah bisa melompati batu susun setinggi dua meter lebih tersebut. Hal ini berarti bagi mereka yang belum bisa melakukan hombo batu, mereka juga tidak diizinkan untuk menikah. Bagi orang yang berkunjung ke Pulau Nias, utamanya dalam penjelasan makna-makna filosofis atraksi hombo batu dan atribut serta atraksi pendukung lainnya yang dikemas dalam suatu paket wisata. Contoh ‘makna’ hombo batu yang begitu populer di media seperti yang ditulis oleh Hernasari, 2006 berikut ini: “...Di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada tradisi yang tidak boleh Anda lewatkan jika berlibur ke sana. Saksikanlah hombo batu, tradisi lompat batu setinggi 2 meter untuk para pemuda. Uniknya, pemuda yang akan menikah diharuskan lulus ujian lompat batu ini. Karena setiap pemuda yang berhasil melompati batu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Jika belum berhasil, maka ia belum dinilai dewasa dan belum diizinkan menikah, menantang bukan?...”. Tulisan ini seolah-olah merupakan kebenaran nyata yang terjadi di Pulau Nias secara menyeluruh. Apalagi kalimat yang digunakannya begitu meyakinkan pembaca bahwa apa yang disaksikannya adalah benar adanya. Cuplikan artikel ini juga kelihatannya menarik, unik dan menantang bagi yang membaca. Namun, pemaknaan secara filosofis yang sesungguhnya perlu diluruskan, sehingga setiap orang yang mengetahui tentang hombo batu, bisa mengetahui makna yang sebenarnya dari hombo batu tersebut. e. Kebanggaan atau Prestisius Ketika seorang anak dari satu keluarga untuk pertama kalinya berhasil dalam melewati batu yang telah disusun setinggi dua meter lebih tersebut, dengan cara melompatinya mereka tidak segan-segan untuk menjamu tetangga atau keluarga dekatnya, sebagai simbol rasa syukur dan kebanggaan bagi pelompat 9 mau pun dari keluarganya sendiri. Karena keberhasilan ini merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa bagi orang tua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya ketika anak laki-laki mereka berhasil melewati hombo batu, maka diadakan acara syukuran. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompati hombo batu dengan sempurna untuk pertama kalinya, dengan pesta yang sangat meriah. Para pemuda ini yang merupakan generasi yang akan menjadi prajurit pembela kampung dan keluarganya ketika suatu waktu terjadi perang dengan kampung lainnya. Karena begitu tingginya tingkat prestisius dari tradisi ini, maka setiap pemuda di Nias Selatan yang ingin menekuni hombo batu ini, melakukan latihan sejak berumur tujuh tahun. Sesuai pertumbuhan anak tersebut, mereka akan terus berlatih melompati tali dengan ketinggian yang terus bertambah sesuai usia. Akhirnya, latihan tersebut akan dibuktikan pada tradisi hombo batu ini. Jelas tidak mudah untuk melakukan tradisi ini, terbukti tidak semua pemuda dapat melakukan tradisi hombo batu ini, meskipun sudah berlatih sejak lama. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar, tingginya kurang lebih 2 meter, lebar permukaan bagian bawah sekitar 120 centimeter. Lebar puncak batu ini sekitar 80 centimeter dengan permukaan datar. Batuan ini merupakan batuan alami yang diambil langsung dari alam, yang dikikis dan dibentuk sesuai kebutuhan sehingga membentuk bangunan yang mirip piramida yang disebut hombo batu. Sebelum melakukan lompatan, pelompat akan mengambil ancang-ancang untuk berlari dari jarak 8 meter dari batu lompatan dan kemudian akan berpijak pada batu pijakan 10 yang biasa disebut dengan tara hoso setinggi 40 centimeter, batu ini berfungsi untuk membantu melontarkan para pelompat untuk terbang atau melayang dan melewati hombo batu tersebut. Gambar 1.4 Batu Pijakan Tara Hoso. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tekhnik ketika melewati dengan tidak menyentuh bagian atas batu susun tersebut, karena apabila dia menyentuhnya, maka pelompat tersebut dinyatakatan gagal dan harus mengulangi lompatannya sampai tidak menyentuh bagian atas batu susun tersebut. Setelah itu, baru lah pelompat dinyatakan berhasil dalam melakukan hombo batu. Bukan hanya itu saja, dalam melakukan pendaratan, pelompat juga harus berhati-hati dan dengan tekhnik yang benar dalam mendarat, apabila mendarat dengan posisi yang salah 11 maka dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Beberapa gambar tentang lompat batu hombo batu seperti tampak pada beberapa gambar dibawah ini: Gambar 1.5 Pelompat Hombo Batu yang Beraksi dengan Berpijak di Tara Hoso. Gambar 1.6 Pelompat Hombo Batu yang Menyentuh Permukaan Batu dan Dinyatakan Gagal. 12 Gambar 1.7 Pelompat Hombo Batu yang Sedang Beraksi dan Berhasil Mendarat dengan Sempurna. Terlepas dengan berbagai pendapat tentang makna hombo batu ini, tentu ada nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, sehingga sampai sekarang masih ada desa yang melestarikannya. Tetapi saat ini budaya tersebut sudah lebih mengarah pada pertunjukkan pariwisata. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Hal ini lah yang membuat para pemuda desa di daerah tujuan wisata ini telah menjadikan hombo batu lebih mengarah pada aktivitas pariwisata yang dikomersialkan. Biasanya mereka meminta dan bahkan ada yang setengah memaksa wisatawan untuk menyaksikan atraksi ini, karena mereka tidak mau melompat tanpa dibayar. 13 Banyak yang merupakan penduduk asli Pulau Nias yang tidak tahu makna yang sebenarnya dari hombo batu. Mereka hanya sekedar mengetahui bahwa mereka mempunyai kesenian budaya tanpa mengetahui makna, nilai dan pesan yang sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam kesenian budaya tersebut. Hal ini lah yang menjadi perhatian penulis atas keadaan budaya dalam kepariwisataan yang dikomersialkan di Desa Bawomataluo.

1.2. Perumusan Masalah