55
4.2.1.2. Ketebalan
Pengukuran ketebalaan film dilakukan pada lima titik yang diukur secara acak dengan menggunakan mikrometer sekrup. Hasil dari pengukuran ketebalan edible
film pada variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin yaitu 0,16 mm lebih tinggi dibandingkan dengan ketebalan edible film
dengan variasi 0,4 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin yaitu 0,14 mm. Hal ini dikarenakan dengan adanya perbedaan variasi pada
penambahan sisik ikan. Sisik ikan yang terdapat dalam film mempengaruhi komposisi film sehingga semakin banyak sisik ikan yang ditambahkan sebagai
bahan pengisi mempengaruhi ketebalan film.
4.2.1.3. Keregangan
Keregangan film adalah kemampuan bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami film. Nilai elongasi menggambarkan ukuran kemampuan film untuk
merenggang atau memanjang. Keregangan film dinyatakan dalam kemuluran saat putus dengan satuan yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus
dibandingkan panjang awal. Sifat keregangan atau kemuluran ini sangat berguna mengingat sifat pembungkus harus mampu melindungi makanan yang ada di
dalam edible film. Berdasarkan hasil uji keregangan edible film dengan variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin dihasilkan
persen keregangan 29,31 sedangkan variasi 0,4 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan2 dan 1 ml gliserin dihasilkan persen keregangan 14,90.
Hal ini dapat disimpulkan semakin kuat suatu film maka semakin kuat juga persen keregangan karena film yang kuat tidak mudah putus ketika terjadi tarikan.
4.2.3. Analisa SEM Scanning Electron Microscopy
Morfologi permukaan dianalisis dengan SEM. Hasil yang didapat dipengaruhi oleh bahan penyusun dari edible film, apakah bahan yang digunakan dapat
bercampur atau tidak antara matriks, filler maupun plastisizer yang ditambahkan,
56
dilihat dari uji karakterisasi yang tertinggi dilakukan analisa SEM terhadap edible film. Edible film yang dianalisa SEM adalah edible film dengan hasil uji kuat tarik
dan keregangan terbaik. Hasil terbaik yang diperoleh adalah edible film dengan variasi 0,5 g sisik ikan, 1,5 g tepung tapioka, 12 ml kitosan 2 dan 1 ml gliserin.
Pada analisa SEM ini dihasilkan dapat dilihat pada perbesaran 2000 x permukaan dari edible film yang cukup teratur dan pori-pori yang rapat namun struktur dari
edible film masih kelihatan tidak begitu rata karena filler berupa sisik ikan tidak tercampur sempurna.
4.2.4. Analisa FTIR Fourier Transform Infra Red
Dari lampiran 3 dapat dilihat untuk hasil spektrum yang terlihat pada daerah 3297,98 cm
-1
menunjukkan adanya gugus hidroksil OH yang berasal dari α-
glukosa, spektrum dengan serapan pada daerah 2924,09 cm
-1
menunukkan adanya gugus hidroksil OH yang berasal dari sisik ikan, spektrum dengan serapan pada
daerah 3294,29 cm
-1
menunjukkan adanya gugus hidroksil OH yang berasal dari gliserin, spektrum dengan serapan pada daerah 3361,17 cm
-1
menunjukkan adanya gugus hidroksil OH yang berasal dari kitosan. Dari lampiran 3 dapat dilihat
untuk hasil spektrum yang terlihat pada daerah 2931,95 cm
-1
menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari tepung tapioka, spekrum dengan serapan pada daerah
2924,09 cm
-1
menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari sisik ikan. Spektrum dengan serapan pada daerah 2935,13 cm
-1
menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari gliserin,
Spektrum dengan serapan pada daerah 3410,15 cm
-1
menunjukkan adanya gugus hidroksil OH pada edible film. Perbedaan ini juga jelas terlihat pada
gabungan spektrum yang ditunjukkan pada gambar 4.2 diatas dan pada spektrum dengan serapan pada daerah 2893,22 cm
-1
menunjukkan adanya CH alifatis yang berasal dari edible film. Nilai spectrum ini menunjukkan bahwa adanya interaksi
antara semua bahan yang dicampurkan kedalam film yaitu sisik ikan, tepung tapioka, kitosan dan gliserin.
4.2.5. Uji Aktivitas Antioksidan Edible Film