- Penggunaan atas tanah perkebunan oleh rakyat penunggu diselesaikan dengan
cara-cara represif sepihak -
Sangat terasanya nuansa otoriter pada rezim orde baru -
Tidak berdayanya lembaga legislatif dalam mengakomodir kepentingan rakyat.
6.3.8. Analisa Konflik
Pada tahun 1942 wilayah Sumatera Utara Sumatera Timur khususnya wilayah perkebunan Marindal telah dikuasai oleh tentara Dai Nippon Jepang.
Akibat dari penguasaan Jepang tersebut seluruh kegiatan perkebunan tutup total. Penguasa Jepang merubah fungsi perkebunan yang dulu dikuasai Belanda berubah
fungsi dan statusnya menjadi petanipenggarap. Rakyat atau petani disuruh mengerjakanmenggarap tanah-tanah eks perkebunan yang ditinggalkan oleh Belanda
tersebut, dengan ketentuan rakyat harus menanam padi dan palawija bukan lagi tembakau, kopi dan lain sebagainya.
Seluruh hasil tanaman padi dan palawija yang ditanam oleh petanirakyat penggarap harus diberikandisetor kepada tentara Jepang guna memenuhi kebutuhan
logistik mereka. Akibatnya rakyat merasa lebih tertindas karena mereka beranggapan segala tanaman yang mereka tanam seperti padi dan palawija tidak bisa mereka
nikmati, mereka hanya bisa mengkonsumsi ubisingkong atau hasil-hasil pertanian yang tidak memiliki nilai gizi dan ekonomi tinggi. Masa penjajahan Jepang ini
memang membuat rakyat sengsara dan hidup lebih menderita, sehingga banyak jatuh korban akibat kelaparan dan kurangnya nilai gizi yang baik untuk rakyat. Namun hal
ini tidak berlangsung lama, karena Belanda datang kembali dengan membawa sekutu
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
untuk menduduki kembali daerah Indonesia Timur Marindal atau yang lebih dikenal dengan Agresi Belanda II, yang mengakibatkan banyak rakyat mengungsi karenanya.
Keberhasialan Belanda dalam memperebutkan wilayah Hindia Belanda termasuk Indonesia Timur Marindal, akhirnya membuka kembali perusahaan Deli
My termasuk perkebunan Marindal. Dengan dibukanya perusahaan perkebunan tersebut, rakyat marindal banyak direkrut kembali menjadi buruh. Sebagian dari
rakyat tetap bertahan menjadi petanipenggarap. Beberapa tahun kemudian perusahaan perkebunan Belanda dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia.
Setelah bertahun-tahun para petanirakyat menguasai tanah tersebut, pemerintah mengeluarkan Kartu Tanda Pendudukan Tanah melalui kepala Kantor Reorganisasi
Pemakaian Tanah yang biasa disebut KRPT Sumatera Timur yaitu Dt. Syahruddin pada tahun 1954-1956.
Karena tingkat kesadaran penduduk akan surat tanah masih rendah maka banyak penggarap yang tidak mengurus untuk mendapat surat garap KRPT. Tetapi
mereka masih terus menggarapnya untuk kebutuhan pangan mereka . pada tahun 1976 kebawah tepatnya masa penanaman tenbakau, para buruh perkebunan diberikan
sebidang lahan dengan sebutan garapan kebun sayur. Hal ini bertujuan untuk menambah pemasukan penghasilan buruh perkebunan. Garapan kebun sayur pada
umumnya diberikan disekitar tempat tinggal pondok buruh dan tidak pernah ditanami tembakau.
Pada tahun 1976 terjadi lagi sebuah ironi bagi masyarakat penggarap karena perusahaan perkebunan mengalihkan budidaya tanaman dari tanaman tenbakau
manjadi tanaman kakaocoklat. Dalam hal ini pihak perusahaan perkebunan Marindal
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
PTPN II mentraktor seluruh lahan garapan masyarakat pada hal sebelum dinasionalisasikan oleh Indonesia, kepentingankesejahteraanburuh sangat
diperhatikan oleh Belanda. Seperti penuturan informan yang menyatakan bahwa selama jaman penjajahan lebih enak dijajah Belanda daripada dijajah oleh Jepang
karena pada masa penjajahan Jepang seluruh rakyat menderita dan kekurangan gizi. Dinasionalisasikannya perkebunan Belanda oleh pemerintah Indonesia
melalui PPNPNPPTP IXPTPN II, justru membuat hilangnya hak-hak rakyat penggarap dari pemerintah Belanda yang dirampasdihilangkan oleh pemerintah
Indonesia. Penggusuran dengan cara mentraktor seluruh kebun sayur dan bangunan- bangunan diatasnya sangat tidak wajar, karena pemerintah Indonesia melakukannya
tanpa adanya musyawarah dan ganti rugi sama sekali. Masyarakat terpaksa meninggalkan lahan garapannya tersebut karena pemerintah Indonesia
mengintimidasi melalui aparat keamanan yaitu TNI. Intimidasi ini sangat membuat para buruh tak berdaya, karena mereka takut dianggap sebagai PKI. Akibat dari
intimidasi ini para buruh berangsur-angsur meninggalkan kebun sayur dan bangunannya dan lantas mereka pindah ke daerah atau kawasan yang dianggap aman.
Pentraktoran brutal yang dilakukan pemerintah Indonesia atau yang lebih dikenal dengan ”gajah kuning” hanyalah sebuah kegiatan yang tak beralasan karena
lahan tersebut setelah ditraktor hanya dibiarkan dan ditelantarkan begitu saja. Para buruh yang dulunya tergusur dan terusir, berangsur-angsur kembali menduduki lahan
tersebut. Mereka kembali melakukan penggarapan dan menanami lahan eks perkebunan. Dalam kurun waktu yang cukup lama, lahan perkebunan yang dibiarkan
kosong membuat banyak bermunculannya penggarap baru. Namun tanpa disangka-
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
sangka pada tahun 1972-1978 tanpa musyawarah kembali dan tanpa pemberitahuan sama sekali, pihak perkebunan mentraktor lahan tersebut dan menanaminya dengan
tanaman kakaocoklat sampai dengan tahun 2000. Seiring dengan adanya gerakan Reformasi, segala persoalan yang selama ini
terkubur kembali mencuatmuncul kepermukaan. Semangat kebebasan pada era reformasi telah pula menimbulkan kontradiksi-kontradiksi, hal ini bisa dilihat secara
khusus terutama maslah tanah. Persoalan tanah tidak bisa dilepaskan dari tijauan sejarah konflik tanah di Sumatera Utara. Dari uraian historis konflik tanah peneliti
berusaha mencari ”benang merah” terhadap konflik yang terjadi didesa Marindal I.
6.3.9. Potensi Konflik