Sejarah Konflik Lahan PTPN II

”Pada saat warga Marindal I datang melakukan penyerangan, aku dengan kawan-kawan sedang ngumpul di sebuah warung kopi tempat kami biasa ngumpul. Begitu kami tau tentang adanya penyerangan, kami langsung ikut sambil memanggili warga lainnya. Hanya sebentar saja kami langsung dapat dikumpulkan karena sejak terjadi pemukulan terhadap warga kami selalu berjaga-jaga untuk menghadapi apabila mereka melakukan penyerangan lagi. Waktu itu terjadi juga pukul-pukulan, lempar-lemparan batu, tanganku juga sakit kena lempar batu, tetapi tidak berapa lama kami dapat mengusir mereka dari kampung ini”. Hasil wawancara, bulan Juli 2009. Mas Yon mengaku ikut terlibat karena ajakan dari rekan-rekannya sesama pemuda Marindal, ia juga mengaku ingin membela desanya, apalagi saat itu usianya masih muda sehingga tanpa pikir panjang ia langsung saja mau ikut-ikutan. Abang tamatan SMA ini mengatakan hingga saat ini hubungan antara penggarap belum pulih seperti sebelum terjadinya konflik.

6.3. Interpretasi Data

6.3.4. Sejarah Konflik Lahan PTPN II

Perkebunan yang berada di Sumatera Utara pertama kali muncul berawal dari seorang pengusaha swasta asing Belanda yaitu Jacobus Nienhuys yang pernah sukses menanamm tembakau melalui kerjasama dengan Sultan Deli pada tahun 1864. Dengan hasil yang begitu memuaskan yang dikapalkan ke pasar Internasional. Menjulangnya mutu tembakau Deli di pasar dunia menarik pengusaha swasta asing di mancanegara berdatangan untuk menanmkan modalnya dalam industri tembakau. Sultan Deli, Serdang, Langkat dan Asahan menerima dan menyambut pengusaha swasta mancanegara penuh kegembiraan tanpa sedikitpun bermaksud mempersulit masuknya modal besar di daerah kekuasaan. Masuknya ratusan perkebunan yang merentang dari sungai ular sampai sungai wampu, melahirkan perubahan besar, dimana terbangunnya jembatan, jalan, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pelabuhan dan bermacam fasilitas perkebunan. Terbangunnya fasilitas perkebunan ini membuat kota Medan tidak mau ketinggalan berkembang, dimana kota Medan ditujukan untuk mempercepat dan memperlancar ekstraksi surplus produksi ke negara induk Agustono, 1997 : 26-29. Dengan disahkannya akta konsensi pada tahun 1877 merupakan perjanjian yang ditetapkan pemerintah Belanda sebagai jalan keluar, namun akibat dari akta konsensi ini mengubah cara bertani orang Melayu yang menetap menjadi berpindah- pindah sesuai dengan panen tembakau, ketika ditanda tanganinya akta konsensi Sultan tidak memahami persoalan agraria. Dimana yang memahami akta konsensi ini adalah pemerintah Belanda dan Sultan hanya menerima saja. Sultan tidak berwenang dalam mengurusi persoalan agraria di daerah kekuasaannya sendiri. Kalaupun terdapat perselisihan tanah, Sultan tidak dapat memberikan keputusan. Akibat akta konsensi ini, tidak pernah menjelaskan siapa yang berhak mendapat tanah jaluran. Memang dalam akta konsensi 1878 ada disebutkan kata opgezeten yang berarti orang-orang yang mempunyai rumah sendiri diatas tanah yang diserahkan kepada perkebunan. Namun kata opgezeten disalah artikan dan menimbulkan berbagai macam penafsiran. Pihak Perkebunan menyatakan yang berhak memperoleh tanah jaluran hanya orang-orang yang pada saat pemberian konsensi sudah punya rumah dalam persil konsensi. Pada tahun 1884, pengertian opgezeten dalam akta konsensi berubah menjadi ”semua kepala keluarga baik yang telah tinggal di tanah bersangkutan maupun setelah penyerahan tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah”. Demikian pula akta 1892 tidak juga merinci secara jelas siapa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara yang berhak mendapat tanah jaluran. Ketika akta tersebut menyatakan yang berhak mendapat tanah jaluran adalah rakyat yang bertempat tinggal di atas tanah perkebunan Agustono, 1997 : 42-43. Kestabilan, ketentraman, ketertiban dan pembagian tanah jaluran sangat dirasakan oleh penduduk asli, karena pada saat itu merupakan masa peperangan belum dimulai sehingga jaman normal dan kestabilan rakyat menunggu untuk memperoleh distribusi tanah jaluran yang berada diatas tanah adat mereka Agustono, 1997 : 44.

6.3.5. Munculnya Paham Kebangsaan