Kekhawatiran dan kecemasan rakyat penunggu cukup beralasan mengingat para pendatang cukup agresif menduduki tanah jaluran. Selama ini mereka yang berhak
menggunakan tanah haluran itu, dipandang karenanya rakyat penungggu sebagai penggerogotan tanah adat mereka. Akibatnya menyebabkan ketegangan, di satu pihak
antara kaum pewrgerakan dengan kesultanan dan di pihak lain antara pendatang dan orang Melayu Agustono, 1997 : 48-50.
6.3.7. Memasuki Masa Kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru
Cita-cita kaum pergerakan mendambakan Indonesia yang bebas dan berdaulat menjadi kenyataan. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan, akan tetapi di Sumatera Timur berita proklamasi agak terlambat yaitu pada tanggal 30 September 1945. Runtuhnya kekuasaan Melayu membawa persoalan
bagi rakyat penunggu, selain menjungkirbalikkan elit tradisional lama dari panggung kekuasaan juga menyebabkan terlepasnya sumber reproduksi ekonomi yang selama
ini mengucurkan kekayaan, kewibawaan dan kehormatan. Akibat revolusi sosial kesultana dihapuskan, tanah dinasionalisasi atas nama republik dan keistimewaan
mulai dicabut. Hal ini belum lagi menyangkut perkebunan yang dikuasai laskar-laskar rakyat. Penguasaan perkebunan oleh laskar rakyat berubah menjadi arena tarik
menarik dalam memperebutkan sumber reproduksi ekonomi tanah. Dalam mengisi kemerdekaan upaya republik baru mendapat kesulitan karena
Belanda menggelar aksi polisionil atau populer disebut agresi militer. Kedatangan Belanda melalui agresi militer ke Sumatera Timur jelas ingin menata kembali
kekuasaannya. Usaha untuk menata kembali struktur masyarakat kolonial berhasil, tetapi tidak dalam keadaan sempurna karena mendapat reaksi perlawanan dari rakyat
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
yang setia kepada republik. Semerntara Belanda di tahun-tahun itu berusaha keras hendak mengambil keperkasaan ekonomi perkebunan seraya menata administrasinya.
Sedangkan di pihak lain elit tradisional yang duduk di negara Sumatera timur juga sibuk menata daerah kekuasaannya guna menghadapi ancaman dari luar. Bagi rakyat
penunggu yang hak tanahnya tercabik-cabik pada pemerintahan Sumatera Timur mendapat tanah jaluran, dan mereka kembali mengerjakan tanah jalurannya
Agustono, 1997 :52-53. Ketika Sumatera Timur diproklamirkan di Sumatera Timur telah berdiri partai
politik beserta ormas-ormasnya. Ada banyak partai politik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya ada 4 partai besar yang berpengaruh yaitu PNI, Masyumi,
NU, dan PKI. Berdirinya partai politik dan organisasi petani menyemarakkan dinamika politik dan ekonomi Sumatera Timur. Perkembangan organisasi petani,
para pendatang yang menyerbu kantong-kantong perkebunan dari berbagai daerah kian terus meningkat. Jumlah mereka semakin lama semakin meningkat sehingga
melebihi jumlah orang Melayu. Para pendatang dengan agresifnya menduduki dan membangun rumah secara liar di tanah-tanah kosong perkebunan sehingga mereka
sering disebut pemukim liar Agustono, 1997 : 54. Keberadaan organisaasi petani yang banyak dimasuki para pendatang
menyebabkan partai membela kepentingan mereka. Kebijakan politik dan ekonomi Sumatera Timur sangat merugikan pemukim liar, khususnya soal pemulihan ekonomi
perkebunan dan pengembalian tanah-tanah oleh perkebunan atau menguntungkan bagi orang Melayu. Hampir bersamaan dengan kecaman atas penggunaaan tanah
jaluran, kekuatan republik menginginkan pembubaran negara Sumatera Timur. Makin
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
lama kecaman pada negara Sumatera Timur kian membesar, dimana kecaman tersebut melebihi pemaksaan kepada negara Sumatera Timur untuk menghalau
pendatang atau pemukim liar yang terdiri dari beberapa kelmpok etnik supaya keluar dari tanah perkebunan.
Dengan kleteguhan dan kesadaran atas jiwa nasionalisme para pendatang terhadap republik, mereka melakukan berbagai cara dimana rakyat dan juga ormas
partai mengekspresikan ketidaksenangan atas kebijakan politik negara Sumatera Timur. Melalui demonstrasi dan petisi pada tanggal 13 Agustus 1950 akhirnya
seluruh petinggi negara Sumatera Timur sepakat membubarkan dan bergabung kedalam republik dan kemudian namanya berubah menjadi Sumatera Utara.
Meskipun Integrasi Sumatera Timur ke republik dan berubah nama menjadi Sumatera Utara namun republik tidak pernah menyatakan atas penghapusan tanah
jaluran tanah adat rakyat penunggu. Hal ini memberi arti bahwa republik tetap mengakui hak adat rakyat penunggu, dan tentunya menambah polemik sehingga
semakin kompleks persoalan tanah perkebunan yang berada di Sumatera Utara. Terbentuknya republik menciptakan masa orde baru yang didukung oleh
rakyat penunggu. Karena rakyat penunggu beranggapan bahwa masa orde baru akan mendatangkan sebuah orde politik yang membawa keamanan, ketertiban dan
kepastian. Namun sesudah beberapa tahun orde baru menjalankan roda pemerintahannya, kepastian penyelesaian masalah hak adat makin menjauh, sebab
dari awal orde baru tidak meletakkan persoalan tanah sebagai prioritas utama. Hal ini ditandai penghapusan hak adat, dari sikap politik pemerintah Sumatera Utara lmelalui
penerbitan SK Gubsu tanggal 16 juli 1969 NO 370IIIGSU1968 menyatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
1. Penggarapan tanah jaluran dalam areal perusahaan negara perkebunan IX
sekarang PTPN II di kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Langkat, baik oleh rakyat petani maupun rakyat karyawan PNP, pegawai negeri, ABRI ditiadakan.
2. Mewajibkan PNP IX PTPN II untuk mengelola dan menanami tanah kosong
bekas tanaman tembakau yang dulunya disediakan untuk tanah jaluran di dalam PNP itu dengan tanaman padi, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Tehnik dan cara pengolahan tanamannya dilakukan oleh PNP IX PTPN II
dengan memakai peralatan dan tenaga karyawan sendiri. b.
Hasil padi yang diperoleh dari penanaman diperhitungkan jatah beras buat PNP IX dan tidak diperkenankan untuk diperjual belikan.
Dan ada lagi surat komandan Korem 023Dataran Tinggi bernomor K-52081968 tanggal 27 juli 1968 yang menerangkan :
1. Supaya penggarapan tanah jaluran ditiadakan;
2. Supaya PNP IX PTPN II diwajibkan menanami tanah-tanah bekas penanaman
tembakau dengan bahan makanan, hingga produksi beras tidak berkurang. 3.
Supaya hasil padi diperhitungkan dengan jatah beras untuk PNP. Pada masa orde baru keberadaan konflik tanah bertambah lagi, ini ditandai dengan
penggunaan tanah perkebunan dan sifat-sifat konflik atas penggunaan tanah perkebunan tersebut antara lain:
- Rezim orde baru menghilangkan tanah adat dan sangat represif keputusan militer
- Terjadinya intimidasi, teror dan pembakaran jika ada yang menuntut lahan
perkebunan oleh penguasa -
Peradilan selalu berpihak kepada penguasa dalam penanganan konflik tanah
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
- Penggunaan atas tanah perkebunan oleh rakyat penunggu diselesaikan dengan
cara-cara represif sepihak -
Sangat terasanya nuansa otoriter pada rezim orde baru -
Tidak berdayanya lembaga legislatif dalam mengakomodir kepentingan rakyat.
6.3.8. Analisa Konflik