Dilarang menyita barang-barang tertentu

J. Dilarang menyita barang-barang tertentu

1. Larangan menyita barang milik pihak ketiga. Dalam prinsip kontrak partai party contract sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian hanya mengikat kepada pihak-pihak yang membuatnya dan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Hal ini juga berlaku dalam proses penyelesaian perkara. Sehubungan dengan hal itu, pengabulan dan pelaksanaan sita hanya terbatas pada harta kekayaan tergugat saja, dan tidak boleh mencampuri harta kekayaan pihak ketiga. Penelitian terhadap suatu harta yang diajukan sita apakah milik tergugat atau tidak, dapat dilakukan melalui jalur pemeriksaan isidentil atau melalui pemeriksaan pokok perkara, atau juga bisa meneliti kantor pendaftaran tanah apabila harta tersebut berbentuk tanah. Seandainya telah terjadi kasus yang demikian, pemilik atau pihak yang dirugikan pihak ketiga dapat mengajukan derdenverzet atas sita selama putusan belum berkekuatan hukum tetap serta sita tersebut belum diangkat. Bila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka pihak ketiga harus tuntutannya melalui gugatan perdata biasa. Hal ini sesuai Putusan MA No. 996 KPdt1989. Bila harta tersebut benar milik pihak ketiga berdasarkan perlawanan pihak tergugat, maka hakim harus segera: a Mengeluarkan penetapan pengangkatan sita terhadap barang yang dimaksud, b. Jika barang berupa tanah atau kapal yang didaftar di kantor pendaftaran tanah, atau pejabat lain yang berwewenang untuk itu, maka diberitahukan kepada pejabat yang bersangkutan untuk mencabut sita dan dipulihkan seperti keadaan yang semula. Universitas Sumatera Utara 2. Larangan menyita barang-barang tertentu. Menurut Pasal 211 Rbg, ada barang-barang yang tidak boleh disita, yaitu: a. Hewan, dan b. Perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan sebagai alat pencari nafkah sehari-hari. Hewan atau perkakas tersebut sungguh-sungguh dipergunakan untuk menafkahi tergugat, seperti sapi atau kerbau untuk membajak sawah bagi petani. Namun apabila hewan atau perkakas tersebut berfungsi sebagai sarana jasa atau produksi tidak termasuk dalam golongan itu. Rasio pelarangan ini bertolak dari adanya nilai-nilai kemanusiaan yang melindungi debitur dari kemusnahan total dan jangan sampai kegiatannya untuk melanjutkan kelangsungan hidup terhenti. Keberadaan Pasal 211 Rbg ini mengeculikan azas yang ada pada Pasal 1131 KUH Perdata. Prof. Subekti56 Landasan hukum pelarangan penyitaan terhadap barang milik negara dapat dilihat pada Putusan MA No. 2539 KPdt1985, yang menegaskan bahwa , mengajukan perluasan larangan itu tidak hanya terbatas pada hewan dan perkakas mata pencaharian saja, tetapi meliputi tempat tidur yang dipergunakan suami-istri dan anak- anak, serta terhadap buku-buku ilmiah sampai batas tertentu. 3. Larangan menyita barang milik negara. 57 56 R. Subekti, Op. Cit., h. 55 57 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit., h. 322. : Universitas Sumatera Utara a. Pada prinsipnya barang-barang milik negara tidak dapat dijatuhi sita jaminan atau sita eksekusi, karena barang -barang tersebut dipakai dan diperuntukkan untuk melaksanakan tugas kenegaraan. b. Namun demikian berdasarkan Pasal 66 ICW memberi kemungkinan untuk menyita barang- barang milik negara atas izin MA. c. Akan tetapi, kebolehan itu harus memperhatikan Pasal 66 ICW, bahwa terhadap barang-barang milik negara tertentu baik karena sifatnya atau karena tujuannya menurut undang-undang tidak boleh disita. d. Sehubungan dengan itu, bila hendak dilakukan penyitaan harus terlebih dahulu diteliti menurut sifat dan tujuan barang-barang negara tersebut dapat disita atau tidak. Hal diatas merujuk pada Undang-Undang Pembendaharaan Negara No.9 Tahun 1968 yang semula berasal dari ICW inische comptabiliteits wet58 58 Stb. 1925 No. 488 selanjutnya disebut dengan UU Darurat No.21954 dan ditetapkan sebagai UU No. 91968 tentang Pembendaharaan Negara . Larangan itu diatur dalam Pasal 65 ICW dan Pasal 66 ICW pada Bagian 10 dengan judul “larangan menyita uang barang-barang milik negara”. Namun ketentuan-ketentuan diatas telah dihapus oleh Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara Pasal 50. Dalam pasal tersebut menegaskan bahwa: a. Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang dan barang milik negara atau daerah dan atau dikuasai oleh negara atau daerah. b. Uang atau barang milik negara tersebut terdiri atas: 1 Uang atau surat berharga milik negara atau daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga. 2 Uang yang harus disetor pihak ketiga kepada negara atau daerah. Universitas Sumatera Utara 3 Barang bergerak milik negara atau daerah baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga. 4 Barang tidak bergerak atau hak kebendaan lainnya milik negara atau daerah, dan 5 Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara atau daerah guna penyelenggaraan tugas pemerintahan. Larangan Pasal 50 ini bersifat absolut atau mutlak sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyita barang milik negara atas izin MA. Namun dalam hal ini terhadap BUMN yang sudah go publik menjadi perseroan tbk, uang atau barang uang melekat pada dirinya tidak lagi melekat unsur milik negara, tetapi sudah menjadi milik publik atau umum yang tunduk pada hukim perdata bukan hukum publik. Dengan demikian barang tersebut dapat dilakukan penyitaan didasarkan hukum acara perdata. 4. Larangan menyita barang sitaan PUPN. Larangan ini diatur dalam Pasal 214 Rbg yang menghendaki barang yang hendak disita harus bebas dari segala macam pembebanan dan ikatan perjanjian. Jadi barang yang telah dieksekusi oleh PUPN dilarang disita pada waktu bersamaan oleh pengadilan, dan begitu pula terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan dilarang disita pula oleh PUPN. Larangan ini bersifat timbal-balik. Apabila terjadi antara sita eksekusi PUPN dengan sita jaminan oleh Pengadilan, maka berdasarkan Pasal 213 Rbg dilihat instansi mana yang terlebih dahulu mendaftarkan ssita tersebut ke suatu kantor yang berwewenang. Jika instansi pengadilan yang lebih dahulu mendaftarkannya,maka yang sah dan yang mempunyai kekuatan hukum adalah sita dari pengadilan. Dan sebaliknya, bila instansi PUPN yang lebih dahulu mendaftar, maka sita eksekusi PUPN yang sah dan mengikat. Universitas Sumatera Utara Apabila pada waktu yang bersamaan penggugat mengajukan sita dan barang tersebut sudah terlebih dahulu disita oleh instansi PUPN, maka pengadilan dilarang mengabulkan sita, dan yang dapat dilakukan pengadilan hanya vergelijkende beslag sita penyesuaian.

L. Dilarang memindahkan atau membebani barang sitaan