Sita berdasarkan permohonan. PRINSIP - PRINSIP POKOK SITA

BAB III PRINSIP - PRINSIP POKOK SITA

Pada bab sebelumnya telah penulis utarakan mengenai penyitaan pada umumnya, dimana penyitaan adalah proses guna menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa kedalam tindakan penjagaan oleh suatu badan resmi. Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang prinsip-prinsip pokok sita yang berlaku secara umum terhadap jenis-jenis penyitaan yang ada. Beberapa prinsip yang akan diuraikan adalah beberapa kententuan yang bersifat umum yang wajib berlaku bagi segala macam bentuk-bentuk sita. Namun hal ini tidaklah mengurangi kekhususan dari masing-masing sita. Berikut ini akan penulis uraikan prinsip-prinsip pokok sita antara lain, sebagai berikut:

A. Sita berdasarkan permohonan.

Permohonan sita biasanya diajukan bersama didalam surat gugatan. Permohonan sita adalah hal yang tidak terpisahkan dari pokok perkara apabila diajukan bersama-sama dalam surat gugatan. Bentuk permohonan sita ini dapat diajukan secara “oral” lisan di depan persidangan yang kemudian dicatat dalam berita acara sidang. Namun hal diatas jarang sekali dilakukan, didalam praktek biasanya pihak pemohon mengajukannya dalam bentuk tertulis sesuai Pasal 261 RBg. Permohonan sita bisa juga Universitas Sumatera Utara diajukan didalam surat tersendiri. Berarti permohonan sita, diajukan sendiri disamping gugatan pokok perkara.28 Jadi, titik tolak pengabulan dan perintah sita adalah atas permohonan tergugat, dalam hal ini senada dalam aturan pada Pasal 206 RBg dan Pasal 261 RBg, yang dikuatkan dengan Pasal 720 Rv dan SEMA No.5 Tahun 1975. Tidak mungin hakim akan melaksanakan perintah sita tanpa ada permohonan sita dari pihak pemohon penggugat. Selain itu perintah sita dan eksekusinya tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim. 29 Hal ini dikarenakan bahwa didalam suatu prinsip, bahwa hal memegang teguh tata hukum perdata adalah terserah kepada inisiatifnya orang-orang yang berkepentingan.30 Pernyataan ini juga didukung dengan asas-asas hukum acara perdata dimana hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif.31 Menurut M.Yahya Harahap 32 28 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. Cit., h . 288 29 Ibid. 30 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradya Paramitha, Jakarta, 1972, h. 12 31 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., h. 12 32 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 288 , dalam bukunya Hukum Acara Perdata, beliau menyimpulkan bahwa cara permohonan sita bisa dipilih antara bentuk permohonan sita yang bersatu dalam surat gugatan atau bentuk permohonan sita yang diajukan dalam surat tersendiri. Sehingga tidak lazim lagi apabila setelah permohonan sita telah diajukan bersama didalam surat gugatan, kemudian hakim menyuruh lagi penggugat atau pemohon untuk membuat lagi permohonan tersendiri. Menurut beliau hal yang demikian ini tidak jelas apa yang menjadi dasarnya dan bagaimana rasio penerapannya yang demikian. Hal yang demikian ini tidak jelas apa yang menjadi dasarnya dan bagaimana rasio penerapannya yang demikian. Hal ini membuat permohonan sita semakin bersifat formalistis. Universitas Sumatera Utara Hal yang demikian ini sangat bertentangan dengan azas didalam hukum perdata yang dijabarkan pada Undang- Undang No. 5 Tahun 2004, dimana hukum acara perdata harus bersifat “sederhana, cepat ,dan biaya ringan”. Semakin sedikit dan sederhana formalitas yang diperlukan dalam beracara dimuka pengadilan, semakin baik dan semakin dekat dengan proses beracara tersebut dengan azas ini.

B. Permohonan berdasarkan alasan