Pemeriksan sita sepanjang pemeriksaan sidang

milik tergugat. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerugian bagi pihak ketiga,dan secara otomatis upaya ini adalah upaya membendung adanya derdenverzet dari pihak yang merasa dirugikan. Di lain hal dalam rangka upaya penggugat merinci barang yang akan menjadi objek sita, hakim punya wewenang khusus membatasi penyitaan terhadap harta kekayaan tergugat. Hakim dapat memperkirakan bahwa apabila jumlah barang yang akan disita telah mencukupi besarnya utang tergugat, maka apabila terjadi penyitaan yang berlebihan, dianggap sebagai pelaksanaan sita yang tidak masuk akal dan melampaui batas, untuk itu permohonan harus ditolak. Didalam penyitaan yang didasarkan sengketa hak milikpun juga demikian. Permohonan sita dan pengabulan sita oleh hakim tidak boleh merembet pada barang-barang diluar objek persengketaan. Pelanggaran dalam bentuk pelampauan atas prinsip ini dianggap sebagai tindakan yang berlebihan yang dapat merugikan dan mengganggu hak-hak tergugat.

D. Pemeriksan sita sepanjang pemeriksaan sidang

Berpedoman pada tenggang waktu pengajuan permohonan sita dari Pasal 261 ayat 1 Rbg, bahwa batas waktu permohonan adalah sebelum putusan dijatuhkan atau selama putusan belum berkekuatan hukum tetap belum dieksekusi. Jika ketentuan diatas kita analogikan dengan kebolehan pengajuan permohonan permintaan sita, maka: 1. Permintan sita dapat diajukan selama belum ada putusan pada pengadilan negeri. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 261 Rbg, mengatakan bahwa sita dapat diajukan sebelum ada putusan yang dijatuhkan terhadap perkara tersebut. Permintaan sita bisa diajukan didalam surat gugatan yang dicantumkan sebagai salah satu permintaan dalam gugatan yang bersangkutan. 2. Dapat juga diajukan selama putusan belum dieksekusi. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 261 Rbg, bahwa batas waktu permohonan adalah : a. Baik putusan belum berkekuatan hukum yang tetap, b. Sebelum putusan dapat dieksekusi. Dengan berdasarkan ketentuan ini, berarti kewenangan permintaan sita tidak hanya ada pada pundak Pengadilan Negeri saja, tetapi juga bisa diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari: a.Selama perkara masih dalam pemeriksaan Pengadilan Negeri pengadilan tingkat pertama. b Bisa juga, selama perkara masih dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Tinggi tingkat banding. c.Terakhir, selama perkara masih dalam taraf proses pemerikaan Makamah Agung dalam tingkat kasasi. Kebolehan permohonan sita pada setiap tingkat pemeriksaan didasarkan kepada Pasal 261 Rbg yang berbunyi: “selama putusan belum berkekuatan hukum tetap atau selama putusan belum dapat dieksekusi”. Namun dari kebolehan pengajuan permohonan diatas, timbul permasalahan kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita. Dapatkah permohonan permintaan sita diajukan ke Pengadilan Universitas Sumatera Utara Tinggi, atau hanya merupakan hak milik Pengadilan Negeri saja sebagai instansi yang mempunyai wewenang penuh untuk itu. Hal ini masih menjadi perselisihan pendapat oleh kalangan praktisi hukum. Ini dikarenakan para praktisi hukum tersebut berbeda penafsiran mengenai Pasal 261 Rbg. 3. Instansi yang berwewenang memerintahkan sita. Mengenai kasus permintaan sita yang diajukan setelah proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat banding atau kasasi, adalah perbedaan pendapat, yaitu: a. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri PN. Menurut pendapat ini hanya Pengadilan Negeri PN sebagai instansi yang berwewenang memerintahkan dan melaksanakan sita. Kewenangan ini tidak ada diatribusikan pada Pengadilan Tinggi PT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 197 ayat 1 HIR atau Pasal 208 Rbg dan Pasal 209 Rbg, dimana: 1 Ketua Pengadilan Negeri karena jabatanya memerintahkan penyitaan. 2 Pelaksanaan penyitaan dijalankan oleh panitera atau juru sita Pengadilan Negeri. Undang-undang sendiri tidak ada memberikan kewenangan tersebut kepada Pengadilan Tinggi PT atau Mahkamah Agung MA, hanya Pengadilan Negeri yang berwewenang penuh untuk itu. Sehubungan pendapat ini, permintaan sita yang dapat dibenarkan yaitu: 1. Bila penggugat perlu dilakukan penyitaan, sedang perkaranya sudah berada ditingkat banding di PT, maka: a Permohonan tetap diajukan ke PN , bukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi PT atau ketua MA, b Pengadilan Negeri PN yang berwewenang mengabulkan atau tidak permohonan tersebut, Universitas Sumatera Utara c Jika permohonan sita dikabulkan PN, harus segera diberitahukan kepada PT atau MA agar dicantumkan dalam amar putusan PT atau MA sebagai penyitaan yang sah dan berharga, d Diusahakan agar PN memutus permohonan sita bersamaan dengan putusan PT, supaya PT dapat memasukan putusan sita jaminan dalam amarnya.41 41 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Constervatoir Beslag, Op. Cit., h. 30 2 Jika Pengadilan Negeri PN menolak permohonan sita jaminan , maka Pengadilan Tinggi PT dan Mahkamah Agung MA tidak berwewenang memerintahkan sita. Dalam kasus ini telah tertutup pintu bagi penggugat untuk mengajukan permohonan sita karena penolakan sita yang dilakukan PN adalah bersifat final. Hal ini senada dengan Pasal 197 ayat 1 HIR atau Pasal 208 Rbg dan Pasal 209 Rbg. Sehingga berdasarkan pasal tersebut Pengadilan Tinggi PT dan Mahkamah Agung MA tidak berwewenang mengeluarkan penetapan yang berisi perintah pelaksanaan sita kepada Pengadilan Negeri PN. 3. Semula Pengadilan Negeri PN mengabulkan sita, namun diakhir persidangan diangkat oleh Pengadilan Negeri PN tersebut. Dalam hal ini hanya penyitaan yang diangkat oleh PN, tentang masalah permohonan sita sebelumnya telah dikabulkan, maka dalam kasus seperti ini terbuka kewenangan PT atau MA menilai pengangkatan sita. Hal ini didasarkan bahwa pengangkatan sita yang semula dikabulkan PN dianggap keliru. Universitas Sumatera Utara b. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi PT berwewenang memerintahkan sita. Menurut Subekti42 42 R. Subekti, Op. Cit., h. 49 , permohonan sita dapat diajukan ke PT selama perkara pokoknya belum diputus dapat diajukan ke PT. Alasan beliau, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 261 Rbg atau Pasal 227 ayat 1 HIR yang ditegaskan dalam kalimat “sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Beliau menyimpulkan kalimat tersebut, bahwa permohonan sita jaminan dapat diajukan kepada PT selama perkaranya belum diputus oleh hakim. Kewenangan permohonan sita tunduk kepada “azas proposional” sesuai dengan tahap tingkat pemeriksaan. Apabila perkaranya diperiksa di tingkat Pengadilan Negeri PN maka kewenangan pengabulan sita berada ditangan PN, Pengadilan Tinggi PT tidak dapat mencampurinya. Begitu pula apabila sudah sampai ketingkat banding, maka yang proposional memerintahkan pelaksanaan sita adalah PT. Pada hakekatnya sita adalah merupakan bagian dari pokok gugatan dan bukan berupa gugatan yang dapat berdiri sendiri. Untuk hal itulah menurut Pasal 262 Rbg pemeriksaaan sita tunduk pada pemeriksaaan banding. Jadi permohonan atau pengabulan sita tidak dapat secara parsial dipisahkan dari perkara atau putusan pokok perkara, terutama semua aturan banding yang berlaku terhadap putusan pokok perkara, juga berlaku pada permohonan sita. Agar permohonan sita tidak bertentangan dengan Pasal 197 ayat 1 HIR dan juga Pasal 208 Rbg Pasal 209 Rbg, maka ada mekanisme-mekanisme tertentu yang harus dijalankan, yaitu: 1. Pengadilan Negeri PN menolak permohonan sita. Universitas Sumatera Utara Sekiranya Pengadilan Negeri PN menolak permohonan sita yang diajukan penggugat, dan Pengadilan Tinggi PT berpendapat permohonan sita sangat beralasan, maka PT dapat membatalkannya dan “memerintahkan” kepada PN yang melaksanakan putusan tersebut. Adapun tata caranya, Pengadilan Tinggi PT menjatuhkan putusan sela terhadap penolakan yang dilakukan PN dimana isi putusan sela adalah menerima permintaan sita dan membatalkan penolakan sita oleh PN. Kemudian ketua Pengadilan Negeri PN berdasarkan putusan sela dari Pengadilan Tinggi PT tersebut menerbitkan surat penetapan untuk melaksanakan pelaksanaan sita. Setelah PN menjalankan penyitaan, sesegera mungkin PN mengirimkan surat penetapan dan berita acara sita kepada PT, agar penyitaan dapat dimasukan dalam amar putusan PT. Selama PT belum menerima penetapan dan berita acara sita dari PN, maka PT harus menunda penjatuhan putusan akhir sampai PT menerima berita acara pelaksanaan sita tersebut. Hal ini agar status hukumnya menjadi jelas. Dan setelah berita acara tersebut diterima, maka PT harus mencantumkan sita itu dalam amar putusan tingkat banding yang berisi pernyataan sah dan berharga penyitaan tersebut. 2. Penggugat tidak meminta sita pada tingkat pertama PN. Apabila penggugat tidak mengajukan permohonan sita pada persidangan tingkat pertama di Pengadilan Negeri PN, penggugat berhak meminta sita kepada Pengadilan Tinggi PT dalam tingkat banding, dan PT berwewenang mengabulkan permintaan tersebut. Hal ini senada dengan Pasal 261 Rbg atau Pasal 227 ayat 1 HIR. Pengabulan permintaan ini dituangkan lebih lanjut di dalam putusan sela yang berisi menerima permintaan sita yang diajukan penggugat, memerintahkan ketua Pengadilan Negeri PN untuk melaksanakan sita. Hal ini ditanggapi oleh ketua PN dengan mengeluarkan Universitas Sumatera Utara penetapan pelaksanaan sita. Selain itu ketua PN segera menyampaikan berita acara pelaksanaan sita tersebut. Kemudian dicantumkan didalam amar putusan PT. Dalam hal ini, Pengadilan Tinggi PT harus konsekuen untuk menunda putusan tingkat banding sebelum PT menerima berita acara sita. Pengadilan Tinggi PT tidak dibenarkan menjatuhkan putusanh tersebut karena akan menimbulkan akibat hukum yang tidak jelas terhadap eksistensi pelaksanaan sita. Namun Mahkamah Agung MA berpendapat bahwa hanya Pengadilan Negeri PN yang berwewenang untuk memerintahkan dan melaksanakan permohonan sita. Oleh karena itu, apabila Pengadilan Negeri sudah menolak permohonan sita, maka mau tidak mau Pengadilan Tinggi tidak dapat mengubah permohonan sita yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri. Pendapat MA tersebut dapat ditelaah dari Buku Himpunan Tanya Jawab Tentang Hukum Perdata 1986,43 a Pada azasnya Pengadilan Tinggi tidak berwewenang memeriksa dan memutus permohonan sita jaminan consevatoir beslag. , pada halaman empat ditegaskan bahwa: b Hanya Pengadilan Negeri yang berwewenang memeriksa dan memutus permohonan sita jaminan consevatoir beslag yang diajukan pada waktu proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri. c Apabila consevatoir beslag dibutuhkan di tingkat banding, permohonannya tetap diajukan di Pengadilan Negeri bukan di Pengadilan Tinggi.

E. Mendahulukan penyitaan barang bergerak