1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan paradigma otonomi daerah, secara umum melahirkan penguatan-penguatan politik di belahan daerah indonesia, tak terkecuali sampai
kebelahan pulau Sumatera. Hal ini juga terlihat dari paradigma bangkitnya kekuatan- kekuatan identitas dan entitas budaya serta politik di Kabupaten Dairi.
Penguatan-penguatan Kekuatan politik budaya terlihat makin tumbuh subur di Sumatera Utara, di lain hal suku Pakpak mengalami ketertinggalan dibandingkan
dengan suku-suku asli di propinsi Sumatera Utara. Bahkan sempat di klaim secara kasat mata akan kepunahan suku Pakpak tersebut. Hal ini di karenakan berbagai
faktor yang memaksanya. Namun yang menarik dari paradigma suku Pakpak adalah penguatan-
penguatan kebudayaan di mulai dari fenomena adat. Fenomena adat tersebut mensyaratkan adanya kebangkitan ataupun kesadaran akan sebuah suku yang jauh
tertinggal dibandingkan dengan suku-suku lain yang mendiami propinsi Sumatera Utara.
Pegunungan bukit barisan melintang di sepanjang pulau Sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke pantai barat. Tanah Pakpak Dairi terletak di lintangan
ini. Kedudukannya diutara berbatasan dengan Karo, ditimur laut dengan Karo dan Simalungun, ditimur dengan Simalungun dan Samosir , ditenggara dengan Samosir
1
Universitas Sumatera Utara
2
dan Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah Manduamas yang sejajar dengan Barus, dan Aceh termasuk Singkil. Adapun perbatasan mulai dari barat daya
hingga barat laut adalah Aceh.
1
Kabupaten dairi terdiri dari 15 lima belas kecamatan yaitu Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Gunung Sitember, Kecamatan Lae Parira, Kecamatan
Berampu, Kecamatan Parbuluan, Kecamatan Pegagan Hilir, Kecamatan Siempat Nempu Hilir, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, Kecamatan Silahisabungan,
Kecamatan Silima
Pungga-Pungga, Kecamatan
Sitinjo, Kecamatan
Sumbul, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Tigalingga, Kecamatan Siempat Nempu.
dengan ibukota Kabupaten adalah Sidikalang. Kecamatan Sidikalang terletak diantara 2E-3E lintang utara dan 98E-98E30’
bujur timur dan terletak diketinggian 700-1100 meter diatas permukaan laut dan ketinggian kota Sidikalang sebagai ibu kota Kecamatan Sidikalang dan sekaligus ibu
kota Kabupaten Dairi adalah 1.066 m diatas permukaan laut. Kecamatan Sidikalang memiliki luas wilayah : 70.67km2 atau total 4,20
dari total luas Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, yang memanjang dari arah utara ke tenggara
dimana sebagian
besar arealnya
terdiri dari
pegungungan yang
bergelombang dan hanya sebagian kecil yang datarrata.
2
1
http:www.blogspot.com2012Sejarah Muasal Suku Pakpak.html, di Akses Tanggal 26 Mei 2013
2
Kecamatan Sidikalang Dalam Angka Sidikalang In Figure, Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Statistik, 2008
Universitas Sumatera Utara
3
Kecamatan Sidikalang sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Siempat Nempu di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kerajaan di sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Berampu dan disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan SitinjoSumbul.
Kecamatan Sidikalang terdiri dari 11 kelurahandesa yaitu : Kelurahan Batang Beruh, Kelurahan Kalang, Kelurahan Sidiangkat, Kelurahan Huta Rakyat, Kelurahan
Bintang, Kelurahan Belang Malum, Kelurahan Kuta Gambir, Kelurahan Bintang Marsada, Kelurahan Kalang Simbara, Kelurahan Bintang Hulu, Kelurahan Kota
Sidikalang. Kecamatan Sidikalang memiliki jumlah penduduk 44.202 jiwa yang terdiri
dari laki-laki sebanyak 22.120 jiwa dan perempuan 22.082 jiwa. Kepadatan penduduk adalah sebanyak 625 jiwa per km persegi yang tidak
merata pada setiap desakelurahan.
3
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sidikalang masih didominasi sektor pertanian yaitu sebesar 41,16
Dari total luas Kecamatan Sidikalang terdapat luas tanah sawah 563 hektar. Luas tanah kering 3.894 hektar dan luas untuk bangunan dan halaman sekitarnya
1.725 hektar dan lainnya sekitar 930 hektar. Tanaman keras yang paling banyak adalah kopi kopi arabika dan produksi buah-buahan terbesar adalah pisang.
Karakteristik sosial adat istiadat di Kecamatan Sidikalang dipengaruhi oleh penduduk yang ada, seperti suku Pakpak, Karo, Toba, Simalungun, dan suku yang
3
Ibid, hal 5
Universitas Sumatera Utara
4
lainnya serta sifatnya masih dipengaruhi oleh suku-suku tersebut, sehingga kegiatannya masih dipengaruhi oleh norma adat yang berlaku.
Suku asli yang mendiami Kabupaten Dairi dan khususnya Sidikalang adalah suku Pakpak. Dalam mayarakat Dairi di kenal Lembaga Adat Sulang Silima Marga,
dimana Sulang Silima Marga memiliki peran dan kewenangan yang penting dalam masyarakat Sidikalang. Peran sentral yang dimiliki Sulang Silima adalah persoalan
perkawinan, tanah, dan persoalan-persoalan peradatan. Sampai hari ini secara turun temurun dapat kita temukan di tengah-tengah
masyarakat yang berdomisili di Sidikalang, apabila hendak melakukan kepentingan yang berkaitan dengan pertanahan haruslah bersinergi dengan lembaga adat tersebut.
Bersinergi dengan
Lembaga Adat
Sulang Silima
tersebut adalah
dengan berkoordinasi apabila hendak melakukan urusan yang berkaitan dengan pertanahan,
baik melalui penyerahan kemudian untuk di teruskan menjadi kepemilikan tanah dalam jual beli, hibah, pinjam pakai dan semacamnya.
Dan di tambah dengan kewenangan yang dimiliki Lembaga Adat Sulang Silima Marga yang paling penting adalah mengenai penerbitan alas tanah. Satu-
satunya lembaga yang berwenang di Sidikalang yang menerbitkan alas tanah untuk kepentingan fasilitas NegaraPemerintah maupun individu adalah Sulang Silima
Marga tersebut. Kemudian setelah penerbitan alas tanah tersebut bisa di teruskan ke pengurusan dan penerbitan sertipikat oleh lembaga yang terkait dalam hal ini adalah
Badan Pertanahan Nasional Sidikalang.
Universitas Sumatera Utara
5
Dikarenakan kebiasaan secara turun temurun dan keberadaan Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak di tengah-tengah masyarakat, melalui Surat Edaran
Bupati Dairi Nomor 5908859 Pada Tanggal 18 delapan belas Oktober 2001, perihal keberadaan tanah ulayattanah marga, dijelaskan diawal pembuka surat edaran
tersebut bahwa mencermati perkembangan akhir-akhir ini dan mensiasati kehidupan masyarakat pada era reformasi saat ini, mengacu kepada UUPA yaitu Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Pasal 3 Tiga dan 5 lima jis. Peraturan Menteri Negara Agraria Ka BPN No 2 Tahun 2000, bahwa untuk meminimalkan dan mengantisipasi
persoalan pertanahan dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah para pihak-pihak pemerintahan baik Para Camat, Para Kepala Desa dan Lurah serta
NotarisPPAT Se Kabupaten Dairi diminta arif dan bijaksana serta senantiasa membina kemitraan dan berdampingan secara serasi dengan Lembaga Adat.
Hal ini dilatar belakangi adanya persoalan tanah secara umum yang riwayat tanah tersebut berasal dari tanah marga tapi kemudian ditengah-tengah masyarakat
diperjual belikan tanpa melibatkan Lembaga Adat Sulang Silima Marga, dan belakang hari pengurus Lembaga Adat Sulang Silima Marga melakukan protes atas
status tanah tersebut, hal ini merupakan semakin tumbuh suburnya kesadaran masyarakat Pakpak akan kedudukannya sebagai pemangku ulayat disatu sisi,
kemudian disatu sisi yang lain kebutuhan akan tanah semakin meningkat. di tambah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Maka surat edaran tersebut di
terbitkan guna mensepadankan pihak-pihak yang terkait untuk mencapai keselarasan
Universitas Sumatera Utara
6
pertanahan di Kabupaten Dairi dan meminimalisir tumpang tindih ataupun carut marut persoalan pertanahan di Kabupaten Dairi.
Dan hal ini juga bisa di pahami bahwa secara umum riwayat tanah di Kabupaten Dairi awalnya adalah tanah ulayat dan seiring perkembangan zaman
tanah-tanah ulayat tersebut banyak di keluarkan statusnya dari tanah ulayat untuk kemudian di manfaatkan sesuai kepentingan masyarakat baik secara individu maupun
lembaga. Dikarenakan status riwayat tanah adalah tanah ulayat , maka melalui surat
edaran tersebut juga bermaksud untuk menegaskan kepada pihak-pihak yang terkait supaya meminimalisir persoalan tanah hendaknya melibatkan Sulang Silima Marga
Suku Pakpak agar menjalin kemitraan. Dengan jalinan kemitraan tersebut pada akhirnya selaras dengan semangat pengakuan UUPA yang mengakui keberadaan hak
ulayat dan juga meminimalisir tumpang tindih kepemilikan status tanah dan persoalan-persoalan lainnya.
Seiring dengan diterbitkannya Surat Edaran Bupati tersebut maka dampaknya meneguhkan bahwa Sulang Silima Marga Suku Pakpak semakin memiliki
kewenangan yang cukup berpengaruh terkait pertanahan di Kabupaten Dairi khusunya Kota Sidikalang, dan juga tindak lanjut dalam surat edaran tersebut hendak
lebih mengarahkan pada akhirnya akan diatur dalam Peraturan Daerah yang disampaikan melalui klausula ketiga dalam surat edaran Bupati tersebut.
Penguatan hukum adat dalam perkembangannya mengalami proses yang panjang, penguasa pada saat Indonesia memerdekakan sebagai sebuah bangsa melalui
Universitas Sumatera Utara
7
proklasmasi 17 agustus 1945 telah menyadari bahwa hukum adat sebagai salah satu hukum asli bangsa Indonesia merupakan hukum yang harus diakui dan sekaligus
sebagai benteng pertahanan jati diri bangsa. Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria UUPA, hukum tanah
di Indonesia dipengaruhi oleh keadaan pada zaman penjajahan adalah bersifat dualisme, dimana status hukum tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa
burgerlijk wetboek dan ada yang dikuasai oleh hukum adat hukum tanah adat.
4
Tanah-tanah yang dikuasai oleh hukum Eropa disebut juga dengan tanah hak barat, “misalnya Tanah Eigendom, Tanah Erpacht, Tanah Opstal, dan lain-lain yang
hampir semuanya
terdaftar pada
kantor pendaftaran
tanah, menurut
overscrijvingsordonnantie atau ordonasi balik nama S. 1834-27”. Tanah-tanah hak barat itu tunduk pada ketentuan hukum agraria barat, misalnya mengenai cara
memperolehnya, peralihannya, lenyapnya, hapusnya, pembebanannya dengan hak- hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak.
Tanah-tanah dengan hak Indonesia yaitu tanah yang tunduk pada hukum agraria adat, “antara lain adalah tanah ulayat, tanah milik yayasan, tanah usaha,
tanah gogolan.
5
Tanah-tanah dengan hak Indonesia atau yang tunduk pada hukum adat hampir semua belum terdaftar kecuali tanah yang berstatus buatan atau ciptaan Pemerintah
Kolonial yaitu, “Tanah Agrarische Eigendom, tanah milik di dalam kota Yogjakarta,
4
Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hal 11.
5
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Jogjakarta, 2001, hal 49.
Universitas Sumatera Utara
8
tanah-tanah milik di dalam kota, di daerah Surakarta dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur.”
6
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah di kuasai sejak dulu, dan telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan
bangsanegara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di
negara yang
rakyatnya berhasrat
melaksanakan demokrasi
yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
merupakan suatu condition sine qua non. Untuk mencapai tujuan itu di perlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah khususnya mengenai
lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu di lakukan oleh kepala berbagai persekutuan hukum, seperti kepala
atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang menyelesaikannya.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama
manusia adalah sangat berhubungan erat dengan pemanfaatan tanah sebaik-baiknya sekaligus menghindarkan perselisihan. Hal ini lah yang di atur dalam hukum tanah
adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada di atas tanah.
6
Eddy Ruchiyat, op cit, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
9
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal besifat “dualisme”, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum
eropa disatu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, dipihak lain.
7
Dualisme dalam hukum pertanahan juga mengakibatkan dualisme dalam penyelenggaraan dan prosedur peralihan hak atas tanah. Untuk itulah di perlukan
unifikasi hukum pertanhan yang bersifat nasional. Oleh sebab itu, pada tanggal 24 September 1960 lahir Undang-Undan Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria UUPA, maka hukum agraria lama yang lebih condong untuk kepentingan
penjajah di hapuskan dan digantikan dengan hukum agraria baru yang besifat nasional.
Di dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan sengan
kepentingan nasional dan Negara”.
8
Dengan demikian, “landasan hukum yang di jadikan sendi-sendi dari hukum agraria nasional adalah hukum adat menurut versi UUPA”.
9
Dari kenyatan tersebut maka jelaslah bahwa keberadaan tanah hak milik adat yang di akui berdasarkan
UUPA masih dapat di temukan pada masa sekarang.
7
Ahmad Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat-Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hal 12.
8
Kartini Soedjendro, OpCit, hal 66.
9
Ibid,hal 16.
Universitas Sumatera Utara
10
Salah satu tujuan pokok UUPA adalah meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat, dengan telah
dilaksanakan pendaftaran tanah pada setiap tanah di seluruh Indonesia, berarti telah telah memberikan dasar-dasar untuk mewujutkan kepastian hukum terhadap hak-hak
atas tanah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi rakyat petani sebagai masyarakat dapat dilindungi haknya.
Tujuan pendaftaran tanah meliputi pendaftaran untuk pertama kali, maupun untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama
kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini, diatur dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah diatur dalam Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1997.
Pendaftaran tanah ini dapat dikelompokkan : 1. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk tanah milik adat yang belum
pernah didaftarkan. 2. Pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Pendaftaran tanah yang merupakan kepunyaan bersama menurut hukum adat tidak dapat didaftarkan begitu saja tanpa ada musyawarah dari kaum dan pemilik
tanah, oleh sebab itu petugas Kantor Pertanahan harus menanyakan terlebih dahulu pada pemilik tanah adat tersebut, apakah sudah merupakan kesepakatan bersama dari
anggota kaum untuk mendaftarkan tanah adat tersebut. Untuk mendaftarkan tanah
Universitas Sumatera Utara
11
adat haruslah ada kesepakatan atau persetujuan dari anggota kaum yang gunanya untuk menjaga jangan timbulnya sengketa nantinya.
Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu rangkaian kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur
dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Disamping itu dengan
dilakukannya pendaftaran tanh secara tertib dan teratur akan merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui, mempelajari dan memahami bagaimana Kewenangan Lembaga Adat
Sulang Silima Di Bidang Pertanahan Pada Masyarakat Pakpak Di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi dan mengkaji ataupun mengupasnya dalam bentuk tesis
dikarenakan kedudukan maupun peranan Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak ditengah-tengah masyarakat Dairi sangat kuat secara yuridis bahkan boleh dikatakan
bahwa alas tanah yang diterbitkan oleh Sulang Silima Marga-Marga Suku Pakpak merupakan “kunci” utama dalam melakukan proses untuk diteruskan dalam
melakukan pendaftaran sertipikat tanah ataupun dalam hal transaksi tanah baik jual beli dan lain sebagainya. Sehingga penulis tertarik untuk mengupas tesis ini dengan
judul: “KEWENANGAN
LEMBAGA ADAT
SULANG SILIMA
DI BIDANG
PERTANAHAN PADA
MASYARAKAT PAKPAK
DI KECAMATAN
SIDIKALANG KABUPATEN DAIRI”
Universitas Sumatera Utara
12
B. Perumusan Masalah