Peran Masyarakat Islam dalam Transformasi Hukum Islam

126 Baru-baru ini, hukum Islam hanya bicara soal hukum yang berkaitan keluarga, kini telah merambah pada tataran hukum bisnis atau ekonomi. Hal ini terjadi disebabkan oleh banyaknya peran ulama dalam pengembangan ekonmi yang dikenal dengan ekonomi syariah. Sebelumnya peran ulama masih berkisar pada sebagai pemuka agama yang berorientasi pada masalah-masalah ibadah semata. Seiring dengan berjalannya waktu peran ulama bergeser pada tataran penting dalam dunia politik, social, budaya bahkan ekonomi. Jelas bahwa peranan dan kontribusi ormas-ormas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembnetukan dan transformasi hukum Islam menjadi hukum positif.

5. Peran Masyarakat Islam dalam Transformasi Hukum Islam

Hampir di seluruh kampus, sekolah-sekolah umum di kota-kota besar di Indonesia, terdapat maraknya kajian dan dakwah mengenai Islam dalam satu decade terakhir ini, Di masjid, mushalla, surau, rumah bahkan kadang-kadang lapangan digunakan untuk dakwah menyebarkan syiar Islam. Hal tersebut patut menggembirakan dengan adanya semangat umat Islam dan kesadarannya tumbuh sedemikian besar. Tidaklah mengherankan ketika mendengar alunan suara merdu yang membaca al-Qur’ân. Ini bisa disebut sebagai kebangkitan umat islam dari tidurnya. Kesadaran Islam tidak hanya terbatas di kalangan orang-orang yang sudah lanjut usia, sebagaimana yang biasa kelihatan pada dekade-dekade yang lalu. Pada zaman sekarang, kaum profesional berdasi tidak sungkan mendiskusikan masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di kantornya masing-masing. 70 Jika kita ingat-ingat bahwa dulu, mungkin ada kesan bahwa rajin ke masjid itu kalau kepala sudah beruban. Barangkali juga, dahulu, sangat sulit 70 Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syariat Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 108. 127 menemukan orang berpendidikan umum rajin datang ke masjid atau menghadiri pengajian.. Akan tetapi, itu bukan pemandangan aneh pada zaman ini. Masjid- masjid kampus penuh sesak dengan mahasiswa teknik, kedokteran, MIPA, ekonomi, dan sebagainya. Mereka sangat bergairah mendiskusikan masalah- masalah dakwah dan pengamalan ajaran Islam. Dulu, sealim-alim mahasiswa di kampus umum, paling ia hanya aktif di organisasi kemahasiswaan Islam, yang jika disorot dari segi pengamalan Islam dan konsistensi pada ajarannya, tidak terlalu menonjol, apalagi jika ditinjau dari segi akhlak Islamiyah. Mereka biasa mengadakan training dan diskusi Islam, tetapi duduk bersebelahan, bahkan bersenderan antara laki-laki dan perempuan. Ketika mau pulang, mahasiswinya diantar dan dibonceng oleh teman laki-lakinya. Alasannya untuk lebih menjamin keamanan si wanita. Mereka juga menganggap berpacaran itu suatu hal yang biasa dan terlalu alim fanatis jika ada di antara mereka yang tidak berpacaran. 71 Akan tetapi, dalam lima belas tahun terakhir ini, ada fenomena lain yang berubah jauh dibanding fakta-fakta tersebut, terutama berkaitan dengan tingkat pemahaman keagamaan. Trend baru itu, yang kebanyakan justru tumbuh subur di kampus-kampus umum, adalah kekentalan dalam mengamalkan Islam. Jika kita menemukan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau menantang bola mata lawan bicaranya. Jika diukur dengan pola beragama aktivis dekade sebelumnya, fenomena ini bisa saja mereka sebut sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Akan tetapi, dalam pandangan aktivis baru itu, hal-hal tersebut merupakan sikap yang memang seharusnya ditampilkan oleh setiap Muslim. Alasan mereka begitulah 71 Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakti Peluang dan Tantangan Penerapan Syaria’t Islam Pascakeyatuhan Soeharto, 109. 128 generasi awal Islam dahulu memegang Islam dengan sepenuhnya tidak separo- separo. Bila terjadi pernikahan di antara sesama aktivis di antara mereka, pesta nya bisa dianggap sebagai sesuatu yang asing oleh orang awam. Pasalnya mereka tidak mau mencampurkan antara undangan pria dan wanita. Sang pengantin juga tidak mau disandingkan di depan orang seperti pajangan Jadi, intinya mereka memang ingin menjalankan dengan sungguh-sunggul apa yang mereka baca dan ketahui tentang Islam dari pendahulu-pendahuh umat ini sahabat Nabi, tabiin, dan generasi-generasi sesudah mereka. Selain itu, di kalangan masyarakat Muslim, semangat Islam itu jelas terlihat Sebagai contoh, jumlah jamaah haji terus meningkat dari tahun ke tahun. Begitu pula orang-orang yang pergi umrah. Bahkan, banyak di antan mereka yang melangsungkan Akad Nikah di Masjid. Di ibukota Jakarta, hal seperti ini sudah menjadi fenomena baru, termasuk orang-orang berdasi yang banyak memenuhi masjid. Ini merupakan peluang yang sangat strategis bagi umat Islam bahwa kemauan politik political will dari pemerintah, untuk menjadikan syariat Islam menjadi hukum nasional menjadi nyata dan perubahan dengan mudah dapat dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan revolusi. Iklim seperti ini pernah kita rasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Kekuasaan terpusat di tangan orang yang bergelar presiden. Suara-suara rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan Presiden dianggap sebagai penentang yang akan menggulingkan kekuasaan yang sah subversi. Pada masa Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan nuansa negatif. Isu Piagam Jakarta digambarkan sebagai momok yang 129 menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali Piagam Jakarta dianggap sebagai orang-orang berbahaya atau lebih populer dengan sebutan ekstrim kanan. Akhirnya, betapa rakyat Indonesia yang Muslim ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan buntu. Sungguhpun demikian, agaknya umat Islam masih belum berputus asa atau berhenti memperjuangkan berlakunya syari’at Islam menjadi hukum positif. 72 Dengan runtuhnya rezim Orde Baru, tuntutan menerapkan kembali Piagam Jakarta dan syariat Islam mengemuka, 73 terlebih ketika otonomi khusus diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Untuk itu, yang dibutuhkan sekarang dalam konteks perjuangan penerapan syariat di Aceh adalah sebagai berikut. a. Sosialisasi syariat sebagai sistem hukum yang ideal. Masyarakat harus sadar betul bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan syariat. b. Meningkatkan wawasan masyarakat Aceh tentang syariat. Dalam hal ini, seharusnya syariat dipandang sebagai sistem hukum yang utuh. Syariat hendaknya tidak dikesankan hanya sebatas jilbab, libur hari Jumat, berdirinya bank syariat, pakaian laki-lakinya jubah dan peci haji. c. Mempersiapkan perangkat perundang-undangan syariat dalam berbagai cabang hukum, seperti pidana, perdata, dagang, acara, perburuhan, pembagian hasil alam yang dimiliki daerah, dan lain-lain. Lebih dari itu, sesungguhnya, penerapan syariat tidak terbatas hanya di wilayah Aceh saja. Opsi tersebut sejatinya di seluruh wilayah nusantara yang dikuasai Islam. Pasalnya, jika kembali kepada prinsip akidah Islam, setiap Muslim mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan Hukum Allâh di muka 72 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam bukunya Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, edisi ke- 3 Jakarta: RahaGrafindo Persada, 2007, xii 73 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, xiii 130 bumi dan kondisi masyarakat di wilayah-wilayah Nusantara tidak jauh berbeda dengan Aceh. Masyarakat Sumatera adalah masyarakat Melayu yang dalam pergaulan sehari-hari identik dengan Islam. Orang non-Muslim yang masuk Islam disebut masuk Melayu. Adat istiadat Melayu hampir identik dengan ajaran Islam. Apalagi dengan masyarakat Minangkabau yang dikenal sangat kental dengan ajaran Islam. Di Minang, ada sebuah pepatah yang sangat terkenal: Adat basandi syara, Syara basandi Kitabullah. Pepatah Minang ini menggambarkan, betapa melekatnya syariat Islam dengan adat Minangkabau. Dengan adanya peraturan tentang otonomi daerah yang disahkan oleh DPR pada tahun 1999 lalu, daerah-daerah di Indonesia berpeluang untuk melaksanakan peraturan atau norma yang menjadi tuntutan masyarakat setempat. Bila aturan itu disetujui oleh DPRD setempat, aturan itu sudah mempunyai kekuatan hukum. Sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan Islam, masyarakat di Sumatera sudah tentu menginginkan bahwa hukum yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum syariat yang bersumber dari agama mereka. Mereka merasakan bahwa syariat merupakan hukum yang paling adil dalam memandang manusia. Hal itu tentu beralasan karena syariat adalah hukum yang bersumber dari wahyu Allâh Swt., Sang Pencipta manusia. Sudah tentu, hukum yang berasal dari Allâh adalah hukum yang paling adil. Hal itu berbeda dengan hukum yang dibuat manusia, yang pasti mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan, dan keberpihakan kepada kelompok tertentu. Perjalanan panjang bangsa ini dengan produk hukum penjajah dengan segala ekses yang ditimbulkannya-seperti kezaliman, hilangnya rasa kema-nusiaan, mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin memperkuat kerinduan kita, masyarakat Melayu, agar hukum syariat dapat diterapkan di daerah-daerah Melayu. 131

C. Perjuangan Penegakkan Hukum Islam di Indonesia