113
Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan
tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan
hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian
satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’ân, menurut pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya,
harus dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum Islam telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap
hukum Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan sebagai subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu
sendiri. Kedua, setting sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa munculnya aturan hukum tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh
laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan perempuan merupakan
pembagian yang adil.
56
Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah aturan hukum yang memiliki karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak
patriarkhal.
1. Peranan Lembaga Pendidikan Islam Pesantren
Tanggung jawab lain yang mesti diemban pesantren, bahwa salah satu misi awal didirikannya untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang
universalitas Islam yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi social masyarakat.Hal ini nampak, dimana dengan
institusi pesantren, para wali, ulama dan pemuka agama Islam terdahulu berhasil
56
Masdar F. Masudi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi, 52-53.
114
menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat. Idealisasi bentuk dari masyarakat yang diinginkan tersebut adalah masyarakat muslim yang
inklusif, egaliter, patriotic, luwes serta memiliki gairah terhadap upaya-upaya transformatif. Misi kedua ini lebih menggambarkan peran pesantren sebagai
sebuah institusi pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, institusi pesantren dengan dua misi
besar di atas setelah dalam perjalanannya banyak bersinggungan dan bersentuhan dengan berbagai kenyataan global dalam masyarakat dan dunia, maka disadari
bahwa dalam perkembangannya kemudian melahirkan berbagai persoalan krusial dan dilematis. Di satu sisi dia berperan sebagai penterjemah
57
dan penyebar ajaran-ajara Islam dalam masyarakat, di sisi lain untuk mempertahankan jati
dirinya sebagai lembaga atau institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pegaulannya dengan masyarakat luar, atau
kenyataan luar yang tidak jarang menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dan digariskan oleh pesantren. Akibatnya terjadi
semacam tarik menarik dua kekuatan, memilih salah satu sisi, berarti dia harus meninggalkan keutuhan missinya, terlebih lagi jika harus meninggalkan kedua
sisi tersebut secara bersamaan. Kondisi inilah yang kemudian memposisikan pesantren pada situasi
dilematis, yang kemudian melahirkan sebuah kenyataan yang menggambarkan ketidak mampuannya lagi untuk memberikan kontribusi bagi masyarakatnya
dalam melakukan transformasi sosial, bahkan kemudian menjadikan pesantren “jauh” dari masyarakatnya. Pesantren seolah-olah telah membentuk “komunitas
eksklusif”, yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat sekitarnya. Situasi lain yang juga memiliki andil dalam menciptakan kondisi
pesantren seperti di atas, adalah adanya berbagai kebijakan formal dalam
57
Yang dimaksud dengan penterjemah bahwa pesantren dan para kiyainya memberikan penjelasan dan pemahaman atau penafsir terhadap kandungan al-Qur’ân dan Al-Hadith sebagai
sumber hukum yang harus ditaati.
115
masyarakat, baik yang dibuat secara sadar maupun tidak, telah menjadikan institusi pesantren menjadi sebuah institusi yang kehilangan sikap kemandirian
dan elan vital yang dimilikinya. Kondisi ini kemudian menjadikan pesantren, disamping sulit mengemban peran dan fungsi role and place seperti yang
dikemukakan di atas, juga membuat “hidupnya” diisi dengan mental ketergantungan.
Berangkat dari kondisi ideal yang dicita-citakan serta realitas yang terjadi dan dirasakan oleh institusi pesantren, maka ikhtiar yang mungkin dapat
dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pesantren sebagai institusi yang diharapkan dapat berperan dalam upaya perubahan social agent of social
change, serta institusi kelimuan yang diharapkan dapat berperan dalam transformasi keilmuan baik untuk kalangan komunitas warga pesantren, maupun
untuk masyarakat pada umumnya, adalah dengan mencoba mengkaji ulang secara kritis menggugat kemapanan pesantren yang selama ini selalu dibanggakan
sebagai institusi yang dinilai “paling orsinil” milik masyarakat Indonesia dengan segala macam predikat baik lainnya.
Meskipun pesantren memiliki kecanggihan dan kemampuan menginstal para ulama dan cenkiawan, namun daya tahan ekonominya sangat lemah,
sehingga tidak berdaya menepis godaan politik dan kekuasaan.
58
Godaan politik dan kekuasaan inilah yang memberikan iming-iming agar pesantren ditinggalkan.
Upaya untuk membangun kembali atau mengembalikan fungsi dan peran pesantren pada misi awal yang diembannya, sebagai institusi yang diharapkan
dapat menjadi agent transformasi keilmuan dalam berbagai bidang trutama dalam hulum Islam dan pencerdasan masyarakat menuju terciptanya perubahan sosial ke
arah yang lebih baik, merupakan kondisi dan instrumen penting dalam upaya penguatan masyarakat sipil civil society, masyarakat yang secara sederhana
58
Hasbi Indra, Pesantren dan trasformasi Sosial Studi atas Pemikiran K Abdullah Syafi’e dalam Bidang Pendidikan, Editor Hasan M. Noer dan Masyafa-Ullah, xviii
116
dapat difahami, sebagai bentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta memiliki kepedulian dan kemampuan untuk
memperjuangkan hak-haknya, serta menunaikan kewajibannya.
59
Dalam hal ini bahwa peranan pondok pesantren sangat besar dalam transformasi hukum. Para kiyai dengan ilmunya yang diajarkan kepada santri
kemudian para santri mengamalkan ilmu yang diturunkan oleh ustadnya yang selanjutnya di suri tauladan atau ditiru oleh masyarakat, maka dari masyarkat
itulah masuk ke dalam Negara atau yang kemudian menjadi hukum positip. Begitu pula halnya dngan pendidikan perguruan tinggi Islam
2. Peranan Perguruan Tinggi