175
Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada Perbankan Syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah ini, maka pengaturan
terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan
jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.
3. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
Setidak-tidaknya ada empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang perbankan syariah, yaitu:
Pertama, PP No.70 tahun 1992 tentang Bank Umum dan Perubahan- Perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah,
sebagaimana tertera dalam fasal 2 PP No. 38 Tahun tentang perubahan atas PP. No. 1992, adalah tentang modal disetor untuk mendirikan Bank Umum dan Bank
Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp3 triliun. Kedua, PP No. 71 tahun 1992 tentang BPR dalam PP ini, ketentuan
tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat 2 bahwa Bank berkreditan rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus
secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.
Penjelasan dari pasal di atas adalah : yang di maksud dengan bank perkreditan rakyat yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana di maksud
dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
176
Ketiga, PP No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Inti dari PP No. 72 tahun 1992 ini adalah bahwa bank yang melaksanakan
prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syaria pasal 2 dan kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara para pihak pasal
3. Selain itu, bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memiliki dewan syariat pasal 5. Bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil pasal 6. Dengan
demikian, meskipun PP No. 72 tahun 1972 yang hanya terdiri dari 9 pasal ini serta PP lainnya belum cukup untuk mengeksplorasi kekhususan perbankan
syariah, karena hanya mengatur bagian yang sangat kecl tentang perbankan syariah.
Keempat, PP terakhir yang membahas tentang perbankan syariah adalah PP No. 30 Tahun 1999 Tentang pencabutan PP No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank
Umum sebagaimana telah bebrapa kali di ubah terakhir dengan PP No.73 Tahun 1998, PP No. 71 Tahun 1992 tentang BPR, dan PP No.72 Tahun 1992 tentang
Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Alasan dari adanya PP ini adalah karena dengan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, maka ketentuan
pelaksanaan mengenai Bank Umum dan BPR, termasuk yang melaksanakan prinsip bagi hasil, menjadi wewenang Bank Indonesia,bukan pemerintah. Walau
begitu PP yang di cabut tapi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU serta tidak di cabut atau di perbarui.
Dengan adanya PP No. 30 Tahun 1999, maka semua regulasi yang mengatur perbankan secara umum dan Perbankan Syariah secara khusus tidak
lagi melalui PP, melainkan melalui PBI. Kekuasaaan untuk membina dan mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah melalui Departemen
Keuangan ke Bank Indonesia.
4. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Bank Indonesia