98
nuansa paralelisme yang berulang-ulang tanpa ada kejelasan. Pemikiran ini bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju yang terus menggelinding dan
melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai tipe dan karakter baru.
10
Dalam suatu pembangunan hukum, pada tahun 1975, Abdurrahman Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum Islam sebagai
penunjang pembangunan,
11
yang secara umum mengarahkan pembicaraannya pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan tata hukum
positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan, Reaktualisasi Ajaran Islam. Denga mengambil isu-isu pembicaraan mengenai hukum waris,
perbudakan dan bunga bank.
12
Disinilah sebetulnya para ahli hukum Islam fuqahaulama untuk merumuskan kembali ajaran agama hukum Islam agar mampu mengadop
budaya masyarakat socio-cultural yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik beragama tidak lagi terjadi.
Sebagai missal, ironis jika umat Islam yang tekun beribadah, namun kesehariannya melakukan transaksi melalui bank konvensional. Kendati masih
terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai haramnya bunga bank. Paling tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan yang masih tanda kutip. Karena
tanda kutip menunjukkan adanya indikator kesubhatan dan subhat harus dijauhi atau ditinggalkan.
2. Potret Politik Hukum Islam di Indonesia
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu ushul fiqih, hukum didfiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan dengan
10
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia Yogyakarta: LKIS, 2005 cet. 1, 2
11
Lihat artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rudiana Arief
ed, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 199, 124.
12
Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina 1997, 6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, edPolemik Reaktualisasi
Ajaran Islam Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, 11.
99
perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu yang berarti perontah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untk meninggalkan sesuatu
yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal yng mubah fakultatif, yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan,
maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satunya menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain.
13
Musthafa Ahmad al-Zarqa menyebutkan cakupan hukum Islam meliputi hukum akidah, ibadah, keluarga, muamalah, jinayah, tatanegara, hukum antar
negara dan adab sopan santun. Untuk membatasi masalah yang dibahas maka tulisan ini tidak menyinggung masalah akidah, ibadah dan adab sopan santun.
14
Menurut Ahmad Azhar Bashir seorang pemikir yang mempunyai karakteristik tersendiri dalam memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam, ia
menyatakan bahwa hukum Islam dapat ditelusuri melalui dua pendekatan, yakni : pertama, pendekatan qauli menekankan fiqh sisi hasil pemikiran semata fiqh,
kedua, pendekatan manhaji menekankan pemdekatan dari segi metodologi us ̣ul
Fiqh.
15
Al-Jabiri pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung
16
adalah sama sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah
“kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”. Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan niz
̣am al-ma’rifi dan kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim
yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca dan
13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh Kairo: Daar al-Fikr al’arabi, 1958, 21.
14
Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islâmi fi Thaubibi al-Jadîd Damaskus Lathba’ah Jami’ah, 1959, 29.
15
Abdul Aziz Dahlan, et. Al, Ed., Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1999, Jilid, 1, 156.
16
Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Jakarta: Balai Pustaka 1989,
100
menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan banyak pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang
paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide untuk melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh sebagian
orang, sebagai suatu hal yang penting.
17
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga tah
̣kim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa
ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat.
18
Dari situ, maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di
antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak
hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga manangani persoalan pidana.
Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori
kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum
Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum
Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya.
19
Begitulah keberadaan hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai
17
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005, Cet. Pertama, 48
18
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya Jakarta: Gema Insani Press, 1996, 78
19
A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, 145-146
101
sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama
yang diyakini. Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa
prakemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu
juga disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem
hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif, dan ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam
lama di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik. Kenyataan ini menyebabkan hukum Islam menjadi gagap ketika harus berhadapan
dengan sistem hukum yang relatif lebih maju Belanda dan juga sistem hukum adat. Belum sempurnanya proses transplantasi dengan hukum adat, di samping
juga karena nuansa politik dalam proses eklektisisme dengan hukum Barat Belanda ini begitu kental, telah membuat semuanya berjalan dengan tidak wajar.
Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin
meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di
masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum
nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya
Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi
Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu
102
mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa pun
untuk melegal-positifkan hukum Islam Syari’ah dalam bingkai konstitusi negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang
entah kapan akan berakhir. Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan nasih
legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989, lahir UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga Peradilan yang khusus diperuntukkan
bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaanya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan bagu sebagai pelengkap. Oleh karenaya,
adalah wajar jika pada tahun 1999 Presiden RI. Mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam KHI. KHI sendiri
disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Terlepas dari segala
kontroversi latar belakang kelahiran dan materi dari pasal-pasal yang ada di dalamnya, fenomena mutakhir mengisyaratkan bahwa keberadaan KHI mulai
diproyeksikan sebagai undang-undang resmi negara yang digunakan dalam lingkungan peradilan agama.
20
Selain beberapa legislasi di atas masih ada beberapa peraturan perundang- undangan lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di
Indonesia, di antaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
21
20
Studi tuntas mengenai kontroversi kelahiran KHI dapat dilihat pada Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia Yogyakarta: LKiS,
2001; Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Backgraud of the Enactment Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Thesis, Faculty of Graduatu Studies and Research, Institute of Islamic Studies Mc. Gill
University, Montreal Canada, Monreal Canada. 1998. Tidak diterbitkan: Cik Hasan Basri ed, Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum Nasional Jakarta: Logos, 1999
21
Budi Budiman, Potensi Dana Zis Sebagai Instrumen Ekonomi Islam, makalah pada Simposium Nasional Ekonomi Islam oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 13-14 Maret 2002, 2; Rohani Budi Prihatin, Mencermati Undang-undang Zakat, dalam Republika 25 Agustus 1999, 14
103
Secara umum, perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia dewasa ini telah sampai pada tingkat yang cukup memuaskan. Sejumlah dimensi ajaran
agama yang selama ini belum tuntas diperjuangkan, mulai menampakkan tanda- tanda akan diterima. Memang terdapat ajaran hukum Islam yang mempunyai
kendala untuk dilegalkan, dengan alasan substansinya tidak sesuai dan bertabrakan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Untuk kasus seperti ini, upaya
legalisasi berbagai elemen hukum bisa jadi mustahil akan berhasil. Karena bersifat umum, eksistensi peraturan yang lebih dahulu ada ini biasanya
diperuntukkan bagi semua golongan, dan bersifat universal. Jika di paksakan untuk diganti, kemungkinan besar akan menimbulkan gejolak sosial, yang cost-
nya sangat mahal. Dengan demikian pemilahan dan penentuan skala prioritas materi hukum Islam yang dicitakan legalisasinya menjadi langkah awal yang
harus ditempuh. Bukankah melegalkan status peraturan atau ketentuan hukum yang secara sosiologis telah hidup dalam masyarakat terasa lebih mudah
dibandingkan dengan memaksakan hukum ideal yang terdapat dalam kitab-kitab hukum, begitu juga tentunya dengan legalisasi hukum Islam.
3. Lahirnya Politik Hukum Islam