Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah

236

B. Mekasime Pembentukan Hukum Perbankan Syariah

Dalam proses pembuatan undang-undang haruslah sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan aspirasi rakyat. Sedangkan lembaga negara pembuat hukum dikelompokkan menjadi 3 tiga bagian yakni, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga pembuat hukum, dengan akses informasi lengkap didukung oleh pakar dimana undang-undang tersebut dibuat tetap berkoordinasi dengan parlemen. Selanjutnya, selain mitra presiden dalam membuat undang-undang, parlemen juga mempunyai pengawasan. Sedangkan pengadilan ada pembuat hukum yakni hakim, institusi negara ini juga aktif dan produktif dalam membuat hukum dengan keputusan-keputusan hakim yang dianggap mempunyai dasar hukum yang kuat. Selain institusi negara diatas pembuat hukum juga berasal dari institusi masyarakat, diantaranya; institusi masyarakat adat, institusi hukum dalam praktek, serta lembaga riset hukum dan perguruan tinggi. Proses pembuatan hukum ini dapat berlangsung dan diawali dengan pembentukan hukum perundang-undangan, pembentukan hukum yurisprudensi, pembentukan hukum adat, dan lain sebagainya. Menurut George Jellinek 1851-1911 berdasarkan penggolongannya lembaga dibedakan menjadi 2 dua anatara lain; lembaga negara utama atau lembaga negara primer, yaitu lembaga negara yang dibentuk untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga negara sekunder yaitu lembaga negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga negara utama dalam menjalankan kekuasaannya. Sehubungan dengan kewenangan DPR yang identik dengan pembuat undang-undang, maka penyusunan undang-undang di era reformasi ini diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan, oleh karena itu Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI melaksanakan pembaruan sejarah dengan melakukan amandemen yang berkaitan dengan konstitusi yang selama ini dianggap sakral, agar ada dasar hukum yang tepat bagi DPR dalam menyusun undang-undang, 237 pembuatan dan penyusunan Undang-undang sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 berbeda dengan setelah perubahannya. Untuk lebih hematnya, peneliti hanya menjelaskan mekanisme pembuatan Undang-undang setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Pembuatan Undang-undang setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki empat tahap, yakni;

a. Pengajuan dan Pemabahasan Rancangan Undang-Undang RUU

89 Pemabahasan Rancangan Undang-Undang RUU berasal dari Presiden dan DPR. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan perubahan memberikan hak kepada Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan pasal. Hak mengajukan RUU ini timbul dari kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang- undang. Karena DPR adalah sebuah lembaga perwakilan tentunya kekuasaan untuk membuat undang-undang tersebut juga tercerminkan dalam hak-hak yang dimiliki oleh anggota DPR, 90 dan untuk itu Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan memberikan hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Sebagai sebuah usul tentunya rancangan undang-undang yang datang dari anggota tersebut haruslah dibahas oleh DPR untuk disetujui sebagai rancangan DPR. Pada masa sebelum dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, hak untuk mengajukan RUU oleh DPR disebut sebagai hak inisiatif. Tentunya hal ini tepat, karena kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan Presiden. Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 penggunaan hak inisiatif sebagai hak DPR tidaklah tepat lagi karena memang fungsi utama DPR adalah 89 Selanjutnya istilah Rancangan Undang-Undang penulis singkat RUU. 90 Perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui Pemilihan Umum, sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur regulasi itu dari produk legislasi yang bersangkutan. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Jakarta: Konspres, 2006, cet, ke-1, 27. 238 hak legislasi. Hak inisiatif seharusnya dimaknai sebagai hak anggota DPR untuk mengajukan usul RUU, 91 atau hak Presiden untuk mengajukan RUU. Pembahasan bersama suatu RUU antara Presiden dan DPR adalah ketentuan konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh pasal 20 ayat 2. Oleh karena itu pembahasan bersama menjadi syarat formal bagi sahnya sebuah undang- undang. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelum perubahan dimana pembahasan bersama tidaklah merupakan syarat syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan menyatakan” Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan ini jelas mengatur perihal persetujuan DPR terhadap sebuah rancangan undang-undang, sehingga forum untuk memberikan persetujuan ini adalah forum internal DPR, bukan merupakan forum DPR bersama Presiden untuk melakukan pembahasan RUU. Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan tersebut DPR dapat melakukan sidang sendiri tanpa melibatkan Presiden untuk satu agenda saja yaitu membahas RUU yang diajukan Presiden dan mengambil putusan guna menolak atau menyetujui RUU yang diajukan oleh Presiden. Ketentuan Pasal 21 ayat2 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahanpun menyiratkan bahwa sebuah forum pembahasan bersama antara Presiden dan DPR bukan merupakan syarat konstitusional bagi syahnya undang-undang. Ketentuan tersebut berbunyi” jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disyahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan 91 Seperti ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam peaturan tata tertib. Seperti halnya Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang, para anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri itu mencukupi jumlah persyaratan minimal yang ditentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006, cet, ke-2, 135. 239 Rakyat masa itu”. Dengan adanya ketentuan ini maka Presiden secara sepihak tanpa pembahasan bersama dengan DPR dapat langsung mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU yang diajukan DPR kepada Presiden.

b. Tahap Persetujuan Bersama terhadap RUU

Sebuah forum untuk melakukan pembahasan bersama terhadap RUU yang dilakukan oleh Presiden dan DPR dengan demikian adalah sangat penting dan bahkan menjadi syarat konstitusionalitas sebuah undang-undang. Syarat berikutnya adalah bahwa dalam pembahasan bersama tersebut dicapai persetujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut seharusnya menyangkut dua hal yaitu i aspek formal dan ii aspek substansi yang saling berkait. Dari aspek formal harusnya pembahasan tersebut menghasilkan sebuah naskah kesepakatan terhadap hal-hal yang telah disetujui bersama dimanakedua belah pihak membubuhkan tanda persetujuannya. Sedangkan dari aspek substansi, menampung hal-hal yang dituangkan dalam naskah kesepakatan yang merupakan substansi hasil pembahasan bersama. Dalam hal pembahasan bersama,tujuan tersebut belum atau tidak dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap RUU yang diajukan, tentunya naskah kesepakatan atau persetujuan tersebut belum atau tidak dapat dirumuskan. Naskah inisangat penting karena proses pembuatan undang-undang secara konstitusional akan terkait dengan hasil persetujuan bersama Presiden dan DPR yang telah tertuang dalam naskah tersebut sebagaimana tercermin dalam tahapan ini. Apabila ternyata antara Presiden dan DPR tidak berhasil mencapai persetujuan bersama terhadap materi RUU yang dibahas dalam suatu kurun masa persidangan, maka ketentuan Pasal 20 ayat 3 melarang RUU tersebut diajukan kembali dalam persidangan DPR masa itu.

c. Pengesahan RUU Perbankan Syariah Menjadi Undang-Undang

240 Proses konstitusional yang disyaratkan agar RUU sah menjadi undang- undang, pengaturan hukumnya terdapat dalam Pasal 20 ayat 4 dan ayat 5 UUD 1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat 4 dan ayat 5 UUD 1945 setelah perubahan. Pasal 20 ayat 4 menyatakan“ Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”. Dengan adanya ketentuan ini, berubahnya rancangan undang-undang menjadi undang-undang adalah karena adanya perbuatan Presiden untuk mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang. Di pihak lain, UUD 1945 memberikan alternatif kapan sebuah RUU yang telah disetujui bersama Presiden dan DPR berubah statusnya secara sah menjadi undang-undang. Waktu itu adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat 5 yang menyatakan “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Dari dua ketentuan tersebut ternyata RUU yang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sangatlah penting, karena dari RUU ini undang-undang lahir baik karena adanya pengesahan Presiden maupun karena lewat waktu 30 tiga puluh hari sejak adanya persetujuan. Sebuah RUU yang sah menjadi undang- undang karena lewat waktu 30 tiga puluh hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, tidak memerlukan perbuatan Presiden lagi atau dapat dikatakan RUU tersebut demi hukum telah berubah menjadi undang-undang . Dewan Perwakilan Rakyat DPR mengesahkan Rancangan Undang- Undang Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh ketua DPR, Agung Laksono di ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Selasa 17 Juni 2008. Beberapa fraksi dalam pandangannya menilai perbankan syariah dapat memberi kontribusi dalam perekonomian nasional. 92 92 dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 1 241 Juru bicara F. PAN, Nurul Falah, mengutarakan pendapatnya bahwa “pada saat ini perbankan syariah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya menumbuh kembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan. Disamping itu, ia menilai bahwa keberadaan perbankan syariah memberikan sumbangsih yang cukup sidnifikan pula untuk menggerakkan berbagai sektor perekonomian Indonesia terutama sektor usaha menengah, kecil dan mikro”. Sedangkan juru bicara F-PKB, Arsa Suthisna menilai bahwa ‘perbankan syariah yang masih berusia muda masih mempunyai kelemahan terutama pada keterbatasan kuwalitas dan kwantitas sumber daya mansuia. Untuk itu perbankan syariah harus mempersiapkan sumber daya yang mumpuni yang memmiliki integritas, moralitas serta komitmen yang tinggi. Selanjutnya ia meminta agar dilakukan sosialisasi terhadap perbankan syariah, karena pemahaman masyarakat masih sangat rendah terhadap produk maupun perbedaannya dengan perbankan konvensional.” Tukijo, juru bicara F-PDIP, menilai bahwa ‘perbankan syariah mengalami peningkatan yang pesat dan mendapat respon yang positif dari pihak industri jasa perbankan. Untuk itu pernakna syariah tidak boleh berdiri secara eksklusif membatasi pihak yang akan terkait dengan penggunaan jasa perbankan syariah, melainkan harus terbuka untuk kepentingan semua lapisan masyarakat”. F-PG, melalui juru bicaranya, Harry Azhar Aziz menjelaskan bahwa “orientasi dalam UU perbankan syariah adalah pada stabilitas sistem dengan mengadopsi 25 Based Core Priciples for Effective Banking Suoervision terutama terkait dengan perizinan, prudential, kewajiban pengelolaan resiko, pembinaan dan pengawasan, dan jejaring pengaman sistem perbankan syariah. Fraksi ini juga menilai dengan adanya prinsip tersebut maka RUU perbankan syariah akan memiliki aspek kepatuhan syaria, perlindungan konsumen, kenyamanan iklim investasi dan kepastian usaha serta stabilitas perbankan secara keseluruhan”. 242 Menurut F-PPP, dengan juru bicaranya Sofyan Usman keberadaan UU Perbankan Syariah sudah sangan mendesak dan telah lama dinanti-nanti berbagai kalangan karena perbankaan syariah di Indonesia sudah cukup lama beroperasi dan megalami perkembangan yang sangat pesat. Ini menunjukkan adanya minat berbagai kalangandalam memnggunakan jasa perbankan syariah sehingga harus dijawan dengan memberikan ruang yang semakin terbukadan berkembang”. Tata Zainul Muttaqin dari F-PD menilai bahwa perbankan syariah merupakan salah satu wujud untuk memulihkan perekonomian nasional melalui investasi dalam dunia perbankan syariah khususnya investasi dari luar negeri terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah. Oleh karena itu perlu pengaturan yang lebih rinci dan lebih jelas lagi tentang perbankan syariah”. 93 F-FBR dengan juru bicara, Zainul Abidin menjelaskan bahwa siapa saja dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah. Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada pertengahan 1997, sisten syariah telah meberikan manfaat bagi banyak kalangan. Ini menjadi salah satu fakta bahwa bank syariah di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan dan pertumbuhan perekonomian negara”. Sedangkan, F-PKS melalui juru bicara Mustafa Kamal berharap dalam pelaksanaan perbankan syariah harus diikut dengan keberpihakan yang lebih besar dan nyata dalam hal penyaluran dana bagi usaha kecil dan menengah sera kemudahan akses dana bantuan bagi UMKM. Sehingga mampu menggerakkan sektor riil dan meiliki manfaat yang lebi besarbagi terciptanya kemakmurandan kesejahteraan rakyat”. Lebih sederhana lagi pandangan dari F-BPD menyatakan setuju RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang. Namun demikian, tidak semua Fraksi menyetujui UU perbankan syariah disahkan menjadi UU. Dari 10 fraksi yang ada di DPR, satu diantaranya F-PDS 93 dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 2 Diakses Tanggal 21 Februari 2010 243 menolak RUU Perbankan Syariah disahkan, dengan alasan bahwa perbankan syariah tidak sesuai dengan hukum dasar Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1045. Fraksi tersebut melalui juru bicaranya, Retna Rosmanita Situmorang, menyampaikan bahwa “informasi di beberapa negara yang ia ketahui, terbukti bahwa produk perbankan syariah tidak dalam bentuk Undang-undang, hany merupakan turunan dari undng-undang perbankan yang ada, bukan dalam undang-undang yang khusus.” 94 Dari pihak Pemerintah, Menteri Agama , Maftuh Basyuni, “berharap dengan disahkannya UU Perbankan Syariah dapat mendorong industri perbankan dalam negeri untuh tumbuh dan berkembang lebih baik. Kami berharap segera disusun aturan pelaksanaan UU ini oleh Bank Indonesia.” Kini payung hukum perbankan syariah yang diharapkan oleh masyarakat, khusunya umat Islam telah hadir dihadapan bangsa Indonesia. Eksistensi perbankan syariah telah menjadi kuat. Penantian yang panjang itu pun telah berakhir. Setelah enam tahun, DPR bersama Pemerintah bersepakat mengesahkan RUU perbankan Syariah menjadi undang-undang perbankan syariah. Lamanya penantian ini membuat kalangan praktisi sempat tidak terlalu memikirkan Undang-undang itu, karena seperti diketahui bahwa tanpa Undang-Undang pun, perbankan syariah sudah eksis. 95 PERJALANAN USUL UU INISIATIF PERBANKAN SYARIAH 94 dpr.go.id, tanggal 18 Juni 2008, 3. , 2 Diakses Tanggal 21 Februari 2010 95 http:www.pk-sejahtera.orgv2indek.php?op=isiid=5197. Diakses Tgl, 21 Februari 244 DPR 13 September 2005 RUU beserta Penjelasan dan Naskah Akademik 1 2 Naskah akademik dibuat oleh DPR Bamus 27 Oktober 2005 3

d. Tahap Pengundangan

Paripurna Pendapat Fraksi- fraksi 27 September 2005 4 5 Diserahkan kepada Komisi XI 6 Rapat Kerja 21 Maret 2008 8 Pemerintah 5 Januari 2007 7 DIM Pemerintah 10 Raker Menteri Keuangan, Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM Penjelasan DPR dan Tanggapan Pemerintah 9 Penyisipan DIM Pemerintah 11 FDS Menolak RUU 12 Panga 11 Februari 2008 13 Timus Timsin 14 Pendapat Pemerintah 15 Pendapat Mini Fraksi-fraksi 6 Juni 2008 16 Bamus 5 Juni 2008 17 FDS tetap menolak RUU Paripurna 17 Juni 2008 18 PA Pemerintah 19 PA Fraksi-fraksi 19 Pengesahan Menjadi UU 20 245 Ketentuan tentang pengundangan Undang-undang dalam UUD 1945 disinggung dalam Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 yang mengatur tentang RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dengan menyatakan ”wajib diundangkan”. Hal demikian tentulah tidak dimaksudkan bahwa yang wajib diundangkan hanya RUU yang menjadi undang-undang karena berdasarkan Pasal 20 ayat 5 saja. RUU yang menjadi UU karena pengesahan Presiden pun wajib untuk diundangkan. UUD 1945 menentukan aturan yang khusus tentang pengundangan dan dengan adanya Pasal 22A UUD yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang- undang”. 96 Dengan demikian maka tata cara pengundangan dapat diatur dalam undang-undang yang melaksanakan Pasal 22A tersebut. Dasar hukum dalam keempat tahap tersebut diatas diatur dalam Undang- undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Naskah RUU yang disetujui bersama tersebut seharusnya memuat didalamnya: 1 Subtansi undang-undang yang tertuang dalam rumusan ketentuan yang telah disepakati antara Presiden dan DPR. Hal ini diperlukan untuk menjadi bukti otentik tentang hal-hal yang telah disetujui. 2 Bukti DPR dan Presiden bahwa telah menyutujui bersama subtansi undang-undang dengan cara pembubuhan tandatangan Presiden dan Ketua DPR sebagai institusi. 3 Momentum atau waktu kapan persetujuan tersebut dicapai yaitu saat ditandatangani oleh Presiden dan Ketua DPR.

C. Perspektif Hukum Islam