Politik Hukum Islam di Era Reformasi

147 pendiskreditan. Sebagai akibatnya pihak Islam bermunculan kelompok fundamentalis yang menentang hampir semua kebijakan pemerintah. Kesan bahwa Islam itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, dan bahkan anti pancasila telah menyebabkan umat Islam terkena proses marginalisasi dalam modernisasi dan pembangunan nasional. Munculnya gerakan pemikiran baru Islam dikalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970 an merupakan salah satu bentuk penyikapan agar eksistensi umat Islam diperhitungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 114 . Gagasan pemikiran baru Islam mendapatkan bentuknya paling awal ketika Nurcholis Maddjid menuliskan gagasan-gagasannya dalam sebuah makalah berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Inti yang dikemukakan oleh Nurcholish berkenaan dengan kondisi umat Islam yang kurang dikesani menguntungkan. Oleh karena itu, umat Islam yang kurang dikesani pilihan antara keharusan pembaruan dan mempertahankan sikap tradisionalistik. Keduanya memiliki konsekuensi tertentu. Pilihan pertama tampaknya mempunyai potensi yang dapat menimbulkan perpecahan umat, sementara pilihan kedua berarti memperpanjang situasi kejumudan intelektual umat Islam.

5. Politik Hukum Islam di Era Reformasi

Tumbangnya Soeharto menandai kemunculan reformasi. Istilah ini menjadi sangat dikenal oleh seluruh masyarakat yang dianggap sebagai penyelamat kehidupan mereka, bahkan dianggap segala-galanya. Ia muncul sebagai akibat dari keterpurukan ekonomi yang berdampak pada semakin 114 Istilah Pemikiran baru adalah untuk menyederhanakan istilah pembaruan pemikiran yang secara terminologis masih belum jelas dan banyak dipersoalkan. Paling tidak, istilah itu menunjukkan adanya perbedaan gagasan dengan tokoh Islam sebelumnya, seperti M. Natsir, HM Rasyidi, Deliar Noer, dan sebagainya. Sedangkan pemikiran baru lebih bersifat empirik, tetapi tidak apologetic dalam meyikapi gagasan modernisasi pemerintah Orde Baru. Lihat, Fachry Ali, Islam, Pancasila, dan Pergulatan Politik, 122-123 148 beratnya beban hidup masyarakat. 115 Reformasi, boleh dikatakan merupakan hasil usaha bersama antara kelompok nasionalis abangan dan Islam santri dengan tema sentral KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Setelah itu, fenomena konflik abangan-santri mulai muncul. Ada forkot, Famred, dan Promeg Pro Megawati sebagai simbol abangan, yang sejak pagi mengajukan sidang istimewa MPR. Ketika Habibie disahkan sebagai Presiden menggantikan Soeharto, mereka ramai-ramai menolaknya dan menganggapnya tidak konstitusional. Padahal, penyebab sebenarnya adalah karena mereka tidak suka apabila elit santri dalam ICMI mengisi kekosongan pemerintahan pasca-Soeharto. Tampaknya, sesudah masa Soeharto Orba, Islam masih mencari jati dirinya, terutama dalam politik. Masa Soeharto memang telah menyingkirkan kalangan Islam dari perpolitikan resmi. Munculnya Orde Reformasi merupakan bagian dari proses sejarah kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Orde Reformasi ini diyakini akan lebih baik dibandingkan orde sebelumnya. 116 Apalagi sudah didengungkan bahwa orde ini berorientasi pada penciptaan Masyarakat Madani, suatu masyarakat terbuka, demokratis, dan transparan. Pemerintahan sipil civilian government sebagaimana ditulis oleh filosof Inggris John Locke dalam buku Civilian Government pada 1690, dan dipandang sebagai orang yang pertama kali membicarakan ide ini bahwa pembentukan pemerintahan sipil adalah membangun pemikiran otoritas umat untuk merealisasikan kekayaan. Dalam hal ini dapat direalisasikan melalui demokrasi parlementer, sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja. 115 Seperti diketahui, tahun 1997 agenda utama reformasi yang dituntut oleh mahasiswa dan elit politik adalah pemberantasan KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, penegakan hukum, pengadilan mantan Presiden Soeharto serta keluarga dan kroninya, serta penghapusan peran politik dan Polri. Lihat, Muhammad Said Didu, Mereformasi Agenda Reformasi, bagian pertama dari dua tulisan, salah artikel yang dimuat dalam Republika, tanggal 9 Mei 200, 4 116 Sebenarnya, agenda reformasi hanya dapat dilaksanakan pada suasana masyarakat yang tertib, landasan yang kuat, serta suasana negara yang mandiri dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi ancaman kebangkrutan perekonomian serta ancaman disintegrasi bangsa, yang diperlukan hanyalah agenda penyelamatan bangsa. Lihat, Muhammad Said, 143. 149 Masa Reformasi telah terjadi kebangkitan politik Islam, yang ditandai oleh beberapa gejala. Pertama, lahirnya sejumlah partai-partai Islam, yaitu partai- partai yang mendasarkan diri pada Islam sebagai idiologi politik. Kedua, lahirnya sejumlah organisasi berhaluan radikal fundamentalis yang secara lebih fokus dan tegas menginginkan ditegakkannya syari’at Islam, dengan metode jihad. Ketiga, tuntutan atau rencana sejumlah daerah propinsi, khususnya Nanggroe Aceh Darsussalam NAD dan kabupaten baik di Jawa maupun luar Jawa, untuk menerapkan syari’at Islam, melalui legislasi di daerah dalam rangka otonomi daerah. Perkembangan itu menunjukkan, bahwa di samping kegagalan dalam memperjuangkan formalisasi syari’at Islam di tingkat nasional, tampak telah terjadi kemajuan penerapan syari’at Islam secara inkremental, dalam dimensi institusional, sektoral maupun ragional. Dalam masa reformasi telah timbul lagi perjuangan formalisasi syari’at Islam, dengan timbulnya tuntutan dari sejumlah organisasi Islam radikal dan beberapa partai politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Keadilan PK agar ST MPR, Agustus 2002, memulihkan kembali gagasan Piagam Jakarta, dengan mengamandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 tentang dasar negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa untuk ditambah “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Namun tuntutan itu tidak memperoleh dukungan yang memadai dari para anggota MPR. Bahkan dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, ternyata menolak usul amandemen tersebut. Belum adanya kesamaan sikap di antara para tokoh Islam, terutama dalam hubungannya dengan politik, tampaknya akan terus berlangsung sejalan dengan dinamika kahidupan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. Namun demikian, paling tidak dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda 117 117 Pandangan ini berusaha untuk membandingkan atau memahami politik Islam dalam konteks politik modern, lihat Bahtiar Efendy, 12-13 150 dapat diidentifikasi. Kedua spektrum itu sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan dan keduanya mempunyai penafsiran yang jauh berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuainnya dengan kehidupan modern. Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan muslim, ajaran-ajaran itu harus lebih ditafsirkan kembali melampaui makna tekstualnya dan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Pertama, beberapa kalangan muslim beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, yaitu Syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara; kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; gagasan tentang negara bangsa nation-state bertentangan dengan konsep ummah komunitas Islam yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan sementara mengakui prinsip syura musyawarah, aplikasi prinsip itu berbeda dengan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata lain, konteks sistem politik modern, dengan banyaknya negara Islam yang baru merdeka telah mendasarkan bangunan politiknya, diletakkan dalam posisi yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. Kedua, beberapa kalangan Muslim lainnya berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh ummah. Menurut aliran pemikiran ini, istilah negara dawlah pun tidak dapat ditemukan dalam al-Qur’ân yang merujuk atau seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Yang jelas, bagi mereka, al-Qur’ân bukanlah buku tentang ilmu politik. Gegap gempita demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan 151 ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. 118 Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud Undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. 119 Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, yang diadop berdasarkan Al-Qurân dan al-sunnah untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

6. Amanat Reformasi Hukum Islam