Putaran Perundingan Helsinki Tahap I

“In my capasity as Chairman of the Board of the Crisis Management Initiative, a finnish NGO, I invited the Governmentof Indonesia and the Free Aceh Movement GAM to an informal meeting in Helsinki on 27-29 January 2005. The aim of the meeting was to re-establish a dialogue between the parties in the aftermath of the tsunami on 26 December 2004, which caused immeasurable human suffering and massive devastation in Aceh. In order to facilitate the delivery of humanitarian assistance I urged hte parties to refrain from military activities. The meeting served as a confidence-building measure and aimed to identify common ground on which to build eventual next steps. The discussions started as proximity talks on Thursday when I met both parties separately. On Friday morning the delegations met in joint sessions which I chaired. On Friday afternoon and Saturday the parties had direct talks without a facilitator. The discussions started with a review of the humanitarian situation and delivery of assistance in Aceh. Then parties started exploring whether it would be possible to find a comprehensive solution in the framework of special autonomy for Aceh. Within this framework the parties covered issues such as long-term socio-economic development and reconstruction, security arrangements, terms for demobilisation and reintegration, amnesty, lifting of the civil emergency, guarantees and monitoring of undertakings by the parties, elections, justice and human rights . 18 I have extended an invitation to the parties for a second meeting in Helsinki.” Pada pernyataan tersebut, Marttin Ahtisaari menjelaskan bahwa dalam kapasitasnya sebagai ketua dewan direksi CMI sebuah LSM dari Finlandia, ia telah mengundang pemerintah Indonesia dan GAM untuk menghadiri sebuah pertemuan informal di Hesinki pada tanggal 27-29 Januari 2005. Tujuan dari pertemuan itu adalah untuk membangun kembali dialog antara pihak-pihak bertikai setelah terjadinya peristiwa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan di Aceh. Marttin Ahtisaari menyerukan dihentikannya pertempuran agar dapat disalurkannya bantuan internasional. Pertemuan tersebut dilangsungkan dalam rangka membangun saling kepercayaan dan bertujuan untuk mengidentifikasi landasan bersama guna memudahkan langkah pembicaraan selanjutnya, pertemuan hari pertama 18 http: www,cmi.fi.Statement Bulan Januari, Diakses pada 25 Juli 2011, Pukul 18.30 berlangsung hari kamis di mana Marttin Ahtisaari melakukan pembicaraan terpisah dengan kedua delegasi, pertemuan hari jumat pagi adalah rapat bersama yang dihadiri kedua delegasi yang dipimpin oleh Marttin Ahtisaari, pada hari jumat sore dan sabtu dilakukan pertemuan langsung kedua delegasi tanpa kehadiran fasilisator. Diskusi dimulai dengan pembahasan tentang situasi kemanusiaan dan penyaluran bantuan ke Aceh, yang dilanjutkan dengan membicarakan kemungkinan penyelesaian menyeluruh dalam rangka Otonomi khusus bagi Aceh. Dalam kerangka itu kedua delegasi membahas isu-isu seperti pembangunan sosial ekonomi jangka panjang dan rekonstruksi, pengaturan keamanan, ketentuan tentang demobilisasi dan reintegrasi, amnesti, penghapusan status Darurat Sipil, jaminan dan pemantauan dari kedua pihak, keadilan dan HAM. Melihat gejala tersebut CMI sebagai mediator memberikan kesempatan pada kedua pihak yang bertikai untuk melakukan pembicaraan tanpa mediator untuk memulai diskusi dan tawar menawar. Dengan pembatasan bahwa keduabelah pihak tidak perlu mengungkap lagi persoalan yang telah lewat. Tetapi lebih membicarakan cara penyelesaian konflik dengan sesuatu yang realistis dan bisa diimplementasikan. Ahtisaari meletakkan dasar dari awal bahwa perundingan yang dilakukan adalah penyelesaian konflik secara menyeluruh dan dalam konteks Aceh tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ahtisaari mengakhiri putaran pertama dengan memberikan agenda untuk putaran kedua seperti yang telah disepakati sebelumnya,yaitu: a. Pertama, pembicaraan tentang otonomi khusus Aceh. b. Kedua, pemberian amnesti dengan segala prosesnya. c. Ketiga, pengaturan keamanan d. Keempat, sistem monitoring pengaturan keamanan. Mediator menawarkan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan jasa baik Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang bekerja sama, bahu membahu. e. Kelima, pembicaraan tentang tahapan-tahapan pencapaian dan waktu yang jelas. berdasarkan minutes of meeting, putaran 1, hari ketiga 19

2. Putaran Perundingan Helsinki Tahap II

Sebelumnya Pemerintah Republik Indonesia RI dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka GAM hari senin tepatnya pada 21 Februari 2005 di Helsinki, Finlandia, kembali mengadakan pertemuan untuk membicarakan penyelesaian masalah Aceh. Pertemuan kedua ini berlangsung di Koeningstedt Estate. Yang berlangsung dengan perantara Crisis Management Initiative CMI sebuah lembaga yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Marttin Ahtisaari. Pada hari itu Marttin Ahtisaari didampingi oleh Juha Christensen dalam kapasitas sebagai managing director CMI. Dua staf CMI lainnya di perundingan itu adalah Kristiina Rinkineva dan Meeri Maria Jaarva. Lalu sebagai pengamat dari kementerian luar negeri Finlandia, ada Menteri Muda Luar Negeri Hannu Himanen beserta konselor Antti Vanska. 20 Dalam putaran kedua, perundingan damai Aceh ini, sudah mulai menyentuh substansi. CMI sebagai mediator membuka pertemuan perundingan dengan menekankan batasan perundingan pada putaran kedua didasarkan pada 19 Hamid Awaludin, Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki, CSIS, 2008, h. 34. 20 Farid Husain, To see The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, h. 102. pembicaraan tentang otonomi khusus sebagai agenda utama pada hari pertama dan pada hari selanjutnya mengenai hal-hal detail. Delegasi Indonesia pada kesempatan ini menawarkan substansi Otonomi Khusus antara lain mencakup pemilu provinsi dan partisipasi GAM dalam pemilu. Dan tidak hanya itu saja, sisi lain dalam pembicaraan ini dapat juga disebut sebagai “peace talks”. 21 Akan tetapi, hasil perundingan tahap kedua ini mendatangkan Pro-kontra. Adapun suara kontra itu datang dari kalangan politisi dan mantan TNI, yang menyatakan bahwa meskipun tidak ada klausul merdeka, tuntutan GAM agar Aceh berpemerintahan sendiri sama dengan merdeka suara dari Ketua komisi I DPR Effendy Choirie. Dan mantan kasum TNI Letjen Pur Djamari Chaniago juga menyamakan pemerintahan sendiri, yang konsepnya mencakup adanya partai politik lokal, dengan kemerdekaan. Namun dari sisi lain, terdengar pula suara-suara pro terhadap peace talks baik berupa pernyataan maupun opini bermunculan disana sini bukan hanya di Jakarta maupun di Aceh, tetapi juga dikalangan dunia internasional. Pada kesempatan terlihat perubahan tuntutan GAM dari kemerdekaan sendiri menjadi pemerintahan-sendiri. Selama dua putaran berikutnya GAM, pemerintah Indonesia dan CMI akhirnya menetap pada konsep pemerintahan sendiri atau otonomi khusus. Rincian mengenai pemerintahan sendiri juga kritis, dan menjadi poin besar yang sulit diselesaikan pada akhir pembicaraan. Pertanyaan yang paling sulit adalah apakah partai politik Aceh akan diizinkan, sebuah poin yang dituntut keras oleh GAM. dibahas adalah amnesti. 21 Thung Ju Lan, Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh, h. 19. Pada hari kedua, putaran kedua, agenda yang dibicarakan adalah mengenai pemakaian terminologi self-government didalam Indonesia pengaturan sendiri dalam wilayah Negara Indonesia. CMI sebagai mediator mengingatkan kedua belah pihak agar tidak melakukan perundingan dengan menyinggung masa lalu. Pada saat perundingan pihak GAM berulang kali menyinggung mengenai masa lalu yang terjadi di Aceh dan juga menyinggung kasus Timor Timur dan beberapa kali menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia di masa lalu banyak memberikan janji-janji palsu dan juga melakukan pelangaran HAM. Di sini peran besar CMI dalam meredakan situasi yang kian memanas semakin terlihat, CMI dengan lugas dapat mengeluarkan solusi-solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sehingga perundingan dapat berjalan kembali dengan kondusif. CMI kembali mengingatkan bahwa dalam perundingan ini, hal-hal dimasa lalu tidak perlu disinggung lagi. CMI memberikan pandangan, masa masa pemerintahan Indonesia yang pada masa perundingan di pimpin oleh SBY mempunyai komitmen kuat untuk penyelesaian masalah Aceh. CMI juga memberikan batasan, bahwa format jumlah orang-orang yang terlibat dalam perundingan tidak boleh bertambah dan berubah untuk menghindarkan, pembicaraan yang sudah mengalami kemajuan tidak menjadi mundur karena adanya pihak baru yang terlibat. Di hari yang sama, CMI sebagai mediator mengangkat topik pembicaraan mengenai Memorandum of Understanding dan juga sistem monitoring. Hari ketiga, putaran kedua, CMI mengajukan agenda yang akan dibahas dalam putaran berikutnya seperti: otonomi khusus ataukah selfgovernment, pemilihan provinsi dan pemilihan lokal, partai politik lokal, pengaturan ekonomi sistem audit buat pendapatan provinsi, persentase pajak untuk pusat dan daerah, fasilitas untuk integarasi GAM, amnesti definisi dan jangkauannya, masalah- masalah legal, pengaturan keamanan pengurangan personil TNI dan polisi setelah penyelesaian terjadi, penyerahan senjata GAM, monitoring dari pihak luar elemen militer dan sipil serta peranan ASEAN dan Uni Eropa, dan dialog dalam masyarakat Aceh sendiri untuk menghindari adanya kesalahpahaman. CMI sebagai mediator menyatakan tetap tidak akan membuka agenda perundingan kepada pers, untuk menjaga tidak ada kesimpangsiuran berita oleh media dan tanggapan dari pihak luar yang tidak diinginkan selama masa perundingan. Dalam putaran kedua ini, CMI memberikan kesempatan untuk kedua belah pihak melakukan pertemuan-pertemuan sendiri tanpa perantara. Dan juga menggunakan kesempatan untuk mempunyai pertemuan tersendiri baik dengan pihak Indonesia saja, atau dengan pihak GAM saja.

3. Putaran Perundingan Helsinki Tahap III