Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil

di Aceh. Dimana pada saat itu pemerintah Indonesia mengizinkan untuk Lembaga Swadaya Masyarakat LSM internasional untuk memulai proses perdamaian dan juga sebagai mediator pihak ketiga dari permasalahan antara GAM dan Indonesia. Dimulai pada 2000, LSM di Swiss yaitu HDC The Center for Humanitarian Dialogue menghasilkan sebuah kesepakatan yang diberi nama Jeda Kemanusiaan antara pemerintah RI dan GAM, kesepakatan ini berlaku pada 2 Juni 2000. Tujuan dari Jeda Kemanusiaan ini adalah untuk: 1 1. Mengirimkan bantuan kemanusian kepada masyarakat Aceh akibat konflik melalui Komite Bersama Kemanusian, 2. Menyediakan bantuan keamanan guna mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan dan untuk mengurangi ketegangan serta kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan selanjutnya melalui Komite Bersama Bantuan Keamanan, dan 3. Meningkatkan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan untuk mendapatkan solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh. Namun upaya Jeda Kemanusiaan ini gagal. Karena realitasnya terjadi banyak pelanggaran terhadap perjanjian ini, baik dalam bidang keamanan seperti, ruang untuk ekspresi kebebasan masyarakat sipil dibatasi dan kebijakan untuk situasi aman di Aceh belum memberikan jaminan. Tidak hanya itu saja dalam bidang kemanusiaan pun, kerja-kerja komite tidak berjalan lancar akibat kelambanan dalam menyikapi kebutuhan masyarakat. 2 Dari sinilah akhirnya kemudian kembali diadakannya dialog yang kedua yang menghasilkan Perjanjian Penghentian Permusuhan Cessatio of Hostilities 1 Kontras, Aceh Damai Dengan Keadila : Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras, 2006, h. 93. 2 Ibid, h.94. Agrement CoHA pada 9 Desember 2002 di Geneva, Swiss. 3 Akan tetapi sama seperti HDC, perjanjian CoHA pun akhirnya gagal untuk mencapai dalam beberapa masalah, seperti bagaimana cara mencapai suatu kompromi antara permintaan kelompok GAM akan kemerdekaan dan pernyataan kuat pemerintah Indonesia bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia, sejauh mana mantan anggota GAM dapat berpartisipasi dalam pemerintahan daerah. 4 Diberlakukannya Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh yang disebabkan karena gagalnya perundingan dan perjanjian yang telah disepakati antara GAM , Indonesia dan HDC telah membuat situasi Aceh kembali bergejolak, terjadi kontak senjata antara GAM dan pemerintah Indonesia, dimana Panglima TNI saat itu Endriartono Sutarto memerintahkan untuk menghancurkan kekuatan GAM sampai keakar-akarnya sebab pemerintah Indonesia tidak ingin GAM tetap eksis, berbagai Operasi Militer tersebut tidak lantas menyelesaikan permasalahan yang terjadi, namun justru meningkatkan eskalasi konflik yang terjadi, sejak Januari sampai Mei 2005. Akibat dari konflik kekerasan tersebut maka banyak korban yang berjatuhan sampai batas akhir darurat tersebut. Akhirnya dalam hal ini di pilihlah CMI sebagai mediator oleh pemerintah Indonesia dan GAM untuk proses perdamaian karena adanya keyakinan dari kedua belah pihak terhadap kredibilitas CMI dalam mengusahakan perdamaian gejala konflik. Terbukti hanya dalam rentang tiga tahun CMI telah berhasil membawa dua belah pihak yang bertikai duduk bersama merumuskan perjanjian perdamaian dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yaitu penghentian perjanjian permusuhan antara kedua belah pihak, pencabutan status daerah operasi 3 Ibid, h.109. 4 Tim Peneliti LIPI, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial, h.108-109. militer, bersamaan dengan itu GAM menyerahkan seluruh senjatanya dan membubarkan 3.000 pasukan. Ada beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang mendukung berhasilnya CMI mendamaikan pemerintah Indonesia dan GAM. Faktor internal keberhasilan dalam perundingan damai dengan GAM adalah kebijakan yang di ambil pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih menekankan dialog dan lebih banyak mengikuti keinginan pihak GAM dari pada menggunakan cara-cara kekerasan, lalu gempa bumi dan tshunami telah membawa berkah tersendiri kepada pihak GAM dan pemerintah Indonesia untuk duduk bersama membangun kembali Aceh yang telah luluh lantah. Faktor eksternal yang mendukung keberhasilan tersebut adalah adanya perhatian masyarakat internasional untuk mendamaikan GAM dan pemerintah Indonesia, kesediaan CMI sebagai mediator telah membuktikan bahwa masyarakat internasional peduli atas masalah yang di hadapi pemerintah Indonesia dalam menangani masalah GAM. Pada Agustus 2005, kedua pihak sepakat untuk menandatangani Nota Kesepakatan di Helsinki, Filandia. Yang telah membawa harapan bagi pihak-pihak yang bertikai untuk mewujudkan suatu perdamaian sampai saat ini. 5 Ini terbukti dengan kesepakatan yang telah di buat dan ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan GAM. Adapun kesepakatan perjanjian itu adalah Memorandum of Understanding MoU. 5 Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h.145.