Kegagalan Pelaksanaan CoHA Periode Paska Daerah Operasi Militer
Isi dari Keppres tersebut adalah sebagai berikut: Pertama,
“gagalnya upaya-upaya pemerintah menyelesaikan persoalan Aceh melalui penetapan otonomi khusus, pendekatan terpadu dan rencana
pembangunan yang komprehensif, maupun dialog. Juga disebutkan bahwa semua upaya tersebut tidak dapat menghentikan niat GAM untuk
memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.”
Maksud dari poin pertama “secara asal” telah menempatkan seluruh elemen masyarakat yang ada di Aceh, baik masyarakat sipilnya maupun GAM
sebagai sumber masalah karena menolak dialog, otonomi khusus serta program pemerintah. Rumusan konsideran ini menunjukkan bahwa Pemerintah
mencapuradukkan seluruh problematika Aceh yang belum tentu berhubungan dengan separatisme dan menyelesaikannya lewat Darurat Militer;
Kedua, “bahwa keadaan yang pada akhirnya dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut, dan secepatnya harus dihentikan melalui upaya-upaya yang lebih terpadu agar kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah
dapat segera dipulihkan kembali.” Rumusan ini menunjukkan bahwa keutuhan teritorial NKRI digunakan
sebagai dasar dari tujuan utama operasi. Atas nama nasionalisme dan jargon NKRI, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat keamanan selama
DOM. Telah melakukan operasi yang menghalalkan segala cara, yang dilakukan justru kontra produktif. Spirit dari nasionalisme dan NKRI adalah
“mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial” dengan daya koersif yang
dimiliki negara,
sehingga yang
dipikirkan pemerintah
adalah mengembalikan efektifitas kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun. Pada
point kedua ini sangat bertolak belakang dengan klaim dan tujuan operasi untuk mengembalikan otoritas masyarakat Aceh atas wilayahnya yang berada dalam
gangguan GAM.
Ketiga, Keppres No 28 Tahun 2003 dalam perihal mengingat merujuk pada Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
keempatUndang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 23 Prp Tahun 1959 Tentang kedaan Bahaya, serta Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang
kepolisian Negara RI. Dalam hal ini ketiga instrumen yang menjadi dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan Keppres sungguh memiliki perbedaan-perbedaan
dalam beberapa aspeknya. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung ketiga instrumen yang menjadi dasar tersebut diimplementasikan secara bersama
sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik kepentingan, tafsir dan tindakan.
15