Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan

tidak dapat lagi bertindak sebagai mediator untuk melanjutkan proses implementasi CoHA.

3. Pemberlakuan Darurat Militer

Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai seperti Jeda Kemanusian, serta Moratorium, kemudian dilanjutkan dengan CoHA yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dan lepas dari NKRI. Upaya terakhir yang dilaksanakan oleh pemerintah RI yaitu mengadakan Joint Coincil, dimana pihak RI mengajukan beberapa persyaratan dan memberi batas waktu kepada GAM. Dengan gagalnya pertemuan tersebut, Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah menentukan sikap tegas yaitu dengan memberlakukan Darurat Militer di NAD. Status Darurat Militer merupakan pernyataan terbuka pemerintah untuk menyatakan perang di bawah payung hukum keputusan resmi Presiden Keppres No 28 2003. Berbeda dengan masa DOM, paska DOM sampai dengan CoHA, operasi militer yang digelar saat darurat militer secara resmi langsung di bawah pertanggungjawaban presiden sebagai penguasa darurat militer pusat. Meskipun dalam operasionalisasinya di lapangan, Keppres ini tidak mampu menjadi payung hukum yang memadai untuk menyelesaikan semua persoalan. 14 14 Kontras, Aceh Damai dengan Keadilan, h. 113. Isi dari Keppres tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, “gagalnya upaya-upaya pemerintah menyelesaikan persoalan Aceh melalui penetapan otonomi khusus, pendekatan terpadu dan rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog. Juga disebutkan bahwa semua upaya tersebut tidak dapat menghentikan niat GAM untuk memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.” Maksud dari poin pertama “secara asal” telah menempatkan seluruh elemen masyarakat yang ada di Aceh, baik masyarakat sipilnya maupun GAM sebagai sumber masalah karena menolak dialog, otonomi khusus serta program pemerintah. Rumusan konsideran ini menunjukkan bahwa Pemerintah mencapuradukkan seluruh problematika Aceh yang belum tentu berhubungan dengan separatisme dan menyelesaikannya lewat Darurat Militer; Kedua, “bahwa keadaan yang pada akhirnya dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, dan secepatnya harus dihentikan melalui upaya-upaya yang lebih terpadu agar kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah dapat segera dipulihkan kembali.” Rumusan ini menunjukkan bahwa keutuhan teritorial NKRI digunakan sebagai dasar dari tujuan utama operasi. Atas nama nasionalisme dan jargon NKRI, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat keamanan selama DOM. Telah melakukan operasi yang menghalalkan segala cara, yang dilakukan justru kontra produktif. Spirit dari nasionalisme dan NKRI adalah “mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial” dengan daya koersif yang dimiliki negara, sehingga yang dipikirkan pemerintah adalah mengembalikan efektifitas kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun. Pada point kedua ini sangat bertolak belakang dengan klaim dan tujuan operasi untuk mengembalikan otoritas masyarakat Aceh atas wilayahnya yang berada dalam gangguan GAM.