Menurut Heraclides ada tiga ciri karakteristik konflik separatisme yakni : 1.
Konflik separatisme terjadi ketika pengaturan kekuasaan sangat terpusat dan tidak adanya atau lemahnya demokrasi.
2. Adanya faktor pendukung dari luar yang kuat sehingga memperhebataksi
kekerasan. 3.
Konflik separatism melibatkan etnik minoritas yang berhadapan dengan pemerintah pusat sebagai akibat dari diskriminasi politik, ekonomi dan atau
penindasan militer oleh pusat. Separatisme di Aceh merupakan akibat dari adanya diskriminasi dalam bidang
ekonomi dan politik yang di lakukan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh. Ketidakadilan yang selama ini dirasakan telah memunculkan niat untuk
memisahkan diri dari Indonesia maka dari itu muncul gerakan separatis GAM.
17
2. Teori Konsensus
Konsensus adalah sebuah frase untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah
adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam
gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam
memengaruhi konsensus politik. konsensus bisa pula berawal hanya merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada
17
Ibid, h. 29.
kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan seringkali dengan melalui sebuah fasilitasi hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan
yang akan dikembangkan.
18
Adapun cara penyelesaian konflik, yaitu dengan kolaborasi kerja sama, mengikuti kemauan orang lain, mendominasi, menghindari, kompromi.
19
Sadangkan Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:
20
1. Bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen dalam mana semua
pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau
memaksakan kehendak. 2.
Bentuk mediasi dalam mana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga, seorang yang disebut mediator. Tetapi nasihat yang diberikan oleh
mediator ini tidak mengikat mereka. 3.
Bentuk arbitrasi, di mana pada bentuk ini kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar
konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator. Penyelesaian konflik separatis GAM di Indonesia ditempuh dengan cara
mediasi. Menurut Saadia Touval dan William Zartman mediasi adalah sebuah bentuk intervensi pihak ke tiga dalam konflik yang bertujuan untuk mengurangi atau
18
http:id.wikipedia.orgwikikonsensus
19
Masri Maris, How Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik Jakarta: Erlangga, 2001, h.41-47.
20
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik Jakarta: Widiasarana, 1992, h. 160.
memecahkan konflik melalui negosiasi.
21
Pada dasarnya mediasi adalah sebuah proses politik, mediasi adalah fungsi pelaksanaan dari mediator. Dalam sebuah
konflik sering terjadi kebuntuan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga konflik tidak dapat di selesaikan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan mediator
dalam membantu mengatasi kebutuhan tersebut. Dalam konflik separatis di Indonesia, CMI adalah pihak ke tiga yang berperan
sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan konflik tersebut. Kehadiran CMI dapat di terima oleh pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. CMI
berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa perundingan damai akan dapat dilaksanakan dengan pihak GAM, demikian juga kepada pihak GAM, CMI berusaha
membujuk mereka untuk tidak lagi menuntut kemerdekaan pada pemerintah Indonesia. Surat perdamaian juga diajukan oleh CMI kepada pemerintah Indonesia
dan GAM untuk mempertemukan pihak yang berkonflik dalam sebuah perundingan untuk suatu kesepakatan damai. Disamping upaya negosiasi terhadap kedua belah
pihak, CMI juga membuat rumusan yang akan dibahas dalam perundingan yang berisikan berbagai hal mengenai permasalahan yang di hadapi oleh pemerintah
Indonesia maupun pihak GAM. Hal ini terbukti dari keberhasilan CMI membawa kedua belah pihak yang
bertikai duduk bersama untuk merumuskan Nota Kesepahaman untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi selama puluhan tahun, di lakukannya penyerahan senjata
21
Saadi Touval dan William Zartman, Internasional Meedition in theory and Practice, Westview Press Foreign Policy Institute Scool of Advanced Internasional Studies, The John Hopkins
University, USA: 1985, h. 180.
dan pembubaran sayap militer GAM. Faktor gempa bumi dan tsunami juga membuat pihak bertikai tidak lagi ingin memperpanjang konflik yang telah terjadi. Akhirnya
pada situasi inilah dipatuhinya Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki oleh GAM dan Indonesia menjadi indikasi
keberhasilan CMI sebagai mediator dalam mendamaikan kedua pihak yang bertikai.
F. Metode Penelitian
Sesuai dengan uraian pada latar belakang permasalahan dan tujuan dari dilaksanakan penelitian ini, maka jenis penelitian ini dengan cara kualitatif; yaitu
penelitian yang menggunakan metode historis, komparatif, dan studi kasus, sebagai data-data yang akan diteliti.
22
Sedangkan untuk metode penelitian ini termasuk metode penelitian deskriptif yang mencoba untuk menjelaskan dan menggambarkan
secara sistematis dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Dalam pengumpulan data maka penulis menggunakan studi literatur, yaitu
data yang di perolah seperti mengenai sejarah awal terbentuknya GAM, dan tulisan ilmiah yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Melalui kepustakaan, yang di
gunakan untuk mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan agar dapat menunjang dalam penulisan skripsi dan melengkapi
pengetahuan dalam penelitian ini. Seperti dengan membaca buku-buku, artikel surat kabar, dan fasilitas jaringan komputer, yang mendorong dan berkaitan dengan
penelitian ini. Hal ini di lakukan untuk mendapat landasan teori dan konsep yang tersususun.
22
Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfa Beta, 2005, h.12-14.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran umum, penulis menyajikan sistematika penulisan dalam 5 bab. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dapat di lakukan secara sistematis
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah di pahami oleh para pembaca skripsi ini. Adapun pembahasan dan penulisan skripsi ini secara garis
besar, yaitu sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan
sistematika penulisan. BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK GAM DAN INDONESIA
Dalam bab ini akan di jelaskan mengenai asal usul terjadinya konflik, perkembangan kelompok separatis GAM, serta upaya-upaya yang di lakukan GAM
untuk mendeka. BAB III LANGKAH-LANGKAH YANG TELAH DI AMBIL PEMERINTAH
INDONESIA SEBELUM MASUKNYA CMI
Dalam bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang telah di ambil pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik dengan GAM sebelum masuknya
CMI.
BAB IV PERAN MEDIASI CMI DALAM MENANGANI KONFLIK GAM DENGAN INDONESIA UNTUK MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK
SEPARATIS DI INDONESIA
Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai mediasi yang telah dijalankan CMI dalam penyelesaian damai bagi pemerintah Indonesia dan kelompok separatis
GAM dan keberhasilan yang telah dicapai dalam mendamaikan Indonesia dan GAM. BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis penulis akan memberikan kesimpulan dari penelitian yang telah di buat.
17
BAB II
LATAR BELAKANG KONFLIK INDONESIA DAN GAM
Bagi pemerintah Indonesia, konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, karena Aceh
merupakan indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari NKRI, maka akan menimbulkan gerakan-gerakan separatis di daerah lainnya.
Dalam memahami konflik Aceh perlu dipahami bahwa konflik Aceh adalah konflik yang multidimensional. Yang di mana terdapat banyak hal yang terkait
dalam konflik tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik Aceh.
Adapun pengertian konflik dalam ilmu politik acapkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, terorime, dan revolusi. Konflik mengandung arti
“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan baik secara kelompok maupun individu dengan kelompok atau kelompok dengan
pemerintah.
1
Oleh karena itu pada bab inilah untuk mendapat pemahaman yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik
yang terjadi di Aceh, seperti sejarah konflik gerakan itu terjadi dan awal dari perlawanan rakyat Aceh sehingga terjadinya sebuah konflik.
1
Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep Yogyakarta: IRCiSoD, 2007, h. 77.
A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh
Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan
tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin
menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi
juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam
bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat. Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah
tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad Dewan Perwakilan Rakyat
buatan Belanda di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan Kantor Residen Aceh, sekarang
Kantor Gubernur Aceh kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang
pertama.
2
Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa
kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang
Cumbok.
2
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta: PT. Grafindo, 2001, h. 1-2.