Sistematika Penulisan Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh
A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh
Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan
tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin
menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi
juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam
bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat. Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah
tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad Dewan Perwakilan Rakyat
buatan Belanda di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan Kantor Residen Aceh, sekarang
Kantor Gubernur Aceh kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang
pertama.
2
Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa
kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang
Cumbok.
2
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta: PT. Grafindo, 2001, h. 1-2.
Perang Cumbok adalah perang yang terjadi akibat perpecahan antara kaum ulama dan kaum hulubalang bangsawan.
3
Perang ini mengakibatkan runtuhnya kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di tanah Aceh. Sebagian tokoh
Aceh menyebutkan sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh. Perang tersebut baru bisa diatasi pada akhir 1946.
Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, setelah meletusnya Perang Cumbok, tiba-tiba saja muncul kekecewaan rakyat Aceh yang semakin mendalam
ketika berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 8 Agustus 1950 di Jakarta. Sidang memutuskan wilayah Indonesia dibagi dalam 10
daerah tingkat satu provinsi. Dalam hal ini provinsi Aceh melebur ke dalam pemerintahan provinsi Sumatera Utara. Dengan munculnya keputusan itu,
keinginan rakyat Aceh agar daerahnya ditangani dengan syariat Islam ternyata tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Daud Beurueh yang saat itu terpilih sebagai ketua umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia melontarkan imbauan, agar segenap ulama memperjuangkan
supaya negara RI menjadi negara Islam RI. Sejajar dan sebangun dengan cita-cita sejumlah tokoh radikal Islam di sejumlah daerah, terutama di Jawa Barat yang
sedang demam dengan NII Negara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo yang akhirnya menjadikan mereka berkoalisi dan saling
mendukung satu sama lain. Alasan Daud Beureueh mendukung berdirinya NII adalah dikarenakan
para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta sudah menyimpang dari jalan yang benar. Padahal dalam persepsi Daud Beureueh, negara Islam adalah satu-satunya
3
Usman A. Rani, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003, h.122-124.
kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Seperti yang di terapkan pada sila yang pertama dari dasar negara Republik Indonesia
yakni Pancasila.
4
Meskipun Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam Pancasila, dalam pandangan Daud Beureueh, pemerintah Soekarno tidak pernah
memberikan kebebasan beragama yang sesungguhnya kepada rakyat, terutama rakyat Aceh. Ia mencontohkan, jika memang kebebasan beragama secara
sesungguhnya diberlakukan berarti syariat Islam harus diterapkan di Aceh. Hal ini dikarenakan 100 penduduk Aceh adalah Islam. Tapi, hal ini tidak pernah terjadi.
Justru yang terjadi adalah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan oleh sebagian besar
masyarakat Aceh. Tidak hanya terjadi pada bidang keagamaan saja melainkan juga adanya ketimpangan sosial ekonomi yang mengakibatkan rakyat Aceh tetap
miskin. Seperti kita ketahui bahwa daerah Aceh merupakan daerah yang memiliki
sumber daya alam yang sangat luar biasa. Antara lain berupa kandungan gas alam cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe yang terletak di
Kecamatan Banda Sakti. Daya tarik ini yang kemudian mengundang investor asing datang ke Aceh. Sejak saat itu, gas alam cair Liquefied Natural Gas LNG,
telah menyulap wilayah ini menjadi kawasan industri petrokimia modern. Namun demikian pengukuhan wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan
masalah. Ketidakpuasaan mulai dari tidak adanya ganti rugi tanah, bahkan sebagian masyarakat sampai ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah
4
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, h.12.
mereka yang kemudian digunakan sebagai lahan berdirinya kawasan industri tersebut.
5
Dan tidak hanya disitu saja banyaknya perkebunan karet dan sawit di daerah Kabupaten Aceh ternyata tidak serta merta membuat daerah ini terlepas
dari masalah perekonomian, terlebih lagi dengan masih sangat banyaknya daerah- daerah pemukiman yang terisolir. Selain pembangunan jalur transportasi yang
belum memadai antar satu daerah dengan daerah lain, juga tingkat pendidikan masyarakatnya yang kurang akibat sarana untuk itu sangat terbatas.
Pemerintah Soekarno sendiri, sejak semula sudah sangat ingin meminggirkan gagasan negara Islam dan lebih memilih konsep negara nasionalis,
yang menurutnya bisa menyatukan semua kesamaan etnis dan persepsi keagamaan di berbagai daerah Republik Indonesia. Sebab alasan Soekarno waktu itu, jika
berbentuk negara Islam, dikhawatirkan sejumlah daerah akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, Daud Beureueh dengan tegas menyatakan,
rakyat Aceh hanya ingin menerapkan syariat Islam dan diberikan Otonomi Khusus menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun rakyat Aceh tidak pula
menginginkan dirinya dan daerahnya diperlakukan sebagai anak tiri oleh pemerintah Republik Indonesia. Soalnya, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh
dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak terkabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan.
6
Meski demikian rakyat Aceh, bukan ingin memisahkan diri dari Republik
5
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras, 2006, h. 32.
6
Riza Sihbudi, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal, Bandung: Mizan Medeia Utama, 2001, h.34.
Indonesia. Sebab, menurut Daud Beureueh, proklamasi NII yang didukung oleh rakyat Aceh bukanlah berarti telah terbentuknya suatu negara dalam negara,
melainkan disebabkan, pada awalnya rakyat Aceh menganggap Republik Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menuju cita-cita yang selama ini
diidam-idamkan. Ternyata, impian itu tinggal impian, karena pemerintah Soekarno tidak mempedulikan Aceh. Meski demikian, Daud Beureueh berharap,
para pemimpin Republik Indonesia tidak menggunakan kekerasan dalam mengatasi konflik dengan tokoh-tokoh NII, terutama dalam kasus Aceh.
Dalam konsep Daud Beureueh, NII Aceh adalah sebuah provinsi dengan otonomi yang luas. Provinsi otonomi ini dipimpin langsung oleh Daud Beureueh.
Dalam kepemimpinannya Daud Beureueh dibantu tiga wakil gubernur; Hasan Ali untuk wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh
mengkoordinasikan wilayah Aceh Utara, Timur, Langkar, dan Tanah Karo, sedangkan Abdul Gani dipercaya menangani Aceh Selatan, Barat, dan Tapanuli
Barat. Untuk wilayah tingkat dua, Daud Beureueh mengangkat sejumlah bupati. Bupati Aceh Besar dipercayakan kepada Sulaiman Daud. Namun, saat baru
dimulainya perjuangan NII Aceh, Sulaiman Daud ditangkap pasukan pemerintah RI pada 1954. Posisinya digantikan kepada Ishak Amin. Sementara itu, Aceh
Pidie dipimpin Bupati T.A.Hasan, Aceh Utara Sjeh Abdul Hamid, Aceh Timur Saleh Adri, dan Aceh Selatan Zakaria Yunus. Untuk perjuangan militer, Daud
Beureueh membentuk tujuh resimen dan satu angkatan polisi yang dipimpin A.R. Hasyim. Setelah terbentuknya berbagai kekuatan sipil dan militer itu aksi
perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia pun digalang Daud Beureueh. Perlawanan ini muncul juga dikarenakan adanya tekanan militer dari
pemerintah Republik Indonesia. Untuk menghindari perang terbuka dan aksi penangkapan dari TNI, pasukan NII Aceh memilih masuk ke dalam hutan. Di sini
mereka membangun kekuatan Darul IslamTentara Islam Indonesia DITII. Di pihak lain, lewat berbagai pendekatan, pemerintah Soekarno terus melakukan
upaya diploma dalam menyelesaikan konflik di Aceh ini. Pada 20 September 1953, Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di
Aceh dengan wilayah meliputi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, banyak rakyat Aceh ikut memberontak, sejak itu pecah perang DITII melawan TNI. Daud
Beureueh melakukan banyak perlawanan tetapi berhasil ditumpas oleh pemerintahan Republik Indonesia.
7
B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka
Setelah rezim Soekarno jatuh, tokoh-tokoh Aceh berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerahnya bisa terwujud lebih baik
dibandingkan dengan yang terjadi sepanjang era orde lama. Tapi, harapan tinggal sekedar harapan. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru
memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga tidak ditempatkan dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan
eksploitasi politik dan ekonomi. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan
sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi lain.
8
Hingga tahun 1977 menjelang lahirnya GAM, kondisi sosial ekonomi di
7
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka , h.14-15.
8
Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, h.50.
Aceh sangat timpang. Ini disebabkan pembangunan berbagai proyek multinasional mulai berlangsung dan era eksploitasi dijalankan. Aceh terus menerus dikuras dan
dieksploitasi pemerintah pusat, melalui pembangunan industry yang berhasil di dapat lewat pembangunan ladang gas alam, di Arun, Aceh Utara. Akan tetapi
ironosnya dampak dari itu semua tidak dirasakan hasilnya oleh rakyat Aceh. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan. Kenyataan ini membuat tokoh-tokoh eks DITII Aceh menjadi prihatin.
Dulu, mereka konsisten berjuang untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan penegakan hukum dan norma-norma ke-Islaman. Namun, sekarang nilai-nilai
agama semakin terpinggirkan dan seakan tidak populer lagi untuk mendapat tempat ditengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di
Lhokseumawe, Aceh Utara.
9
Melihat kenyataan itu para tokoh eks DITII untuk kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun
negara Aceh yang berasaskan norma-norma ke-Islaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DITII di tambah dengan para tokoh muda
memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di
kaki gunung Halimun.
10
Proklamasi kemerdekaan negara Aceh dan berdirinya GAM itu hanya diisi dengan pernyataan lisan dari sejumlah tokoh, yang sebagian besar adalah eks
DITII. Yang di mana pemimpin tertinggi GAM di pegang oleh Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara dipercayakan pada Hasan Tiro. Dalam doktrin
9
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h. 18.
10
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, h.49.
pendiriannya GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu bertujuan untuk membebaskan Aceh dari segala bentuk kontrol politik asing dari
pemerintahan Indonesia. Sedangkan, tujuan GAM adalah untuk menjamin keberlangsungan dalam bidang politik, social, budaya, dan warisan agama.
11
Selama berdirinya GAM telah mencapai beberapa keberhasilan secara politik baik pada tingkat nasional maupun internasional. GAM berhasil merekrut
banyak pemuda Aceh menjadi anggota. Selain itu GAM juga berhasil membentuk beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah
satunya adalah Sentra Informasi Referendum Aceh SIRA yang diketuai oleh Nazaruddin S.Ag. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi
kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik
yang sedang mereka alami.
12
Selain itu, GAM juga membangun opini publik Internasional melalui media-media asing yang memberitakan pelanggaran-
pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kelahiran GAM ini tidaklah sedashat Daud Beureueh memproklamasikan
gerakan DITII melawan Soekarno. Kurangnya dukungan penuh dari para tokoh DITII membuat GAM tidak bisa dengan cepat mendapatkan simpati dari segenap
rakyat Aceh. Sebab, gagasan dan prinsip yang diterapkan Hasan Tiro dinilai sebagian pendiri GAM terutama dari sayap kanan yaitu para tokoh DITII sangat
bertentangan dengan hukum Islam maupun norma-norma adat Aceh. Tapi Hasan Tiro tetap tidak peduli terhadap banyaknya pendiri GAM menentang gagasannya
tersebut. Malah, ia membuat sebuah deklarasi dalam bahasa Inggris. Deklarasi itu
11
Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru, h.53.
12
Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000, h.61-63.
berjudul Declaration of Independence of Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976, yang ditandatanganinya sendiri. Anehnya, dalam deklarasi itu Hasan Tiro tidak
sedikitpun menyebut nama GAM ia lebih suka menggunakan istilah National Liberation Front of Acheh Sumatera. Istilah ini kemudian diubah lagi menjadi
Acheh Sumatera National Liberation Front, yang kemudian di singkat menjadi ASNLF.
13
Gerakan ASNLF ini sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan
aktif dalam melakukan tindakan revolusioner.
14
Pada tahun 1977 perlawanan GAM sempat terasa agresif. Muncul dan meningkatnya perlawanan GAM ini telah membuat aparat keamanan dari
pemerintah RI semakin meningkatkan perang psikologis terhadap gerakan tersebut. Ironisnya, perang urat syaraf ini tak hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh
GAM, tapi juga kepada rakyat Aceh. Tujuannya, agar rakyat Aceh tidak mendukung GAM.
Untuk menekan perlawanan GAM, di tahun 1978, TNI menyebarkan foto pemimpin gerakan itu, yang di sebarkan ke seluruh Aceh yang isinya meminta
siapapun menangkap Hasan Tiro dan tokoh-tokoh GAM lainnya dalam keadaan hidup atau mati. Melihat tinggi dan gencarnya tekanan TNI kepada para pengikut
GAM membuat Hasan Tiro pergi keluar negeri untuk mencari bantuan senjata, mengingat semakin gencarnya gempuran TNI. Pada Februari 1979 Hasan Tiro
meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh Pidie. Setelah berpamitan dengan sejumlah tokoh GAM pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro pergi ke Aceh.
Dengan perahu tradisional ia bersama beberapa pengikutnya mengarungi selat
13
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.18
14
Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, h.70.
malaka menuju Malaysia lalu perjalanannya di lanjutkan ke Swedia, sejak saat itu Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh dan ia menjalankan pemberontakan
GAM dari tempat persembunyiannya yaitu di Swedia. Dari Swedialah Gerakan Aceh Merdeka ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional
untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan pemerintah RI dan TNI dalam menangani kasus Aceh.
28
BAB III
LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI
MENJADI MEDIATOR
Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional
dan media di luar negeri. ini terbukti pada 1980 Operasi Jaring Merah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer DOM telah banyak
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang kemudian telah menjatuhkan banyak korban. mulai dari korban penculikan,
dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk
kejahatan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan.
Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Di tengah operasi yang
berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan
terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan
membela rakyatnya. Tetapi, justru sampai saat ini sebagian besar korban belum tertangani.
Oleh karena itu pada bab inilah kemudian untuk mendapat pemahaman yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau
konflik yang terjadi pada masa DOM, sampai akhir pencabutan DOM.