Sistematika Penulisan Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh

A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat. Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad Dewan Perwakilan Rakyat buatan Belanda di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan Kantor Residen Aceh, sekarang Kantor Gubernur Aceh kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang pertama. 2 Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang Cumbok. 2 Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, Jakarta: PT. Grafindo, 2001, h. 1-2. Perang Cumbok adalah perang yang terjadi akibat perpecahan antara kaum ulama dan kaum hulubalang bangsawan. 3 Perang ini mengakibatkan runtuhnya kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di tanah Aceh. Sebagian tokoh Aceh menyebutkan sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh. Perang tersebut baru bisa diatasi pada akhir 1946. Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, setelah meletusnya Perang Cumbok, tiba-tiba saja muncul kekecewaan rakyat Aceh yang semakin mendalam ketika berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 8 Agustus 1950 di Jakarta. Sidang memutuskan wilayah Indonesia dibagi dalam 10 daerah tingkat satu provinsi. Dalam hal ini provinsi Aceh melebur ke dalam pemerintahan provinsi Sumatera Utara. Dengan munculnya keputusan itu, keinginan rakyat Aceh agar daerahnya ditangani dengan syariat Islam ternyata tidak bisa ditawar-tawar lagi. Daud Beurueh yang saat itu terpilih sebagai ketua umum Kongres Alim Ulama se-Indonesia melontarkan imbauan, agar segenap ulama memperjuangkan supaya negara RI menjadi negara Islam RI. Sejajar dan sebangun dengan cita-cita sejumlah tokoh radikal Islam di sejumlah daerah, terutama di Jawa Barat yang sedang demam dengan NII Negara Islam Indonesia pimpinan S.M. Kartosoewirjo yang akhirnya menjadikan mereka berkoalisi dan saling mendukung satu sama lain. Alasan Daud Beureueh mendukung berdirinya NII adalah dikarenakan para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta sudah menyimpang dari jalan yang benar. Padahal dalam persepsi Daud Beureueh, negara Islam adalah satu-satunya 3 Usman A. Rani, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003, h.122-124. kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Seperti yang di terapkan pada sila yang pertama dari dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila. 4 Meskipun Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam Pancasila, dalam pandangan Daud Beureueh, pemerintah Soekarno tidak pernah memberikan kebebasan beragama yang sesungguhnya kepada rakyat, terutama rakyat Aceh. Ia mencontohkan, jika memang kebebasan beragama secara sesungguhnya diberlakukan berarti syariat Islam harus diterapkan di Aceh. Hal ini dikarenakan 100 penduduk Aceh adalah Islam. Tapi, hal ini tidak pernah terjadi. Justru yang terjadi adalah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Tidak hanya terjadi pada bidang keagamaan saja melainkan juga adanya ketimpangan sosial ekonomi yang mengakibatkan rakyat Aceh tetap miskin. Seperti kita ketahui bahwa daerah Aceh merupakan daerah yang memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa. Antara lain berupa kandungan gas alam cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe yang terletak di Kecamatan Banda Sakti. Daya tarik ini yang kemudian mengundang investor asing datang ke Aceh. Sejak saat itu, gas alam cair Liquefied Natural Gas LNG, telah menyulap wilayah ini menjadi kawasan industri petrokimia modern. Namun demikian pengukuhan wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan masalah. Ketidakpuasaan mulai dari tidak adanya ganti rugi tanah, bahkan sebagian masyarakat sampai ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah 4 Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, h.12. mereka yang kemudian digunakan sebagai lahan berdirinya kawasan industri tersebut. 5 Dan tidak hanya disitu saja banyaknya perkebunan karet dan sawit di daerah Kabupaten Aceh ternyata tidak serta merta membuat daerah ini terlepas dari masalah perekonomian, terlebih lagi dengan masih sangat banyaknya daerah- daerah pemukiman yang terisolir. Selain pembangunan jalur transportasi yang belum memadai antar satu daerah dengan daerah lain, juga tingkat pendidikan masyarakatnya yang kurang akibat sarana untuk itu sangat terbatas. Pemerintah Soekarno sendiri, sejak semula sudah sangat ingin meminggirkan gagasan negara Islam dan lebih memilih konsep negara nasionalis, yang menurutnya bisa menyatukan semua kesamaan etnis dan persepsi keagamaan di berbagai daerah Republik Indonesia. Sebab alasan Soekarno waktu itu, jika berbentuk negara Islam, dikhawatirkan sejumlah daerah akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Namun, Daud Beureueh dengan tegas menyatakan, rakyat Aceh hanya ingin menerapkan syariat Islam dan diberikan Otonomi Khusus menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun rakyat Aceh tidak pula menginginkan dirinya dan daerahnya diperlakukan sebagai anak tiri oleh pemerintah Republik Indonesia. Soalnya, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata tidak terkabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan. 6 Meski demikian rakyat Aceh, bukan ingin memisahkan diri dari Republik 5 Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras, 2006, h. 32. 6 Riza Sihbudi, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal, Bandung: Mizan Medeia Utama, 2001, h.34. Indonesia. Sebab, menurut Daud Beureueh, proklamasi NII yang didukung oleh rakyat Aceh bukanlah berarti telah terbentuknya suatu negara dalam negara, melainkan disebabkan, pada awalnya rakyat Aceh menganggap Republik Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menuju cita-cita yang selama ini diidam-idamkan. Ternyata, impian itu tinggal impian, karena pemerintah Soekarno tidak mempedulikan Aceh. Meski demikian, Daud Beureueh berharap, para pemimpin Republik Indonesia tidak menggunakan kekerasan dalam mengatasi konflik dengan tokoh-tokoh NII, terutama dalam kasus Aceh. Dalam konsep Daud Beureueh, NII Aceh adalah sebuah provinsi dengan otonomi yang luas. Provinsi otonomi ini dipimpin langsung oleh Daud Beureueh. Dalam kepemimpinannya Daud Beureueh dibantu tiga wakil gubernur; Hasan Ali untuk wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh mengkoordinasikan wilayah Aceh Utara, Timur, Langkar, dan Tanah Karo, sedangkan Abdul Gani dipercaya menangani Aceh Selatan, Barat, dan Tapanuli Barat. Untuk wilayah tingkat dua, Daud Beureueh mengangkat sejumlah bupati. Bupati Aceh Besar dipercayakan kepada Sulaiman Daud. Namun, saat baru dimulainya perjuangan NII Aceh, Sulaiman Daud ditangkap pasukan pemerintah RI pada 1954. Posisinya digantikan kepada Ishak Amin. Sementara itu, Aceh Pidie dipimpin Bupati T.A.Hasan, Aceh Utara Sjeh Abdul Hamid, Aceh Timur Saleh Adri, dan Aceh Selatan Zakaria Yunus. Untuk perjuangan militer, Daud Beureueh membentuk tujuh resimen dan satu angkatan polisi yang dipimpin A.R. Hasyim. Setelah terbentuknya berbagai kekuatan sipil dan militer itu aksi perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia pun digalang Daud Beureueh. Perlawanan ini muncul juga dikarenakan adanya tekanan militer dari pemerintah Republik Indonesia. Untuk menghindari perang terbuka dan aksi penangkapan dari TNI, pasukan NII Aceh memilih masuk ke dalam hutan. Di sini mereka membangun kekuatan Darul IslamTentara Islam Indonesia DITII. Di pihak lain, lewat berbagai pendekatan, pemerintah Soekarno terus melakukan upaya diploma dalam menyelesaikan konflik di Aceh ini. Pada 20 September 1953, Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh dengan wilayah meliputi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, banyak rakyat Aceh ikut memberontak, sejak itu pecah perang DITII melawan TNI. Daud Beureueh melakukan banyak perlawanan tetapi berhasil ditumpas oleh pemerintahan Republik Indonesia. 7 B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka Setelah rezim Soekarno jatuh, tokoh-tokoh Aceh berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerahnya bisa terwujud lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi sepanjang era orde lama. Tapi, harapan tinggal sekedar harapan. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga tidak ditempatkan dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan eksploitasi politik dan ekonomi. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi lain. 8 Hingga tahun 1977 menjelang lahirnya GAM, kondisi sosial ekonomi di 7 Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka , h.14-15. 8 Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, h.50. Aceh sangat timpang. Ini disebabkan pembangunan berbagai proyek multinasional mulai berlangsung dan era eksploitasi dijalankan. Aceh terus menerus dikuras dan dieksploitasi pemerintah pusat, melalui pembangunan industry yang berhasil di dapat lewat pembangunan ladang gas alam, di Arun, Aceh Utara. Akan tetapi ironosnya dampak dari itu semua tidak dirasakan hasilnya oleh rakyat Aceh. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan. Kenyataan ini membuat tokoh-tokoh eks DITII Aceh menjadi prihatin. Dulu, mereka konsisten berjuang untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan penegakan hukum dan norma-norma ke-Islaman. Namun, sekarang nilai-nilai agama semakin terpinggirkan dan seakan tidak populer lagi untuk mendapat tempat ditengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di Lhokseumawe, Aceh Utara. 9 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DITII untuk kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun negara Aceh yang berasaskan norma-norma ke-Islaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DITII di tambah dengan para tokoh muda memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di kaki gunung Halimun. 10 Proklamasi kemerdekaan negara Aceh dan berdirinya GAM itu hanya diisi dengan pernyataan lisan dari sejumlah tokoh, yang sebagian besar adalah eks DITII. Yang di mana pemimpin tertinggi GAM di pegang oleh Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara dipercayakan pada Hasan Tiro. Dalam doktrin 9 Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h. 18. 10 Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, h.49. pendiriannya GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu bertujuan untuk membebaskan Aceh dari segala bentuk kontrol politik asing dari pemerintahan Indonesia. Sedangkan, tujuan GAM adalah untuk menjamin keberlangsungan dalam bidang politik, social, budaya, dan warisan agama. 11 Selama berdirinya GAM telah mencapai beberapa keberhasilan secara politik baik pada tingkat nasional maupun internasional. GAM berhasil merekrut banyak pemuda Aceh menjadi anggota. Selain itu GAM juga berhasil membentuk beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah Sentra Informasi Referendum Aceh SIRA yang diketuai oleh Nazaruddin S.Ag. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik yang sedang mereka alami. 12 Selain itu, GAM juga membangun opini publik Internasional melalui media-media asing yang memberitakan pelanggaran- pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kelahiran GAM ini tidaklah sedashat Daud Beureueh memproklamasikan gerakan DITII melawan Soekarno. Kurangnya dukungan penuh dari para tokoh DITII membuat GAM tidak bisa dengan cepat mendapatkan simpati dari segenap rakyat Aceh. Sebab, gagasan dan prinsip yang diterapkan Hasan Tiro dinilai sebagian pendiri GAM terutama dari sayap kanan yaitu para tokoh DITII sangat bertentangan dengan hukum Islam maupun norma-norma adat Aceh. Tapi Hasan Tiro tetap tidak peduli terhadap banyaknya pendiri GAM menentang gagasannya tersebut. Malah, ia membuat sebuah deklarasi dalam bahasa Inggris. Deklarasi itu 11 Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru, h.53. 12 Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000, h.61-63. berjudul Declaration of Independence of Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976, yang ditandatanganinya sendiri. Anehnya, dalam deklarasi itu Hasan Tiro tidak sedikitpun menyebut nama GAM ia lebih suka menggunakan istilah National Liberation Front of Acheh Sumatera. Istilah ini kemudian diubah lagi menjadi Acheh Sumatera National Liberation Front, yang kemudian di singkat menjadi ASNLF. 13 Gerakan ASNLF ini sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan aktif dalam melakukan tindakan revolusioner. 14 Pada tahun 1977 perlawanan GAM sempat terasa agresif. Muncul dan meningkatnya perlawanan GAM ini telah membuat aparat keamanan dari pemerintah RI semakin meningkatkan perang psikologis terhadap gerakan tersebut. Ironisnya, perang urat syaraf ini tak hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh GAM, tapi juga kepada rakyat Aceh. Tujuannya, agar rakyat Aceh tidak mendukung GAM. Untuk menekan perlawanan GAM, di tahun 1978, TNI menyebarkan foto pemimpin gerakan itu, yang di sebarkan ke seluruh Aceh yang isinya meminta siapapun menangkap Hasan Tiro dan tokoh-tokoh GAM lainnya dalam keadaan hidup atau mati. Melihat tinggi dan gencarnya tekanan TNI kepada para pengikut GAM membuat Hasan Tiro pergi keluar negeri untuk mencari bantuan senjata, mengingat semakin gencarnya gempuran TNI. Pada Februari 1979 Hasan Tiro meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh Pidie. Setelah berpamitan dengan sejumlah tokoh GAM pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro pergi ke Aceh. Dengan perahu tradisional ia bersama beberapa pengikutnya mengarungi selat 13 Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.18 14 Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, h.70. malaka menuju Malaysia lalu perjalanannya di lanjutkan ke Swedia, sejak saat itu Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh dan ia menjalankan pemberontakan GAM dari tempat persembunyiannya yaitu di Swedia. Dari Swedialah Gerakan Aceh Merdeka ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan pemerintah RI dan TNI dalam menangani kasus Aceh. 28 BAB III LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI MENJADI MEDIATOR Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional dan media di luar negeri. ini terbukti pada 1980 Operasi Jaring Merah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer DOM telah banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang kemudian telah menjatuhkan banyak korban. mulai dari korban penculikan, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Di tengah operasi yang berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya. Tetapi, justru sampai saat ini sebagian besar korban belum tertangani. Oleh karena itu pada bab inilah kemudian untuk mendapat pemahaman yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik yang terjadi pada masa DOM, sampai akhir pencabutan DOM.

A. Periode Pra Daerah Operasi Militer 1976-1989

Pada tahun 1976 sampai dengan 1989 tentara Indonesia melakukan pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian dari rumah ke rumah terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM. Ini dilakukan karena untuk mendukung kampanye anti pemberontakan. Agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan secara terus menerus. 1 Amnesty Internasional melaporkan, pada saat Tentara Indonesia melakukan pencarian ke rumah-rumah yang diduga sebagai daerah basis Gerakan Aceh Merdeka, Tentara Indonesia melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM seperti: 1. Melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk. 2. Melakukan penyiksaan terhadap penduduk. 3. Melakukan penagkapan terhadap para istri dan anak-anak anggota GAM, dan melakukan penyanderaan terhadap mereka, dan ada diantara mereka yang kemudian diperkosa. 4. Melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota GAM. Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Bahkan pemerintah hanya menganggap kejahatan yang 1 Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu ,Jakarta: Kontras, 2006, h. 21. dilakukan ABRI atau TNI ini hanya merupakan kejahatan kriminal biasa. Oleh karena itu, tidak satupun dari anggota ABRI maupun TNI yang diadili pada masa ini. Akibatnya, kekecewaan, frustasi, dan kepercayaan sosial masyarakat Aceh dan para korban DOM sudah menipis dan hilang pada pemerintah Indonesia. Umumnya para korban DOM lebih percaya pada GAM, yang kemudian akhirnya memantapkan keinginan mereka untuk berpisah dengan RI. 2

B. Periode Daerah Operasi Militer 1989-1998

Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik Aceh baik dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan Aceh sebagai tempat untuk melaksanakan Daerah Operasi Militer DOM pada 1989-1998. Pada periode ini menurut rakyat Aceh merupakan pengalaman buruk yang dialami mereka. Karena pada saat itu, rakyat Aceh mengalami tindak kekerasan fisik dan non-fisik yang dilakukan oleh militer. Aceh benar-benar telah menjadi tempat “pembataian” yang kejam dan sadis. Selama Aceh dijadikan DOM, ada pos satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal yaitu Rumoh Geudong di Pidie dan Rancong di Aceh Utara. 3 Pelaksanaan DOM di Aceh memakan banyak sekali korban jiwa baik dari pihak rakyat Aceh sendiri maupun dari pihak GAM, tindak kekerasan pihak militer baik secara fisik maupun psikis sering kali terjadi sehingga menimbulkan trauma yang mendalam bagi rakyat Aceh. DOM juga menyebabkan perekonomian Aceh mengalami stagnasi sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat 2 Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, Bandung : Mizan, 2001, h. 44. 3 Ibid, h. 39. memperihatinkan, hal ini sebagai akibat dari diberlakukannya DOM maka sebagian besar rakyat Pidie Aceh Utara dan Aceh Timur merasa ketakutan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Apalagi ketiga daerah tersebut masih sering terjadi perampasan harta benda, intimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya. 4 Selain itu, Operasi Militer telah pula memperburuk tingkat pendidikan di Aceh dibandingkan dengan daerah lainnya. Pemberlakuan Operasi Militer ini dianggap oleh orang Aceh sebagai rencana rekayasa politik Soeharto untuk mengamankan „modal‟ mereka di Aceh. 5 Dengan tujuan kekayaan Aceh dapat dikuras dengan mudah.

C. Periode Paska Daerah Operasi Militer

Sebagian besar masyarakat Aceh menyambut dengan rasa syukur yang mendalam atas dicabutnya status Daerah Operasi Militer DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998. Dengan harapan bahwa berbagai kejadian yang telah terjadi tidak akan terulang lagi dan mereka berharap dapat kembali menjalani hidup dengan normal. 6 Sebenarnya berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah, dengan menerapkan berbagai perundingan dengan pihak GAM, namun hingga sekarang belum juga ada titik temunya. Oleh karena itu dengan dicabutnya status DOM dari Aceh merupakan sebuah angin segar bagi masyarakat Aceh. Ini terbukti dari banyaknya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk mengusut kekerasan dan pelanggaran yang terjadi selama masa DOM dan paska masa DOM. 4 Mochammad Nurhasim, Konflik Aceh, Jakarta: LIPI, 2003, h. 26. 5 Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 28. 6 Ibid, h. 71. Pada tahun 1999 muncul kembali konflik baru yang pada saat itu dimotori oleh mahasiswa, yang tujuannya untuk menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka ini sebenarnya hanya sebagai strategi agar pemerintah pusat memperhatikan korban-korban Operasi Militer. Akan tetapi tuntutan mereka pun tidak direspon dengan baik oleh pemerintah. Maka dari sinilah kemudian gerakan yang diberi nama Operasi Militer Jaringan Merang semakin meluas, sehingga akhirnya mengangkat dua isu penting yaitu merdeka atau referendum. 7 Sejarah mencatat bahwa pendekatan militer tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah Aceh. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru akan menimbulkan kekerasan baru yang lebih kompleks. 8 Keseriusan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi korban Operasi Militer, memperbaiki ekonomi rakyat Aceh dan membangun kembali Aceh, akan menjadi pintu gerbang untuk menciptakan Aceh yang damai. Selain itu, itikad baik dan serius dari pemerintah pusat juga menjadi kunci pokok bagi penyelesaian konflik Aceh. Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius adalah perbaikan terhadap sistem di Aceh, baik sistem pendidikan, hukum, dan ekonomi.

1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan

Upaya dialog antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka GAM memulai babak baru di Aceh. Pemerintah dan GAM yang berada di Jenewa, Swiss, pada 9 Desember 2002, akhirnya secara resmi menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan The Cessation of Hostilities Agreement CoHA. Salah satu poin dalam perjanjian CoHA ini adalah pembentukan Joint 7 Nurhasim, Konflik Aceh, h. 28. 8 Ibid, h. 31.