Tinjauan Mengenai CMI Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh

C. Proses Perundingan Helsinki

Sebelum terjadinya bencana tsunami di Aceh, keinginan untuk melakukan negosiasi perdamaian telah ada dari pihak Indonesia yang pada saat itu diwakili oleh M. Jusuf Kalla. Kapasitasnya sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Gotong Royong yang kemudian menjadi Wakil Presiden pada saat itu Jusuf Kalla mengutus orang kepercayaanya, Farid Hussain untuk mencoba kembali merintis upaya perdamaian Aceh dengan cara mengadakan kontak dengan para petinggi GAM di Swedia pada tahun 2003. Perintah ini dilakukan karena mendapat inspirasi pengalaman sejak membantu menangani konflik di Poso dan Ambon. 9 Namun peluang ini pun lebih terfokus dijalankan setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY. Inisiatif perdamaian yang dilakukan M. Jusuf Kalla dalam masalah ini akhirnya mendapatkan respon positif dari Farid Hussain. Alasan Farid Hussain tidak dapat menolak perintah Jusuf Kalla pada saat itu karena, hubungan diantara mereka sudah sangat dekat dan Jusuf Kalla pun memberikan kebanggaan bagi Farid Hussain atas kepercayaannya dalam menjalankan berbagai tugas yang diperintahkannya. Akhirnya pada 27 Januari 2005, Farid Hussain pun mengunjungi Helsinki, Finlandia. Dengan tujuan untuk mencapai perdamaian dengan GAM dan menarik perhatian mantan Presiden Finlandia sekaligus Ketua Organisasi CMI, Marttin Ahtisaari yang menyetujui melibatkan organisasinya CMI sebagai mediator. Hal ini akhirnya menunjukan bahwa negosiasi yang berlangsung lima tahap itu membuahkan sukses. Pemerintahan dan GAM menandatangani perjanjian 9 Farid Husain, To see The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, h. 3-4. Memorandum of Understanding MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. 10 Akan tetapi secara tidak langsung, atas dukungan situasi karena bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh lah akhirnya perjanjian damai antara Indonesia dan GAM berlangsung lancar. Ini didasari karena keinginan kedua belah pihak yang bertikai untuk kembali membangun lagi Aceh paska tsunami. Perundingan perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan pihak GAM di Helsinki yang diadakan sejak tahap pertama 27-29 Januari 2005 sampai dengan tahap kelima 12-17 juli 2005 mendapat respon yang sangat positif dari hampir seluruh kelompok masyarakat Aceh dan Bangsa Indonesia lainnya. 11 Bagi mereka, berupaya mengakhiri konflik melalui jalan perundingan dan dialog adalah cara yang lebih terhormat dan bermartabat serta sangat manusiawi, daripada menggelar perang yang hanya menghasilkan korban nyawa dan harkat martabat.

1. Putaran Perundingan Helsinki Tahap I

Dimulai pada 27 Januari 2005 RI dan GAM merintis perundingan baru untuk mencari solusi atas konflik yang sudah berlangsung selama 30 tahun. Mengambil tempat di Konigstedt Mansion, 25 kilometer dari Helsinki, ibu kota Finlandia. Dimana pada hari itu adalah merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Aceh. 12 Sebab, itu adalah awal dari tercapainya perdamaian di Aceh, yang sampai menelan korban hingga 18.000 orang. Putaran pertama perundingan ini, akan berlanjut hingga putaran-putaran berikutnya, dan diakhiri pada putaran keenam, yakni penandatanganan Memorandum of Understanding MoU di Smolna. 10 Ibid, h. 1-2. 11 Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi Rekonsiliasi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005, h. 48. 12 Farid Husain, To see The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, h. 94. Pada perundingan babak pertama delegasi Indonesia ini, yang diketuai oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Laksamana Widodo Adi Sucipto, dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, sebagai ketua delegasi. Akhirnya mendapatkan sebuah kesepakatan yang menyatakan, baik Pemerintah Indonesia maupun pihak GAM sama-sama dapat mempertahankan hal-hal prinsipil bagi kedua pihak, dan di sisi lain, saling melepaskan tuntutan-tuntutan lainnya tanpa kehilangan muka. Seperti, dalam MoU Helsinki, jelas dinyatakan bahwa NAD tetap berada dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI dan GAM menghentikan perlawanan serta menyerahkan senjata. Dengan kata lain, GAM telah meninggalkan tuntutannya untuk merdeka. 13 Pada hari pertama, CMI melakukan perundingan terpisah dengan Pemerintah Indonesia dan GAM. CMI mengetahui bahwa pemerintah Indonesia ingin berdamai dengan GAM hanya dalam kerangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh. Akan tetapi sebaliknya GAM pun menginginkan pembicaraan secara parsial dengan didahului persetujuan gencatan senjata, pembicaraan dengan GAM pada saat itu berlangsung panas karena, delegasi GAM tetap menyebutkan bahwa perundingan dengan pemerintah Indonesia masih dalam kerangka tuntutan kemerdekaan Aceh. Pada perundingan ini CMI sampai mengancam bahwa apabila GAM tidak menerima persyaratan perundingan yang diajukan pemerintah Indonesia dan tetap keras membicarakan kemerdekaan, sidang akan dibatalkan dan bantuan Uni Eropa akan ditarik. 14 13 Ibid, h. 95. 14 Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Jakarta: Suara Bebas, 2006, h.177. Perundingan putaran pertama antara delegasi RI dan delegasi GAM dijadwalkan berlangsung tiga hari, yakni 27, 28, dan 29 Januari 2005. 15 Pada hari kedua ini, tercapai suatu landasan bersama tentang perlunya suasana damai untuk memberikan kesempatan penyaluran bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami. Perundingan perdana itu diakhiri oleh CMI yang kemudian menutup sidang hari kedua dengan pernyataan bahwa perundingan telah berlangsung baik dengan fokus pembicaraan tertuju kepada usaha mendukung lancarnya penyaluran bantuan kemanusian internasional. 16 Namun pada hari ketiga perundingan, situasi sidang menjadi alot kembali, dikarenakan delegasi Indonesia kembali menyampaikan bahwa genjatan senjata dapat disetujui dengan syarat, GAM menyetujui Otonomi Khusus yang akan diikuti dengan pemberian amnesti penuh dari pemerintah Indonesia untuk GAM. Seperti lapangan kerja atau tanah untuk anggota GAM dan dana yang diberikan juga untuk pimpinan GAM. 17 Akan tetapi delegasi GAM menolak usul yang diberikan pemerintah Indonesia tersebut, karena delegasi GAM menganggap bahwa tawaran pemerintah Indonesia adalah merupakan sebagai usaha suatu penyuapan dan GAM pun tidak mempercayai janji pemberian yang diberikan pemerintah Indonesia. Akhirnya sidang hari ketiga tersebut berakhir tanpa suatu kesepakatan apapun dan perundingan damai Helsinki terancam mengalami kegagalan. Namun demikian, CMI menyimpulkan hasil sidang putaran pertama dengan pernyataan CMI yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 15 Farid Husain, To see The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, h. 97. 16 Damien Kingsbury, Peace In Aceh, Singapore: Ecolnox Publishing Asia, 2006, h. 23. 17 Ibid, h. 23.